ATHEISPUN
TIBA-TIBA BERTUHAN
(Renungan pasca-gempa bumi di DPR RI)
TEPAT pukul
13.34 tadi siang, ribuan orang di DPR tiba-tiba panik. Penyebabnya tak lain
adalah gempa yang terjadi di Lebak Banten dengan kekuatan 6,4 Skala
Richter.
Gempa ini
terasa begitu kuat. Lantai 17 DPR, tempat saya mengais rezeki, juga hingga
bergoyang, akibat gempa ini. Maka, tak terelakkan orang-orang di DPR, terutama
di lantai 17 begitu panik dan berusaha berlarian untuk segera meninggalkan
gedung Wakil Rakyat itu.
Kepanikan itu
wajar, karena peristiwa tersebut boleh dibilang mempertaruhkan nyawa. Gempa
yang berkekuatan tinggi akan dapat merontokkan gedung pencakar langit
sekalipun, termasuk juga gedung DPR.
Akibat rasa
panik itu semua orang segera bereaksi. Tentu dengan kadar respon masing-masing.
Ada yang begitu panik hingga teriak histeris, ada pula yang lebih tenang. Ada
yang berlari kencang melewati tangga darurat gedung, ada pula yang memilih
berjalan pelan. Begitu pun dari lidah mereka, ada yang hanya mengeluarkan teriakan-teriakan,
ada pula yang sambil mengagungkan nama Allah, dengan menyebut asma-Nya, seperti
tasbih, istighfar, takbir, termasuk juga sholawat kepada Nabi.
Dalam kondisi
demikian, semua orang ingin menumpahkan perasaannya kepada Tuhan, semua
tiba-tiba menyebut nama Tuhan. Mereka yang hari-harinya dekat dengan Tuhan atau
juga mereka yang jauh dari Tuhan dan shalat pun jarang, tiba-tiba segera ingat
Tuhan.
Mereka
tiba-tiba kembali kepada keagungan Tuhan. Dan, bahkan atheis pun juga tiba-tiba
mencari tempat tambatan hati sekaligus sandaran hati untuk melepas
kepanikannya. Dari alam bawah sadar mereka, tiba-tiba kata Tuhan pun terlontar
dari lisan mereka.
Inilah
sejatinya realitas kehidupan manusia, bahwa tak seorang pun di belahan dunia
ini yang bisa benar-benar meninggalkan Tuhan. Bahkan seorang atheis yang
menyatakan diri tidak bertuhan atau mengikuti arus pemikiran Nietzsche dengan
slogan populernya, “God is dead. God
remains dead" (Tuhan telah mati, Tuhan tetap mati), sebenarnya mereka
tetaplah bertuhan. Ada kerinduan juga dalam hati mereka terhadap Sang
Pencipta.
Kebertuhanan
mereka (meskipun terlihat secara spontan) membenarkan tentang adanya perjanjian
primordial manusia dengan Tuhannya ketika masih dalam zaman Azali ketika
manusia ditanya "Alastu birabbikum,
qaaluu balaa syahidnaa" (Apakah Aku Tuhanmu? Mereka bilang: Kami
bersaksi).
Perjanjian
ini menyuratkan bahwa setiap manusia dari sejak dalam rahim ibundanya sudah
menyatakan diri bertuhan. Maka, reaksi kebertuhanan itu terlihat begitu nyata
ketika manusia dilanda kepanikan dan ketika mereka sudah tak mampu lagi
bersandar pada rasionalitasnya.
Reaksi ini
sebenarnya merupakan sifat manusia yang hanief dan selalu condong pada suara
hati nurani (shautu adh-dhamiir). Sebab, sejatinya itulah suara Tuhan yang
(mestinya) selalu menjadi rujukan bagi perjalanan hidup manusia. Dengan
demikian, pertanyaannya, masihkah kita akan meninggalkan Tuhan di saat kita
lagi lapang dan tak dilanda kepanikan seperti saat ini?
Oleh: Moh. Ilyas, Ruang
1745 Nusantara I DPR, Jakarta, 23/1/2018, Pukul 15.10 WIB
No comments:
Post a Comment