PROFESOR EGALITER UNTUK YANG TANPA KASIR
Oleh:
Dahlan Iskan
10 November 2018
Inilah profesor
yang ideal: badannya langsing, tidak pernah masuk rumah sakit, tidak pernah
minum obat, dekat dengan mahasiswa, egaliter, aktif di penelitian, menciptakan sesuatu,
dan semua hal yang ideal-ideal.
Di kartu namanya
tidak dicantumkan gelar apa pun. Hanya: Raldi
Artono Koestoer. Gelar akademisnya entah disimpan di mana: profesor,
doktor, MSc, insinyur.
Waktu saya masuk
ruangannya Prof Raldi lagi asyik di depan komputer. Dr Ir Mohammad Aditya
memberitahukan kedatangan saya. Wakil Direktur Pusat Riset Universitas
Indonesia ini baru berumur 40 tahun. Lulusan UI dan Jerman.
Prof Raldi
terjungkit saat melihat saya datang. ''Dapat
rezeki apa saya didatangi Pak Dahlan,'' ujarnya.
Saya merasa
bersalah. Baru sekali ini bertemu Prof Raldi. Saya akan terus menulis namanya
'Prof Raldi'. Biar pun Prof Raldi minta agar saya jangan memanggil begitu.
Saya pun
dirangkulnya. Saya lirik kakinya: pakai sandal jepit.
Di ruang sebelahnya,
di gedung Fakultas Tehnik
Universitas Indonesia ini, seorang mahasiswa memainkan laptop. Bisa saya lihat
lewat sekat kaca di ruangan itu. Di depan mahasiswa itu tergolek sesosok
bayi. Dalam sebuah inkubator. Agak aneh: bayi itu bule. Seperti bayi pasangan
suami-istri Prancis.
Ternyata itu
boneka.
Saya pun digandeng
ke ruang sebelah. Mahasiswa tadi tidak terusik. Ternyata lagi bikin soft ware.
Untuk digitalisasi inkubator tersebut.
Itulah inkubator
hasil desain Prof Raldi. Yang lahir akibat banyaknya kejadian: meninggalnya
bayi prematur dari keluarga miskin.
Kekhususan
inkubator UI ini: hanya 50 watt. Cocok untuk rumah orang miskin di Indonesia.
Bandingkan dengan yang impor: 400 watt.
Aneh, kata
profesor 64 tahun ini, di negara tropik ada inkubator dengan power 400 watt.
Kalau itu di
barat, bisa dimengerti. Di sana suhu udara bisa sangat dingin. Tapi dasar
mental importir, yang tidak logis pun diimpor.
Kelebihan lain:
beratnya hanya 13 kg. Bisa ditenteng dari desa ke desa. Dibuat knock-down pula.
Tidak menimbulkan
suara sama sekali. Tidak dipasangi kipas di dalamnya.
Dan... harganya hanya Rp 3,5 juta. Bukan Rp 40
juta. Atau Rp 50 juta. Seperti harga impor.
Kakaknyalah yang
sebenarnya yang berhasil mengetuk sanubarinya. Sang kakak menantang Prof Raldi
untuk mengatasi kematian bayi miskin. Bayi prematur.
Prof Raldi pun
mempelajari prinsip-prinsip dasar inkubator: penghangat, merata dan cukup
udara. (Lihat instagram saya: dahlaniskan19).
Begitu simple.
Pikirnya.
Kenapa begitu
mahal. Pikirnya.
Kok boros listrik.
Pikirnya.
Berpikir. Ciri intelektual memang berpikir. Dan intelektual egaliter berpikir lebih
keras: karena harus disertai misi.
Misi utama ia
tetapkan: hanya untuk menolong orang
miskin.
Di kartu namanya
memang tertulis: Socio-technopreneur. Peminjaman
inkubator gratis untuk Nusantara.
Saya bayangkan:
betapa larisnya inkubator UI ini kalau dijual untuk umum.
Tapi Prof Raldi
sudah teguh: hanya melayani pembeli khusus. Yakni pembeli yang mau jadi relawan
UI: meminjamkan inkubator itu untuk
orang miskin. Termasuk mau mengantarkan ke rumah bayi. Dan mengambilnya kembali.
Tidak boleh si
orang miskin mengambil sendiri. Atau harus mengembalikan. Itu akan menimbulkan
biaya. Bisa-bisa bayinya mati. Karena tidak punya uang untuk mengambil
inkubator.
Kini sudah ada 70
relawan seperti itu. Di 70 kota.
Relawan di Jember
misalnya, mengantar inkubatornya sampai ke Banyuwangi.
Permintaan
inkubator itu bisa langsung ke relawan. Atau lewat UI: ada nomor telepon yang
bisa di SMS atau WA. Ada di kartu nama Prof Raldi.
Dari mana tahu
kalau yang kirim SMS itu miskin atau tidak?
''Kita kirimkan sejumlah pertanyaan,'' ujar Prof Raldi, lulusan UI dan Prancis itu.
Penjelasan Prof
Raldi berikutnya membuat saya tertawa ngakak:
''Kalau jawaban SMS itu kacau pasti dia
miskin,'' ujarnya.
Ada juga rumah
sakit yang ingin membeli. Lalu dilayani. Tanpa diteliti apakah rumah sakit itu
kaya atau miskin. Prof Raldi cukup nelihat nama rumah sakit itu: Rumah Sakit Tanpa Kasir. ''Tahu sendiri kan, apa artinya?'' ujar
Prof.Raldi.
Lokasinya di
Tangerang Selatan.
Atau rumah sakit
di Bandung ini. Namanya: RSBC. Singkatan dari Rumah Sakit Bersalin Cuma-cuma.
Masih ada beberapa
lagi ciptaan Prof Raldi. Tapi acara mahasiswa teknik mesin ini segera dimulai:
MME Summit. Dekan FT UI yang juga egaliter itu, Prof Dr Ir Hendri DS Budiono
sudah menunggu.
Meski mengaku
belum profesor saya memanggil beliau begitu. Yang belum itu kan hanya
administratif saja. Kelas dan kualitasnya kan sudah.
Dan lagi kami
belum salat dhuhur. Prof Raldi mengajak saya ke mushala.
Saya kumandangkan
iqamat. Prof Raldi yang
jadi imam. Penuh sekali mushala itu. Doa ribuan orang miskin memberkahinya.
(Dahlan Iskan)
No comments:
Post a Comment