KEMBANG KUNING
Kembang Kuning: Muara
Seribu Cerita Surabaya
Siang yang tak terlalu terik dan wisata sejarah yang
tak biasa telah berlangsung hari ini, di tengah hingar-bingar kota Surabaya
yang di salah satu sudutnya kami dapat menggali kisah dalam ribuan nisan yang
berjajar di komplek makam Kembang Kuning, Surabaya. Pemandu perjalanan kami
adalah Mas Ipung Dhahana Adi, penulis 'Surabaya punya Cerita' yang dikenal
sebagai Surabayais tulen dan kerap menjadi jujugan para peneliti dari dalam dan
luar negeri.
Tidak banyak yang tahu
bahwa Kembang Kuning adalah komplek pemakaman plural, mulai dari makam Kristen,
Tionghoa, Islam, bahkan Yahudi. Di bagian pojok sebelah utara terdapat komplek
pemakaman Yahudi, juga sebuah bilik bekas Sinagog dengan Bintang Daud (Star of David)
di atapnya. Di makam tersebut terdapat nisan Charles Murssy, ayah dari Irwan
Murssy, suami artis Maia Estianty. Rupa-rupanya Charles Murssy adalah
konglomerat yang pernah mendanai perjuangan Republik ini dalam menghadapi
agresi sekutu ketika perang mempertahankan kemerdekaan. Ia dulu merupakan
pengusaha pemasok mobil import. Rumahnya di masa kini menjadi gedung Bank
Mandiri di kawasan Jl.Pemuda, Surabaya. Jadi saya sendiripun baru tahu ada
makam Yahudi dan ada seorang Yahudi yang ternyata pernah berjasa bagi tanah
air. Nama Charles Murssy mungkin tidak pernah disebutkan dalam materi pelajaran
Sejarah, mungkin karena belum banyak yang tahu atau bisa juga tidak disebut
karena mungkin penulis-penulis sejarah merasa panas dingin jika mengetahui
ke-yahudi-an beliau.
Masuk ke arah selatan, mas
Dhahana Adi menunjukkan kegiatan pengembangan ekonomi kreatif warga setempat
berupa pengeringan dan pengolahan bunga-bunga kamboja kering untuk bibit parfum
dan berbagai kegunaan lainnya.
Masuk lebih dalam lagi
terdapat makam Islam dan makam Mbah Karimah, mertua Sunan Ampel. Konon, Kembang
Kuning ini memiliki hubungan dengan Kembang Putih, Tuban, karena menurut
berbagai literasi, Kembang Kuning (Kambang Kuning) dan Kembang Putih (Kambang
Putih) pernah tercatat sebagai kota pelabuhan besar di tanah Jawa. Jika para
sesepuh kampung menunjukkan bahwa terdapat jejak selasar-selasar yang pernah
dilalui air atau sungai pada masa lalu, maka saya meyakini bahwa Kembang Kuning
merupakan salah satu jalur toll laut yang pernah dibangun di era Majapahit,
seperti yang tercantum dalam literatur-literatur peninggalan kerajaan terbesar
itu; dan dapat diperkirakan pula bahwa dari sinilah proses Islamisasi di tanah
Jawa bermula.
Kami juga berkunjung ke
makam Ayub Abdul Djalal, seniman
populer yang dikenal dengan tubuh tambunnya dan pernah membintangi beberapa
film layar lebar, termasuk 'Inem Pelayan Seksi'. Selain Ayub, adapula makam
maestro musik Toni Kerdijk, penggagas
sekolah musik pertama di Surabaya yang juga guru dari Mus Mulyadi dan Dara
Puspita. Di Kembang Kuning pula kami menjumpai makam Everdina Bruring yang dalam nisannya tertulis Everdina Soetomo,
istri dari Dr.Soetomo, tokoh pergerakan nasional Indonesia.
Sebelum menuju makam
Belanda, kami mengamati patung Alfred
Emile Rambaldo, penerbang Belanda yang membuka jalur penerbangan pertama
kali di Jawa, yang kemudian tewas karena kecelakaan balon udara. Kami juga
menjumpai monumen walikota kedua Surabaya pada jaman kolonial, yakni G.J Dijkerman. Tugu monumen itu terletak
di tengah komplek makam Kembang Kuning, dengan patung malaikat diatasnya.
Monumen itu digunakan sebagai peringatan bahwa beliaulah yang membuka lahan
pemakaman Kembang Kuning pada era kolonial Belanda.
Perjalanan kami berlanjut
ke Ereveld, komplek makam kehormatan
Belanda. Disana kami disambut oleh Bu Audrey, seorang wanita indo-jerman,
pengelola Ereveld yang banyak menceritakan kisah dibalik keberadaan jasad yang
terkubur dalam deretan nisan yang berjumlah hampir limaribuan. Diantara
banyaknya nisan, saya sempat heran karena terdapat jajaran nisan dengan nama
yang sama. Ketika saya tanyakan pada Bu Audrey, ternyata kesamaan nama itu
adalah nama marga dari beberapa orang dalam satu keluarga yang terbunuh dalam
kamp konsentrasi Jepang. Di sudut Ereveld juga terdapat tugu peringatan
limabelas marinir Belanda yang tenggelam saat agresi Jepang, dan
ditengah-tengahnya terdapat tugu peringatan Karel
Doorman, pemimpin angkatan laut Belanda yang gugur dalam pertempuran Laut
Jawa.
Selain bercerita tentang
sejarah, Bu Audrey juga menunjukkan proses pembuatan nisan-nisan makam, juga
berbagi ilmu lettering untuk menuliskan huruf secara manual pada nisan maupun
bendera-bendera penghias karangan bunga yang digunakan para peziarah.
Berada di Ereveld juga berasa ada dalam cover album Metallica, Master of
Puppets, makanya daku selpi2..
Tepat dihadapan komplek
makam Ereveld, terdapat satu-satunya makam Islam di tengah makam Nasrani dengan
nama Roro Hadiningsih, yang di dalam
batu nisannya tertulis sebagai korban kekejaman pasukan Dai Nippon. Mas Dhahana
Adi menceritakan bahwa Roro Ningsih ini meninggal saat hendak diperkosa tentara
Jepang. Entah meninggal karena dibunuh atau bunuh diri, tidak ada yang tahu.
Sore ini saya, juga para
pengajar IC School serta para anak didik, memiliki kebanggan tersendiri karena
sekolah kami tercatat sebagai sekolah pertama yang menjajal rute B Ereveld
Surabaya atas kreasi dari Mas Dhahana Adi dan teman-teman Gekraf Jatim. Kami
semua mendapat banyak pelajaran dari studi wisata Kembang Kuning. Mas Dhahana
Adi dan Bu Audrey telah menjelaskan banyak pada kami. Tak hanya faktor
kesejarahan saja, melainkan dari Kembang Kuning kita juga bisa mengetahui
betapa Surabaya sebagai kota besar dapat menerima segala perbedaan yang ada.
Tanah Surabaya adalah tanah kemajemukan. Kultur masyarakatnya yang keras,
ceplas-ceplos namun ramah menyimpan segala keunikan yang bisa dirasakan oleh
siapa saja yang berkunjung. Walhasil, walaupun sedikit lelah karena perjalanan
yang cukup panjang, namun kami puas. Tak terkecuali Pak Ubaid yang bersemangat,
Pak Huda yang tetap sumringah walaupun sambil menahan sakitnya lima buah bisul
yang tumbuh di ketiak kirinya, juga cerianya gadis-gadis guru muda: Yuni dan
Bella.
Di tengah mendung yang
mulai membuka diri pada matahari, tampak Kak Dita guru ekonomi, berseri-seri
dengan kerudung coklat kayu manisnya. Seorang guru ekonomi yang cerah ceria
sedang berjalan mengiringi perjalanan anak-anak didik, rasanya di setiap
langkahnya segala teori ekonomi runtuh. Aku membayangkan bila Dita memegang
kuasa dan mengakhiri dominasi ekonom pria di seluruh dunia...
Karena terlalu lama
memperhatikan Dita, aku baru sadar jika aku kurang ngopi. Maklum, pagi tadi aku
hanya sempat menikmati setengah gelas saja. Seusai acara kudatangi sebuah
warkop yang penjualnya kepo dan bertanya,
"Mas, onok acara opo kok ngajak siswa nang kembang
kuning? Golek togel ta?"
Aku hanya tertawa kecil,
lalu menerangkan sedikit padanya tentang kesejarahan Kembang Kuning, seperti
yang diceritakan oleh Mas Dhahana Adi dan Bu Audrey. Pemilik warung itu
terperangah. Seperti halnya diriku, rupanya ia juga baru tahu bahwa Kembang
Kuning adalah muara seribu cerita tentang Surabaya.
No comments:
Post a Comment