Di
sekitar tahun 1960, ratusan anak muda cemerlang dikirim Presiden Soekarno untuk
belajar ilmu dan teknologi di berbagai universitas di dunia. Ada yang belajar
sastra, ilmu teknik, kedokteran, pertanian dan sebagainya. Atas biaya negara,
mereka dianggap sebagai mahasiswa ikatan dinas (mahid).
Anak-anak
muda ini tengah sibuk-sibuknya mengejar ilmu ketika di Tanah Air, peristiwa
G30S/PKI meletus di tahun 1965. Beberapa lama setelahnya, nasib mereka berubah
mendadak: paspor para mahasiswa ini ditarik dan tak lagi diakui negara. Mereka
terbangun di pagi hari di Beijing, Moskwa, Pyongyang, dan kota-kota negara kiri
lainnya dan mendapati diri mereka bukan lagi bagian dari tanah airnya.
Mereka
menjadi layang-layang putus yang tak pandai menunggangi angin. Raganya di timur
jauh dan Eropa, cinta mereka ke Indonesia, tapi tanpa pegangan dan penanda
sebagai warga negara.
Inilah
kisah Waloejo Sedjati, satu dari layang-layang putus dari Indonesia itu. Lelaki
yang lahir 27 Juli 1935 di Desa Legokkalong, Kecamatan Karanganyar, Pekalongan,
Jawa Tengah ini menuangkan kisahnya yang panjang dan getir dalam buku “Bumi
Tuhan: Orang Buangan di Pyongyang, Moskwa dan Paris”.
*
* * * *
Usianya
25 tahun saat itu. Ia yang pernah kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada, meraih beasiswa bersama seorang mahasiswa Universitas Padjadjaran
untuk belajar ilmu kedokteran di Pyongyang, Korea Utara.
Waloejo
ingat benar, ia meninggalkan Indonesia pada pukul 11, tanggal 11, bulan 11,
tahun 1960. Di apron penumpang Bandara Kemayoran, ia dilepas ayah dan
orang sekampungnya dengan air mata kebahagiaan: seorang pemuda Legokkalong kini
dikirim Presiden untuk belajar di negeri yang asing.
Waloejo
pergi dengan sekoper pakaian yang terselip di dalamnya oleh-oleh wayang
Gatotkaca. Saat duduk di dalam pesawat, ia geli membayangkan Gatotkaca di rak
bagasi itu betul-betul sedang terbang di angkasa. Begitu pesawat melintas di
atas lautan, pramugari datang membawa nampan berisi hidangan dan selembar
sertifikat untuknya dengan tulisan indah: "Telah Melewati Garis
Khatulistiwa".
Pesawat
itu tidak langsung membawanya ke Pyongyang di Korea Utara, tapi transit
di Singapura, Yangon di Myanmar, bermalam di Kunming di China lalu ke
Beijing. Empat hari di Beijing, diurus orang kedutaan Indonesia, ia kemudian
naik kereta api menuju Pyongyang.
Salju
sedang turun di kota Pyongyang ketika kereta tiba. Dan itulah pertama kalinya
Waloejo melihat salju. Ia disambut begitu megah di Stasiun Pyongyang, dengan
drum band dan karangan bunga. Tiba di hotel, ucapan selamat datang dan hadiah
seperangkat pakaian musim dingin, disampaikan kepadanya dengan pesan
"langsung dari Marsekal Kim Il Sung".
Pada
malam harinya, ia dijamu pemimpin Liga Pemuda Demokrasi. Atas semua itu,
Waloejo bertanya dalam hati: "apakah sudah begitu pentingnya kedatangan
kami ini?"
Di
Korea "dinding pun punya kuping". Bulan-bulan pertama di Pyongyang,
ia belajar bahasa Korea di Universitas Kim Il Sung. Ia belajar bersama
para mahasiswa asing lainnya dari Eropa Timur, Afrika dan Asia. Lalu pada bulan
September 1961 ia pun memulai masa delapan tahun belajar ilmu kedokteran di
Institut Kedokteran Pyongyang. Di sana, di kalangan mahasiswa ia menjadi
"bintang". Selain karena ia tak berseragam seperti mahasiswa lain, ia
dianggap "datang dari negeri kapitalis untuk menimba ilmu di negara
sosialis".
Ia
sempat mendampingi kontingen olahraga Korea Utara yang datang bertanding di
Ganefo, pesta olahraga negara-negara Asia yang digagas Bung Karno di Jakarta
sebagai tandingan Olimpiade di tahun 1963. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk
pulang kampung ke Karanganyar.
Ia
juga menyaksikan kunjungan bersejarah Bung Karno ke Korea Utara di awal musim
gugur tahun 1964, beberapa bulan setelah dibentuknya hubungan diplomatik
Indonesia-Korea Utara. Sambutan kepada Soekarno di Pyongyang itu merupakan
pesta terbesar yang pernah diadakan untuk menyambut tamu kepala negara asing.
Pesta penyambutan digelar selama tiga hari di jalan-jalan dengan aneka acara,
seluruh kota berhias dan dipercantik, ribuan lampu menyala di malam hari dengan
display huruf "Selamat Datang" dan "Hidup Persahabatan"
dalam bahasa Indonesia dan Korea.
Selama
kunjungan itu, Waloejo dikontrak Radio Pyongyang sebagai penerjemah siaran
berita.
Ia
juga menjadi saksi kedatangan Ketua CC PKI, DN Aidit pada September 1963. Aidit
saat itu menyerukan: "Kelak, kalau PKI menang, ya seperti Koreanya kawan
Kim Il Sung inilah sosialisme Indonesia akan kami bangun". Ucapan Aidit
segera jadi bahan propaganda dalam negeri Korea Utara, dicetak khusus lalu
disebarkan ke seluruh negeri. Harian partai Rodong Shinmun memuatnya sebagai
headline, radio dan televisi menyiarkannya berulang-ulang.
Kunjungan
terakhir petinggi Indonesia ke Pyongyang yang ia ingat adalah delegasi MPR yang
dipimpin Ketua Chaerul Saleh di minggu keempat bulan September 1965, hari-hari
menjelang sebuah peristiwa besar meletus di Tanah Air.
Beberapa
hari sepulangnya delegasi MPR itu, pada 1 Oktober 1965 pagi, siaran radio
Australia berbahasa Indonesia membawa kabar bagai bisul yang pecah di
Pyongyang: Tanah Air berguncang oleh peristiwa G30S, penculikan dan pembunuhan
enam jenderal Angkatan Darat di Jakarta pada 30 September 1965, lewat tengah
malam.
Dalam
kebingungan yang galau, kata Waloejo, "kami orang-orang Indonesia di
Pyongyang -- ketika itu ada tujuh mahasiswa dan dua sarjana yang sedang
melakukan riset -- hanya bisa meraba-raba."
Berhari-hari
tak ada berita resmi, kecuali kabar dari radio-radio luar negeri. Bahkan KBRI
di Pyongyang pun tak bisa menjawab. "Perasaan kami dicengkam kecemasan
luar biasa," kata Waloejo.
Begitulah.
Waktu berjalan dalam ketidakpastian. Pada awal 1967, Waloejo mendengar seorang
Kolonel Angkatan Darat dari Indonesia tiba di Pyongyang. Beberapa hari
kemudian, Waloejo dan kawan-kawan menerima surat pencabutan paspor Indonesia.
Ia tak menyesal. "Apa artinya paspor dicabut dibanding kawan-kawan di
Indonesia yang dikejar, disiksa dan dicabut nyawanya?"
Sejak
itu, Waloejo Sedjati menjadi manusia tanpa negara, bagai layang-layang putus,
tak tahu ke mana angin mengibaskannya. "Aku bukan siapa-siapa lagi. Hanya
seorang pengembara tanpa identitas," katanya.
Bekalnya
kini sebagai manusia hanya satu buku kecil tipis yang diperpanjang setiap dua
tahun: Izin Tinggal Orang Asing di Korea Utara.
Dalam
status tak jelas itu, toh ia tetap melanjutkan kuliah. Ia lulus menjadi dokter
setelah sembilan tahun.
Bagi
Waloejo, inilah saatnya meninggalkan Korea Utara. Tapi hendak ke mana?
Pada
5 Maret 1970, Waloejo meninggalkan Pyongyang dengan keharuan yang dalam. Ia
hanya menyalami piket penjaga, seorang pengurus kantin dan dua staf yang
mengurusi makanannya bertahun-tahun lamanya, lalu seorang guru pembimbing yang
menyerahkan paspor dan tiket pesawat. Waloejo menuju Moskwa.
Di
ibukota Uni Soviet itu, akhirnya ia tahu, ada ratusan mahasiswa Indonesia
ikatan dinas yang belajar di berbagai perguruan tinggi, puluhan di antaranya di
Universitas Patrice Lumumba. Mereka semua "orang-orang yang terhalang
pulang", orang Indonesia yang paspornya telah dicabut, tak diakui sebagai
warga negara oleh pemerintah Orde Baru.
Waloejo
kemudian masuk Universitas Patrice Lumumba, ia mendalami ilmu bedah
sembari berpraktik di sebuah rumah sakit. Ia juga menjalankan penelitian untuk
gelar doktor di bawah bimbingan Profesor Chumakov, perintis transplantasi
jantung di Uni Soviet. Keahlian Waloejo yang terasah adalah operasi
transplantasi buah zakar dari mayat korban kecelakaan yang masih segar ke
pasien dengan masalah scrotum! Dalam rentang 1973-1980, ia sukses melakukan
operasi pemindahan biji lelaki itu setidaknya 30 kali.
Ia
akhirnya menjadi dokter spesialis bedah, dan sekaligus meraih gelar doktor
setelah menghabiskan 400 ekor tikus putih untuk eksperimen di laboratorium.
Dengan
gelar doktor dan dokter ahli bedah, di bulan Desember 1981 Waloejo Sedjati
meninggalkan Moskwa. Ia berkereta menuju Budapest, Hongaria lalu ke Yugoslavia.
Tujuan utamanya hendak pindah ke Paris, ibukota Perancis -- ibukota peradaban
Eropa. Ia memanfaatkan kedekatannya sesama orang Indonesia yang terbuang serta
jaringan sesama dokter lulusan Moskwa di kota-kota itu untuk sekadar singgah.
Ia tak memegang paspor, hanya selembar surat keterangan tanpa warga negara
(stateless) dengan huruf Rusia.
Di
setiap kota yang disinggahinya itu, ia tetap membuka praktik pengobatan.
Akhirnya,
Waloejo tiba di Paris pada bulan Februari 1982 di saat kota itu "sudah
muak kebanjiran imigran". Banyak pencari suaka ditolak. Tapi sebagai
dokter ia akhirnya diterima. Ia kemudian menetap di Paris dalam naungan UNHCR.
Pada
suatu hari di tahun 1982, ia berhasil mendatangkan ayah dan ibu, serta adiknya
ke Eropa. Itulah perjumpaan yang sangat mengharu-biru setelah 25 tahun
perpisahan. Dan akhirnya, ia mendengar cerita dari tanah air tentang ayahnya
yang dituduh sebagai pemimpin PKI oleh orang sekampung di Legokkalong,
Karanganyar itu karena kepergiannya sekolah ke Pyongyang dulu -- tapi tak
seorang pun yang bisa membuktikannya. Kata ibunya: "Bapakmu mengucapkan
kata komunis saja belum pernah kok disuruh mengaku pemimpinnya!"
Keluarga
ini selamat meski hubungan dengan orang sekampung, bahkan dengan sanak kerabat,
sudah berubah. Di kampung itu banyak yang mati dibantai dituduh sebagai PKI.
"Tak ada sahabat, tak ada saudara. Dituduh maling atau garong, atau
pelacur bahkan anjing masih mungkin mencari selamat. Tapi kalau dituduh
komunis, pasti habis," kata sang ayah.
Dari
ayah dan ibunya ia mendengar cerita menyayat hati tentang pembunuhan massal
orang-orang kampung oleh kerabat sendiri, oleh polisi dan tentara, karena
tuduhan sebagai PKI. Mayat-mayat mereka bertebaran dan membusuk. Sungai Loji di
pantai utara bahkan seperti tersumbat oleh banyaknya mayat.
Begitulah.
Sebulan ia berkumpul dengan ayah ibunya. Lalu sepulang mereka kembali,
kehidupan yang keras dimulai lagi.
Baru
pada 11 Oktober 1994 ia memperoleh kewarganegaraan Perancia -- sesuatu yang
sesungguhnya tak ia inginkan karena tetap mengingat Indonesia. "Tapi saya
ingin pulang ke Tanah Air. Untuk itu saya harus punya status warga
negara," katanya.
Dengan
paspor Perancis di tangan, Waloejo bebas pergi ke seluruh negeri di muka bumi,
tentu saja kalau punya uang. Dan negeri pertama yang hendak ia datangi adalah
Indonesia, tanah kelahirannya, yang 35 tahun telah ia tinggalkan.
Dipenuhi
rasa gamang, pada 13 September 1995, pukul 10.00 pagi, pesawat yang membawanya
dari Paris mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. "Ketika kakiku menginjakkan
lantai bandara, terasa ada satu getaran ajaib. Tanah tumpah darahku. Tempat aku
dilahirkan."
Selanjutnya
adalah perjalanan nostalgia sebagai turis Perancis berwajah Melayu yang pada
paspornya ada visa turis dengan izin 60 hari sahaja.
*
* * * *
Begitulah.
Semua
kisahnya itu ia tuliskan dalam sebuah buku: Bumi Tuhan, Orang Buangan di
Pyongyang, Moskwa dan Paris.
Buku
ini adalah memoarnya, kisah hidupnya di rantau dan tak pulang-pulang sampai
akhir hayatnya. Waloejo Sedjati meninggal di Paris pada 3 September 2013.
Hanya
kisahnya ini yang tertinggal.
--
TEBET, 30 September 2017 (foto: cielsorra.wordpress.com)
No comments:
Post a Comment