YUDHISTIRA MOKSA
Mari kita coba baca teks kuno dari
Mahabharata ini. Episode ini jarang
dilihat orang, tapi maknanya top markotop
CUPLIKAN MAHABHARATA - kandha-14
Yudhistira Moksa
Beberapa tahun setelah darah mengering di
medan Kurusetra, Hastinapura menjelma menjadi negara yang agung di bawah
pimpinan Prabu Parikesit.
Saat itulah Yudhistira merasa tugasnya telah
selesai. Maka ia mengutarakan keinginannya untuk mencari kesejatian, kembali
kepada “Sangkan Paraning Dumadi”
dengan mendaki Gunung Himawan/Mahameru
Keempat saudaranya, dan Drupadi, terkesiap.
Mereka tak mau ditinggalkan di istana.
“Aku
tak punya siapa-siapa lagi, Kakang…” isak Drupadi “Aku hanya punya dirimu dan Pandhawa…”.
Drupadi benar. Seluruh keluarganya terbunuh
di Bharatayudha. Ayahnya, Drupada tewas di tangan Dorna. Drestajumena, adiknya, yang disusupi roh
dendam kesumat Ekalaya berhasil membunuh Dorna. Namun hanya dalam hitungan hari
Asuatama menuntut balas membantai Drestajumena.
Bersimpuh di kaki suaminya, Drupadi meleleh
mengenang nasibnya yang remuk. Nun di balairung Hastinapura kemolekan tubuhnya
nyaris terumbar oleh tangan mesum Dursasana ketika ksatria ini mempertaruhkan
dirinya di meja dadu.
Yudhistira terdiam mendengar isak Drupadi,
Namun keputusannya telah bulat. Ia harus pergi, tugasnya di dunia telah
selesai.
Maka berangkatlah Pandhawa Lima dan Drupadi
menuju pegunungan Mahameru. Tak lupa mereka membawa serta seekor anjing putih
kecil.
Perjalanan sangat berat. Medan dan cuaca yang
ganas membuat Drupadi mulai mengeluh. Berkali-kali Yudhistira berusaha
memapahnya agar terus berjalan. Tapi Drupadi tak sanggup meneruskan langkahnya
dan terjatuh.
“Aku tak sanggup lagi, Kakang..” ia merintih.
Yudhistira memutar kembali ingatannya.
Bertahun-tahun ia meredam perih tatkala mendapati bahwa selama ini sebenarnya
Drupadi mencintai Arjuna. Bukan dirinya. Drupadi jualah yang membuat Adipati
Karna mabuk kepayang hingga ajal menjemput diujung Pasopatinya Arjuna. Dan
kini, "belahan jiwa" itu sekarat di lengannya ketika mereka baru
mencapai kaki Gunung Himawan.
Berlima mereka meneruskan langkah di tengah
cuaca yang kian mendera. Panas yang mengelupas kulit berubah dingin yang
mendera tulang. Sadewa mulai limbung. Ia menguat-nguatkan dirinya agar mampu mengikuti
langkah kakak-kakaknya.
“Kakang… tolonglah aku” keluh Sadewa. Ia mencoba merangkak tapi
seluruh persendiannya seakan terlepas. Nafasnya tersengal-sengal dan tak
sanggup meneruskan perjalanan. Sadewa tewas ketika perjalanan baru mencapai
lereng.
Kematian Sadewa ternyata baru awal. Tak lama
kemudian menyusul satu demi satu Nakula dan Arjuna. Bima menggeram. "Kenapa adik-adikku harus mati dengan
cara yang mengenaskan, Kakang, aaarrrgggh!”
“Bima…” suara Yudhistira bergetar “Tuhan
tidak menyukai kesombongan. Sadewa merasa dirinya paling tampan. Nakula
mengangap dirinya paling pandai. Sedang Arjuna, hmmm….”
Yudhistira menerawang. “Kesaktian Arjuna setingkat Dewa” ujar Yudhistira. “Ia gemar tapabrata dan kekasih Hyang
Batara Indra. Tapi ia jumawa. Masih ingatkah kau ketika
adikmu itu menggugat darah balas darah, pati balas pati tatkala puteranya
gugur? Ia bersumpah akan membalas kematian Abimanyu sebelum matahari lengser. Ternyata ia tidak menepati janjinya. Tuhan
tidak suka.”
Sekuat tenaga mereka berdua meneruskan
langkah. Puncak Gunung Himawan temaram di antara halimun.
Bima mulai gontai. Terseok-seok ia berusaha
menjaga keseimbangan tubuhnya beberapa langkah di belakang Yudhistira. Tapi ia
semakin tertinggal jauh. Hingga akhirnya tubuh raksasa itu berdebam jatuh
menimpa bumi.
“Kakang… aku tak sanggup lagi… ” teriak Bima._
Yudhistira menghentikan langkahnya untuk
memberikan penghormatan terakhir kepada pahlawan Bharatayudha itu.
Batinnya bergumam. “Wahai Putera Bayu kesayangan Dewa Ruci… engkau jumawa dan merasa
dirimu tak terkalahkan oleh siapapun. Bicaramu kasar, dan engkau tak pernah
merasa bersalah. Selamat jalan, pergilah, adikku…”
Yudhistira meneruskan langkahnya ditemani
anjing putih yang setia itu. Hingga sampailah keduanya di puncak Gunung
Mahameru.
Suasana hening. Siluet tubuh Yudhistira
tampak merunduk menghitam dilatari salju. Rambut sebahu yang puluhan tahun
disemati makuta berlian itu lusuh memburai.
“Semua telah pergi. Sebentar lagi giliranku. Duh Yang
Maha Agung… terimalah adik-adik hamba…” Ia menarik nafas panjang, lalu membungkukkan
badan berbicara kepada anjingnya. “Aku
gundah bukan karena harus menghadapi ajalku. Namun aku tak tega meninggalkanmu
sendirian di puncak gunung ini…”
Tiba-tiba anjing putih itu lenyap menjadi
asap bergulung. Yudhistira terdongak mendengar suara gemuruh di angkasa. Dari
balik awan Betara Indra muncul mengendarai kereta kencana yang dihela delapan
kuda sembrani putih. Berhenti tepat di hadapan putera sulung Pandu Dewanata
ini.
“Samiaji…” ujar Betara Indra “adik-adikmu gagal karena hidup mereka sarat dengan pamrih. Mereka
merasa bahwa dirinya “penuh berisi” padahal sejatinya “kosong”. Sedang engkau
sebaliknya. Engkau “mengisi”, dengan “mengosongkan” dirimu”.
Betara Indra mengangsurkan tangannya “Ayo. Naiklah ke atas keretaku... kuantar engkau
ke surga karena keutamaanmu”.
MORAL OF THIS STORY
Saudaraku. Kita tak harus menjejali diri
penuh-penuh untuk “mengisi” diri kita, namun dengan "mengosongkan"
hati. Percayalah... Sang Maha Pemberi akan mengisinya.
Semoga bermanfaat cuplikan-cuplikan dari Mahabharata yang tak lekang oleh waktu..
No comments:
Post a Comment