BUNG KARNO MERANCANG PALANGKA RAYA MIRIP WASHINGTON
DC
Palangka Raya - Presiden Sukarno merancang dari
awal tata kota Palangka Raya yang juga diresmikannya pada 1957 silam. Dengan
kondisi Kota Palangka Raya yang sangat luas, Sukarno merancang tata kota Palangka
Raya mulai dari poros tiang pancang dan bundaran besar di depan Istana
Gubernur.
Pakar tata kota dan penulis buku 'Sukarno &
Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya', Wijanarka, mengatakan secara
konsep kota Palangka Raya dirancang sebagai kota baru dan modern dengan luas 20
kilometer (km) x 60 km, berbentuk seperti persegi panjang. Bentuk persegi
panjang sendiri merupakan filosofi dari budaya dayak yang menyerupai Palangka,
yakni tempat suci dalam budaya dayak.
"Jadi bentuk persegi panjang itu dalam budaya
dayak, itu menyerupai Palangka Bulau, makanya itu dinamai Palangka Raya,
artinya adalah tempat yang suci, dilengkapi Raya yang artinya besar,"
katanya saat ditemui detikcom di Palangka Raya, Kamis (13/7/2017).
Secara administrasi, luas wilayah kota Palangka
Raya juga sangat besar, mencapai 2.400 km2. Jumlah ini empat kali lebih luas
dibanding luas wilayah DKI Jakarta sebesar 661,52 km2.
Dari luasan tersebut, yang menjadi kawasan
terbangun masih sekitar 60 hingga 70 km2. Di kawasan terbangun ini, Tugu
Sukarno menjadi embrio atau awal pembangunan kota Palangka Raya.
Wijanarka menjelaskan, ada alasan tersendiri kenapa
pembangunan pertama Kota Palangka Raya bukan dilakukan dengan peletakan batu
pertama, melainkan pemancangan tiang. Hal ini dilakukan berdasarkan kearifan
lokal suku Dayak yang membangun rumah harus ditancapkan tiang terlebih
dulu.
Selain itu, Sukarno juga menginginkan tiang
tersebut menjadi analogi pembangunan yang modern, sesuai dengan konsep
pembangunan kota di Washington DC dan negara-negara besar lainnya yang bergaya
art deco.
Desain art deco merupakan salah satu gaya
arsitektur modern yang mberikan kebebasan berseni bagi desainer untuk
menciptakan sebuah makna modern pada desain interior yang dibuatnya. Modern
dapat diartikan sebagai berani tampil beda dan baru, serta tampil lebih menarik
dari yang lain dan tidak kuno. Semua hal tersebut diwujudkan dengan pemilihan
warna mencolok, proporsi yang tidak biasa, penggunaan material terbaru, dan
dekorasi yang megah.
"Maka tadi, berupa rumah-rumah bertiang,
walaupun perkantorannya tidak bertiang, jadi konsepnya itu modern. Jadi ingin
menunjukkan bahwa Palangka Raya waktu itu sudah modern dengan batu bata, tidak
bertiang, ada gaya-gaya art deco (seperti tower-tower), nah informasinya itu juga
usulan dari Bung Karno," terang Wijanarka.
"Jadi pada saat tahun 1959 pada saat Bung
Karno datang lagi ke sini, itu Bung Karno melihat kantor-kantornya agak
monoton. Makanya disarankan untuk menambahi ornamen-ornamen tiang art deco itu
supaya tidak monoton. Bung Karno juga gemar dengan gaya-gaya art deco, Bung
Karno juga gemar dengan konsep polivium (bundaran silang banyak), Bung Karno
juga senang dengan konsep desain mal Washington DC. Jadi jalan Yos Sudarso itu
seperti seolah-seolah mal Washington DC nya," sambungnya.
Keinginan Sukarno untuk menjadikan Palangka Raya
sebagai suatu kota baru seperti Washington DC juga tampaknya disambut baik
dengan keberadaan lahan basah (gambut dan danau) yang mengelilingi kota dan
juga lahan kering, lokasi pembangunan.
"Di ibu kota seperti Washington DC dan
Canberra itu memang memadukan danau atau lahan basah dan lahan kering dan
bangunan-bangunan. Nah ini juga memadukan itu," ungkapnya.
"Jadi kalau kita melihat tren desain-desain
ibu kota yang ada di luar negeri itu, selalu memadukan antara lahan basah dan
lahan kering. Nah lahan gambut mungkin bisa dimanfaatkan sebagai RTH nya, lahan
kering bisa sebagai hutan kotanya, sehingga itu adalah memadukan antara
arsitektur dan lingkungannya itu," tukas dia.
No comments:
Post a Comment