KERETA
API – HUKUM EFEK
Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono
Kebetulan almarhum ayah saya berasal dari keluarga kereta api.
Ayahnya, ayah tirinya dan adiknya, semua bekerja di kereta api, yang
perusahaannya pada waktu itu (di zaman Belanda) bernama Nederlands-Indische
Spoorweg Maatschappij (NIS).
Perusahaan ini pada 28 September 1945, diambil alih oleh
organisasi AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dari pemerintah Jepang, dan sejak
itu tanggal 28 September dijadikan hari Kereta Api Nasional. Saya sendiri
selama masih tinggal di Tegal, sampai SMA kelas I di tahun 1958, masih suka
menggunakan kereta api jurusan Tegal-Purwokerto pp (mbah saya di Cilacap) dan
Tegal-Jakarta pp (eyang saya di Jakarta) (Catatan: sampai hari ini saat sendiri
tidak mengerti mengapa kakek dan nenek yang dari ayah dipanggil ”mbah”,
sedangkan yang dari ibu dipanggil ”eyang”).
Pengalaman naik kereta api waktu itu tidak begitu jauh dari
cerita-cerita mbah dan paman saya tentang perjalanan dengan kereta api di zaman
Belanda (sebagai pegawai NIS beliau-beliau bisa naik KA gratis ke manamana).
Sama-sama pakai AC (angin cepoi-cepoi) dan di setiap stasiun banyak pedagang
asongan, sebagian di antaranya meloncat masuk KA bahkan sebelum KA berhenti.
Tetapi yang paling mengganggu adalah waktu perjalanan yang makin lama makin
sering terlambat.
Keterlambatan bukan hanya hitungan menit, tetapi jam. Terlambat
lebih dari tiga jam dianggap biasa. Karena itu, nama perusahaan pertama dari
perusahaan KA setelah diambil alih oleh AMKA adalah Djawatan Kereta Api,
disingkat DKA, yang kalau diplesetkan menjadi Djam KAret (”Dj” ejaan lama,
dibaca ”J”), Setelah saya pindah sekolah ke Bogor dan kuliah di UI Jakarta
(sejak 1958), saya hampir tidak pernah lagi naik KA di Indonesia, tetapi saya
sering naik KA di luar negeri, mulai KA dari kampung ke kampung di Belanda,
sampai kereta api Thalys dan TGV di Eropa dan Shinkansen di Jepang.
Pengalaman saya ber-KA di luar negeri menambah keengganan saya
ber-KA di Indonesia, kecuali KA superspesial seperti KA Bima (Biru Malam)
Jakarta- Surabaya pp yang ada tempat tidurnya (tahun 1969), atau KA Parahyangan
Jakarta- Bandung pp (yang AC-nya tidak pernah kendor dan selalu tepat waktu).
Saya lebih memilih kapal terbang walaupun untuk perjalanan di Jawa.
Sementara itu, kondisi perkeretaapian Indonesia makin parah.
Setiap menjelang lebaran, calon penumpang mengantre sampai menginap di stasiun
untuk memperoleh tiket mudik yang sebagian besar sudah di tangan calo. Di dalam
gerbong tidak ada lagi ruang tersisa, sampai WC pun terisi manusia, sehingga saya
tidak bisa membayangkan bagaimana caranya orang kalau mau pipis atau mau pup .
Bukan itu saja. Sebagai dosen yang hampir setiap hari ke UI
Depok, dan melintasi jalan sejajar dengan rel dari Pasar Minggu-Lenteng Agung
sampai UI, saya menyaksikan bagaimana KA diperkosa habis-habisan oleh
penumpang. Karena itu setelah DKA, nama perusahaan kereta api diganti menjadi
PNKA (Perusahaan Negara KA), tetapi penumpangnya malah mau gratisan naik KA,
sehingga PNKA diplesetkan menjadi Penumpang Numpang-gratis di KA.
Dari PNKA diubah lagi namanya menjadi PJKA (Perusahaan Jawatan
KA), tetapi sama saja, malah PJKA jadinya berarti Penumpang Jalan-jalan di atas
KA. Masih penasaran nama PJKA diganti lagi menjadi Perumka, tetapi tetap saja
hasilnya: Penumpang Ngerumpi di atas KA. Baru sejak namanya berganti menjadi PT
KAI (PT Kereta Api Indonesia, sejak 2011), kereta api Indonesia betul-betul
menjadi KA yang nyaman untuk ditumpangi.
Saya beberapa kali mencoba menikmati KA gaya PT KAI, dan saya
pikir nama baru ini sudah tepat yang artinya adalah Penumpang Tertib di KA
Indonesia. Bahkan baru-baru ini saya mengajak tamu saya, seorang psikolog dari
Prancis, Dr Roseline Davido, untuk menikmati KA Argo Lawu Yogyakarta-Jakarta.
Ternyata beliau sangat menikmati perjalanan itu. Beliau
menikmati pemandangan alam, AC yang sejuk terus, dan WC yang bersih dan tidak
berbau (walaupun WC jongkok dan goyangannya melebihi gempa bumi 7 Skala
Richter). Bahkan, beliau membeli sarapan dari petugas restorasi yang
berkeliling dari gerbong ke gerbong, dan dengan semangat mengacungkan uang Rp 5.000
(lima ribu rupiah) untuk membayar yang tentu saja ditertawakan oleh mbak
petugas restorasi.
Cepat-cepat saya sodorkan uang senilai harga yang sebenarnya,
yaitu Rp 35.000. Mungkin di mata Dr Davido uang lima ribu itu sudah banyak
sekali, karena dia terbiasa berpikir dalam euro yang hanya satuan atau maksimal
belasan saja.
Saya tidak tahu apa rahasianya Dirut PT KAI Ignasius Jonan
ketika membalikkan kondisi Perumka menjadi PT KAI dan bagaimana penggantinya,
Dirut Edi Sukmoro bisa mempertahankan perubahan itu sampai sekarang (biasanya
ganti pimpinan, ganti kebijakan).
Saya belum pernah mengadakan penelitian di PT KAI, tetapi saya
melihat dari luar bahwa PT KAI menjalankan perubahan sistem dengan sangat
konsisten. Ketika penertiban stasiun UI berlangsung, dan mendapat perlawanan
keras dari PKL yang didukung oleh BEM, mahasiswa, dan dosen-dosen serta
didukung oleh LSM, saya lihat petugas penertiban tidak mundur selangkah pun.
Hari ini tidak ada lagi yang mengomel dengan keadaan stasiun UI yang sudah
bebas dari PKL dan penumpang liar yang tidak mau membayar.
Buat saya, PT KAI adalah salah satu contoh bagaimana Revolusi
Mental seharusnya dipraktikkan. Manusia Indonesia bisa diatur dan bisa
ditertibkan. Bukan lewat jargon-jargon atau ayat-ayat, melainkan cukup dengan
melaksanakan suatu sistem yang ditegakkan secara konsisten dan terus-menerus
yang dalam psikologi dikenal dengan Hukum Efek
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia - KORAN SINDO, 04 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment