Sharing dari blog Aditya Mulya
GENERASI SEBELUMNYA
Ada seorang operations manager dari sebuah client kantor gue –
yang cool banget. Kita undang dia makan siang dan nasinya keras. Kita sebagai
vendor yang baik, meminta maaf.
Dia bilang, “Gak papa. Justru saya suka nasi keras. Gak suka tuh
saya, beras sushi.”
“Kok sukanya nasi yang keras Pak?” I cannot help but to ask.
“Iya, orang tua saya ngajarin jangan pernah buang makanan. Nasi
kemarin juga kita makan.”
This may be simple. But this, blew my mind.
Dan setelah gue menjadi orang tua, di sini lah gue lihat banyak
orang tua mulai mengambil langkah yang tidak disadari, berdampak.
“Saya waktu kecil, miskin. Saya pastikan anak-anak saya
mendapatkan yang terbaik, termahal.”
“Waktu kecil, saya makan aja susah. Saya pastikan mereka itu
sekarang makan enak.”
“Waktu kecil, saya belajar ditemani lilin dan 2 buku. Sekarang
anak saya, saya sekolahkan ke Inggris.”
We experienced the worst and therefore we tend to give the best.
The question is, is the best…is what our children need? Really?
Orang sukses itu menjadi sukses karena (1) dididik dengan benar,
terlepas dari dari apakah dia kaya atau miskin (2) dididik oleh kesulitan yang
dia hadapi.
Kita akui ada anak orang kaya yang tetap jempolan attitudenya
dan perjuangannya. Tapi kita lihat kebanyakan orang sukses juga dulunya sulit.
Kesulitan (dalam beberapa kasus, kemiskinan) itu yang menjadi drive orang-orang
untuk menjadi sukses. Ini adalah resep yang nyata. Kesulitan yang orang-orang sukses
ini hadapi adalah ladang ujian di mana mereka menempa diri mereka menjadi orang
sukses.
Pertanyaannya, jika kita ingin mencetak anak-anak yang bermental
baja, kenapa kita justru memberikan semua kemudahan? Kenapa justru kita
hilangkan semua kesulitan itu?
Karena dengan menghilangkan kesulitan-kesulitan itu, justru kita
menciptakan generasi yang syarat hidupnya banyak.
GENERASI BERIKUTNYA
Apa yang terjadi dengan dari hasil thinking frame ‘dulu saya
susah, saya tidak ingin anak saya susah’? Ini yang terjadi:
Anak dari teman ibu gue terbiasa makan beras impor thailand. Di
98, kita terkena krisis dan orang tuanya tidak lagi mampu beli beras impor.
Yang terjadi adalah, anaknya gak bisa makan.
Ada anak dari teman yang terbiasa makan es krim haagen dasz, ketika
pertama kali makan es krim lokal, dia muntah.
Ada cucu yang ngamuk di rumah neneknya karena di rumah nenek,
gak ada air panas.
Gue tidak mencibir mereka. Apa adanya seorang manusia itu
terjadi dari nature dan nurture. Semua ini, adalah nurture.
Bahkan di kantor pun sama. Di kantor kebetulan gue jadi mentor
seseorang (saat ini). Dalam sebuah kesempatan, dia pernah berkata “Duh, gak
nyaman di posisi ini.”
Di lain kesempatan, “Sayang ya, si X resign, padahal dia membuat
saya nyaman di kantor sini.”
Pada kali kedua gue mendengar mentee gue ngomong ini, gue mulai
masuk “Kamu sadar gak, kamu udah 2 kali menggaris-bawahi bahwa kenyamanan dalam
kerja itu, penting bagi kamu.”
“…”
“Emang sih idealnya nyaman. Tapi sayangnya, this is life. We
don’t get to pick ideal situations. Sometimes we need to settle with what we
have and deal with it.
Tentang kenyamanan, coba jadikan itu sebagai sesuatu yang ‘nice
to have’ dan bukan ‘must have’.”
What to Do?
Gue menyukai cara Sultan Jogja mendidik anak-anaknya. Gue pernah
dengar bahwa di saat batita, anak sultan dikirim untuk hiidup di desa. Makan
susah, main tanah, mandi di sumur. Intinya, meski dia anak sultan, dia tidak
tahu bahwa dia anak sultan dan dia merasakan standar hidup yang rendah – dan
merasa cukup dengan itu. Setelah agak besar, dia kembali ke istana. Dampaknya,
semua Sultan, bersikap merakyat. Dia makan steak, tapi dia tahu bahwa steak
yang dia makan adalah sebuah kemewahan. Bukan sebuah syarat hidup niminum.
Gue pun memiliki syarat-syarat hidup. Semenjak menjadi seorang
bapak, gue berubah total dan gue kikis hilang itu semua. Karena gue tidak ingin
anak-anak gue memiliki syarat hidup yang banyak. Dan satu-satunya cara
memastikan itu terjadi adalah bahwa gue pun tidak boleh memiliki syarat hidup
banyak.
Gue mengajak mereka naik kopaja atau transjakarta setiap hari ke
sekolah, sebelum mereka merasakan bahwa naik angkutan umum itu, rendah.
Gue membiarkan mereka tidur di lantai. Siapa tahu suatu saat
nanti mereka harus terus-terusan.
Gue mematikan AC saat mereka tidur – siapa tahu mereka suatu
saat cannot afford air conditioning.
Gue tidak menginstall air panas karena gue ingin anak-anak gue
baik-baik saja jika suatu saat nanti mereka tiap hari harus mandi air dingin.
Gue melarang mereka main tablet karena gue ingin mereka tidak
tergantung dengan kemewahan itu.
Gue melarang mereka menilai teman dari merk mobil mereka karena
merk mobil itu gak pernah penting, dan gak akan penting.
Kita pergi ke mall memakai kopaja. And we have fun
ketawa-ketawa, seperti jutaan orang lain.
Gue tidak membuang nasi kemarin yang memang masih bagus. Instead
gue makan sama anak-anak gue. Siapa tahu suatu saat, that is all they can
afford. Agak keras. And we like it.
We teach them to pursue happiness so that they learn the value
and purposes of things. Not the price of things.
Nasi kemarin yang masih perfectly safe to eat, masih punya
value. Kopaja dan mercy memiliki purpose yang sama, yaitu mengantar kita ke
sebuah tempat.
AC atau gak AC memberikan value yang sama. A good night sleep.
Kenapa semua ini penting? Kita harus ingat bahwa generasi bapak
kita adalah generasi yang bersaing dengan 3 milyar orang. Mereka bisa
mengumpulkan kekayaan dan membeli kemudahan untuk generasi kita. Kita harus
bersaing dengan 7 milyar orang. Anak kita nanti mungkin harus bersaing dengan
12 milyar orang di generasi mereka.
One needs to be a tough person to be able to compete with
12 billion people. Dan percaya lah, memiliki syarat hidup yang banyak, tidak
akan membantu anak-anak kita bersaing dengan 12 milyar orang itu.
Itu aja sih.
Copas dari blog Aditya Mulya
No comments:
Post a Comment