Perilaku
Hubungan Abnormal: Homo dan Lesbi
By Imam Shamsi Ali, New York*
Ada satu argumen yang seringkali dilemparkan oleh pendukung atau
pembela kaum Luth. Bahwa kecenderungan menjadi homo atau lesbi memang
disebabkan oleh genetik sejak lahir. Itu di satu sisi.
Di sisi lain, mereka menyebutkan bahwa kecenderungan homo atau
lesbi itu bukan penyakit, dan bukan pula karena pengaruh lingkungan
(pergaulan). Tapi lebih kepada "variasi preferensi seksual" manusia.
Saya akan mencoba merespon kepada kedua argumentasi tersebut.
Tentu tanpa tendensi menghakimi orang lain. Toh dalam dunia yang terbangun di
atas keterbukaan, khususnya informasi, perebedaan ide, pendapat, bahkan pilihan
iman, adalah lumrah.
Lingkungan vs preferensi seksual
Saya memulai dari argumentasi yang mengatakan bahwa
kecenderungan homo dan lesbi bukan penyelewengan seksual yang diakibatkan oleh
salah satunya lingkungan dan/atau pergaulan. Tapi lebih kepada variasi
preferensi seksual.
Saya tidak memahami istilah variasi preferensi seksual itu, jika
memang terbawa lahir. Sebab baik kata "variasi" ataupun
"preferensi" bernuansa "pilihan" dan bukan bawaan.
Artinya istilah "variasi preferensi seksual" yang
diyakini sebagai alami terbawa sejak lahir adalah sangat aneh. Saya tidak
membawa lahir untuk menyukai "coto Mangkasara". Tapi karena saya
lahir di daerah Sul-Sel maka saya menjadikannya sebagai "preferred"
(preference) makanan saya.
Oleh karenanya jika kecenderungan homo dan lesbi itu karena
variasi preferensi seksual maka itu bukan hal yang terbawa lahir. Tapi lebih
kepada ditumbuhkan oleh suasana sekitar, lingkungan atau pergaulan.
Saya masih teringat ketika pertama kali saya membeli durian di
New York. Saya makan durian itu di depan teman Amerika. Dia hampir muntah
karena tidak tahan dengan baunya. Saya membujuk agar menutup hidung mencobanya.
Singkat cerita teman itu kini doyan durian.
Saya bisa mengatakan bahwa dia telah menjadikan durian sebagai
variasi preferensi taste-nya. Dan itu karena lingkungan pergaulannya dengan
orang-orang Asia.
Maka argumentasi yang mengatakan bahwa kecenderungan homo dan
lesbi itu bawaan dan variasi preferensi seksual dan bukan penularan adalah
argumentasi yang self contradictory (bertolak belakang).
Bayangkan di kota New York, di akhir pekan di bagian bawah Manhattan
ada tempat yang disebut East dan West village. Ribuan mereka yang mengaku gay
(pria wanita) menjalani akir pekan mereka.
Dari sekitar 8 juta penduduk kota New York, masuk akalkah ribuan
di antaranya terlahir dalam keadaan demikian? Kenapa mereka semakin bertambah
setelah pergaulan itu dinyatakan lumrah atau bahkan menjadi HAM dan kebebasan?
Jawabannya karena pergaulan itulah yanh ditopang oleh rasa
ketidak puasan dalam hidup menjadikannya berkembang pesat.
Untreated (tidak tersembuhkan)
Betulkah kecenderungan homo dan lesbi tidak dapat dirubah?
Betulkah jika upaya pengobatam atau penyembuhan itu adalah sia-sia?
Saya ingin menyebutkan dua kasus bagaimana seorang pria sejati
berubah menjadi gay. Dan seorang yang pernah mengaku gay berubah menjadi
seorang suami dan ayah.
Mungkin banyak yang kenal Jim Mcgreevey, mantan gubernur New
Jersey di AS. Setelah bertahun-tahun menjadi seorang politisi sukses, seorang
suami yang ideal dengan tiga anak, tiba-tiba mengumumkan jika dirinya adalah
seorang gay.
Setelah diteliti secara dekat oleh beberapa kolega di New Jersey
ternyata perubahan suami dan ayah tiga putri yang cantik-cantik itu disebabkan
oleh pergaulannya dengan salah seorang asistennya yang juga gay.
Dengan demikian Jim berubah preferensi seksualnya ketika sering
bergaul dengan seorang gay. Mungkin terbiasa di bawah ke dunia itu dan
mengalami pengalaman baru dalam suasana ketidak puasan hidup. Diapun harus
mengakhiri karirnya sebagai politisi yang briliant.
Cerita lain adalah murid saya sendiri. Cerita ini bukan baru
karena sering saya ceritakan di mana-mana.
Beberapa tahun lalu saya ditelpon oleh seorang sopir limo di
kota New York. Menurutnya ada pelanggang mobil dia yang ingin belajar Islam.
Saya meminta dia agar datang ke masjid.
Di suatu hari datangkah orang itu. Orang putih tinggi besar dan
bertatto. Setelah duduk saya tanya kenapa mau belajar Islam? Dia mengatakan
karena dia ingin jalan hidup yang menuntunnya dalam 24 jam 7 hari.
Dia beragama Budha saat itu. Walaupun lahir Katolik, lalu pindah
Protestan, dan akhirnya masuk Budha. Bahkan ketika datang ke saya dia
berpakaian biksu untuk tujuan menghargai saya sebagai Imam.
Singkat cerita saya menjelaskan bagaimana Islam menuntun hidup
manusia dalam 24 jam sehari semalam.
Baru beberapa menit dia memotong saya dan bertanya: apakah benar
saya bisa diterima sebagai Muslim?
Saya jawab: semua manusia dirangkul oleh Islam dan semua
memiliki peluang yang sama untuk menjadi yang terbaik.
Saya kemudian lanjut menjelaskan tuntunan Islam. Tapi dia
memotong saya lagi: Are you sure I can be accepted in Islam?
Karena terkejut saya tanya: kenapa bertanya demikian?
"Because I am a gay" jawabnya jujur.
Saya lali bertanya kepadanya: sejak kapan anda merasakan seperti
itu? Apakah sejak kecil?
Dia diam sejenak lalu mengatakan:Ttidak. Saya gay baru ketika
memulai bisnis saya.
Apa bisnis anda? Tanya saya...Ternyata dia adalah event
organizer dalam bidang fashion show. Pergaulannya di dunia model yang
menjadikannya memiliki kecenderungan seperti itu.
Singkat cerita saya katakan: menjadi Muslim bukan sekedar pindah
agama. Tapi mau melakukan perubahan. Dan anda pernah berubah. Maukah anda
berubah?
Dia jawab dengan tegas: Yes, I will.
Alhamdulillah setelah masuk Islam, dua bulan kemudian di bulan
Ramadan dia menelpon saya memberitahu kalau dia puasa dan merasakan ketenangan.
Setahun kemudian di musim haji saya kembali mendapat telpon
menyampaikan kalau dia lagi di Maroko untuk melamar calon isterinya. Dia
rupanya diam-diam mencari jodoh lewat biro jodoh di internet.
Alhamdulillah, teman kita ini sudah berkeluarga dan berbahagia.
Penutup.
Tidak ada di dunia ini yang tidak bisa berubah. Apalagi itu
adalah bagian dari preferensi gaya hidup. Saya memang kurang mengerti dengan
mereka yang membela homo dan lesbi. Di satu sisi meninggikan "kemampuan
manusia untuk menentukan pilihan". Tapi di sisi lain mereka berargumen
seolah kaum homo dan lesbi itu tunduk patuh pada ketentuan lahir.
Di dunia ini memang banyak paradoks!
New York, 16 Pebruari 2016
No comments:
Post a Comment