Jangan Latih Anak-anak Dijemput KBRI..!
Oleh: Rhenald Kasali
Mungkin kita semua sepakat, anak-anak yang pintar di sekolah
belum tentu pintar dalam kehidupan.
Sayangnya banyak orang tua yang masih berpikir, kalau anaknya
juara kelas, pintar di sekolah, pasti akan pintar menjalani hidup.
Untuk itulah sering kita lihat orang tua yang amat protektif,
membuat anak merasa sudah belajar walau itu hanya di sekolah. Sedangkan
perjalanannya menuju sekolah, pergaulannnya, kebiasaannya mengambil keputusan
dalam keadaan sulit, selalu disterilisasi orangtua.
Apalagi bila orang tua punya kuasa, banyak koneksi, punya uang,
maka semua itu akan distrerilisasi lebih luas lagi. Padahal yang membentuk
orang tuanya hari ini sukses sudah jelas: orangtua mereka tak seprotektif mereka.
Kalau sudah begitu, apa hasilnya?
Anda lihat sendiri, banyak anak-anak pandai di sekolah tak
berdaya saat di-bully kawan-kawannya, kurang bergaul, dan bila dikejar
anjing di kampung, ia tidak bisa melompat, larinya tercekat.
Dan di usia dewasa, ia bisa menjadi sosok yang sulit bagi
teman-teman, pasangan dan kolega-koleganya. Ia akan merasa terus pandai,
seakan-akan kecerdasaannya tetap, tak berubah.
Ke Luar Negeri, Bagus
Pepatah mengatakan, dunia ini ibarat sebuah buku. Mereka yang
tak melakukan perjalanan (hanya kuliah saja), hanya membaca satu halaman.
Terilhami oleh Susi Pudjiastuti, saya pun menugaskan mahasiswa
ke mancanegara. Tidak main-main. Satu orang satu negara.
Menteri Kelautan dan Perikanan ini, sejak remaja sudah menyewa
truk dari kampungnya di Pangandaran, hanya bersama seorang sopir, ia pergi
membeli ikan ke Cirebon atau Indramayu, lalu berjualan ke Pasar Ikan di
Jakarta.
Bila dulu saya menugaskan tiga orang satu negara, sejak
kehadiran Ibu Susi di kelas itu, saya mengubahnya menjadi satu negara-satu
orang.
Syaratnya, tidak boleh di antar, dan tak boleh ada yang
menjemput. Itupun harus pergi ke negara yang tak berbahasa Melayu.
Anda tahu siapa musuh program ini?
Para mahasiswa melaporkan, ada dua pihak. Pertama adalah orang
tua yang selalu beranggapan anaknya bak princess. Orangtua bahkan merespon
dengan negatif, takut anaknya kesasar. Padahal doktrin kelas itu sejak awal
sangat jelas, “Berpikir karena kesasar”.
Setiap kali orangtua protes, saya selalu bilang, “Memang kalau
tersasar, mengapa?”
Dari situ, sebagian tiba-tiba tersentak dan tertegun sendiri
karena hampir semua orangtua pasti pernah kesasar, dan toh akhirnya pulang juga
dengan selamat. Malah menjadi semakin pandai, lebih percaya diri.
Sebagian lagi, responsnya begitulah, memindahkan anaknya ke
kelas lain. Mereka mengambil keputusan untuk anaknya yang sudah dewasa dengan
menghentikan sebuah proses belajar yang penting untuk membangun hidup mereka.
Orangtua juga mengatur banyak hal. Tiket pesawat, rute tujuan,
menginap di mana, siapa yang jemput, makan apa, pakaian dan perlengkapan,
sampai SIM Card dan obat-obatan.
Padahal anaknya gaul, sehat, senang berpetualang. Dan kalau
diatur, ia malah menjadi merasa tak dipecaya, bahkan malu dengan
kawan-kawannya.
Bagi saya, ini semua bisa membuat anak kurang terlatih
menghadapi kesulitan. Sebab setiap kali menghadapi persoalan kecil saja, mereka
bisa menghindar dan cepat-cepat minta bantuan.
Dan musuh kedua adalah, para dosen sendiri. Ya, para akademisi
percaya anak pintar itu tak boleh banyak bermain. Baca, baca, baca, buat tugas.
Padahal anak-anak pintar itu terlalu serius, terlalu steril dan kurang bermain.
Anda tahu apa yang dilakukan orangtua agar anak-anaknya diterima
di perguruan tinggi yang bagus?
Mungkin Anda bisa lihat bagaimana treatment orangtua
sejak anaknya masih kecil. Jangankan untuk menuju perguruan tinggi, untuk
diterima di SMP yang bagus saja, sejak kelas 5 SD anak-anak itu sudah dilatih
pulang sore/malam hari, ikut les ini dan itu. Katanya untuk diterima di SMP A
harus ikut bimbel di B.
Kalau sudah begitu, anak-anak yang pandai ini menjadi kurang
bergaul dan menjadi kurang asyik di mata teman-temannya. Mereka dicetak dalam
alam berpikir bahwa pandai dalam kehidupan itu ada di ruang kelas, melalui
program tertulis. Padahal pandai itu adalah mampu mengambil keputusan yang
tepat.
Bayangkan, bila sejak kecil sampai dewasa anak-anak itu tak
pernah berlatih mengambil keputusan dalam keadaan sulit. Bahkan untuk naik
taksi saja ia tak berani.
Pergi ke luar negeri seorang diri, bagi seorang anak ia akan
belajar banyak hal. Bagaimana kalau ketinggalan pesawat, kehilangan bagasi,
kesasar, diganggu orang, mengunjungi situs-situs penting, mengatur waktu,
makan, dan seterusnya.
Mengapa harus dijemput?
Kisah anak-anak pejabat yang orang tuanya begitu bernafsu
mengatur dan mengawal anak-anaknya agar tak kesasar di luar negeri, saat ini
sudah amat keterlaluan. Orang tua telah mengambil hak-hak penting si anak untuk
menjadi rajawali.
Anak diasumsikan sebagai sosok yang tak mampu bergerak sendiri,
dan seakan-akan alam tak memberi ruang bagi anak untuk belajar. Padahal, anak
SLB sekalipun punya kemampuan belajar yang luar biasa kalau diberi kesempatan,
dan sebaliknya kalau dianggap bodoh.
Mungkin anda sudah menerima catatan seorang dosen di Surabaya
yang viral dua hari ini. Sayang, saya tak menemukan sumbernya setelah beredar
dari satu WA ke WA lainnya. Tapi saya kira apa yang dilakukan untuk merekam
momen yang ia lihat dan catat harus kita hargai. Ini sebuah catatan yang
istimewa bagi para orangtua dan pendidik.
Ia mencatat kejadian saat menemukan seorang siswa SLB penderita
tunagrahita yang begitu bahagia saat menemukan alamat yang dicari. Siswa itu
kabarnya diberangkatkan dari Jogja untuk mencari alamat di Surabaya.
"Syaratnya boleh bertanya, namun tidak boleh diantar, tidak
boleh naik kendaraan yang bersifat mengantar seperti taxi dan becak. Tidak
boleh meminta - minta. Dan masih banyak aturan lain Bahkan dia mencari tempat
sampah untuk membuang sampahnya." Catat orang berjasa ini.
Tapi yang membuat saya tercengang adalah catatannya yang ini:
"Dia berkata bahwa dia dilarang bersedih. "Kata pak Guru aku ngga
boleh sedih, kalau sedih nanti bodoh lagi", ucapnya polos."
Sekarang tinggallah kita memeriksa apa yang telah kita lakukan
pada anak-anak kita. Apakah benar kita telah melatih anak-anak kita untuk
menjadi pemimpin yang hebat, rajawali yang matanya tajam dan mampu terbang
tinggi, atau menjadikan mereka burung dara yang indah, yang sayap-sayapnya
terjahit.
Anak-anak yang dijemput dengan fasilitas yang dimiliki orantua
akan kehilangan banyak momen yang bisa membuat ia kelak lebih pandai dalam
hidup.
Kisah anak-anak saya di Fakultas Ekonomi yang pergi ke luar
negeri sudah dibukukan oleh mereka sendiri dalam buku “30 Paspor di Kelas
Sang Profesor”. Edisi terbaru juga telah disiapkan anak-anak itu dalam
episode “Duta Perdamaian”.
Ketika mendengarkan presentasi mereka, saya selalu belajar bahwa
anak-anak hebat ini kelak akan menjadi lebih hebat lagi. Dengan
metode sharing economy, mereka kini bisa menyebar ke mancanegara dengan
biaya minimal.
Tak terbayangkan bagaimana mahasiswi saya yang dompetnya hilang
di London bisa tetap menyelesaikan misinya hingga ke Scotlandia, menembus dua
negara selama 10 hari dengan sehat.
Tak terbayangkan bagaimana mereka mengajarkan dua perempuan
Jepang memakai hijab. Tak terpikirkan pula bagaimana mereka berkenalan dengan
anak-anak konglomerat dan dijadikan narasumber di berbagai kampus yang mereka
kunjungi.
Anak-anak yang steril tak punya cerita menurut versi mereka
sendiri. Dan anak-anak itu bisa jadi pembual yang hebat. Tetapi anak-anak yang
tak dijemput KBRI kalau ke luar negri, yang berani menghadapi hidup ini dalam
perhitungan yang dilatih sendiri, kelak akan mempunyai story versi
mereka sendiri.
Personal story adalah modal dasar seorang
pemimpin. Ia akan merasa hidupnya berarti, dan sadar bahwa di luar
sekolah ada banyak pelajaran yang bisa melatih kepemimpian, empati sosial dan
pemgambilan keputusan.
Jadi, sudahlah. Hentikan dagelan ini, orangtua!
Oleh: Rhenald Kasali
Kamis, 30 Juni 2016 | 05:00 WIB
No comments:
Post a Comment