Lagi Lagi Palsu
Rhenald Kasali, Koran Sindo
Heboh kasus vaksin palsu membuat saya terkenang dengan
perjalanan ke New York, Amerika Serikat, beberapa tahun lalu. Kolega saya
penderita asam urat. Jadi, ia harus secara reguler mengonsumsi obat.
Celakanya, sekitar 45 menit sebelum pesawat yang kami tumpangi tinggal landas dari Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, ia baru sadar kalau obatnya ternyata tertinggal di rumah.
Celakanya, sekitar 45 menit sebelum pesawat yang kami tumpangi tinggal landas dari Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, ia baru sadar kalau obatnya ternyata tertinggal di rumah.
Ia resah. Meski begitu, ia mengeraskan hati untuk tetap
berangkat. Kerepotan pun mulai datang. Untuk mencegah serangan asam urat di
pesawat, selama penerbangan ia harus minum berbotol-botol air mineral. Akibatnya
ia harus sering bolak-balik ke kamar kecil. Perjalanan panjang ke AS
betul-betul membuatnya tidak nyaman.
Sesampai di New York, ia langsung mencari apotek untuk membeli
obat asam urat. Saya menemani. Sesampai di apotek, petugas di sana menolak
menjual obat asam urat kepada kolega saya. Padahal, dia sudah menyebut mereknya
dan produknya juga ada di situ.
Meski kolega saya memohon dengan sangat dan menjelaskan
alasannya, sang petugas di counter tetap bersikukuh menolak. Mengapa? Sederhana
saja, tak memiliki resep dokter. Padahal, sesuai aturan, obat asam urat
termasuk jenis obat yang harus dibeli dengan resep dokter.
Begitulah di AS, dan banyak negara maju lainnya, peraturan
dibuat untuk dipatuhi, bukan dilanggar. Akhirnya teman saya pun menyerah. Ia
meninggalkan apotek dengan perasaan kecewa dan sekaligus resah, sebab kami akan
berada di New York untuk sekurang-kurangnya lima hari.
Naluri Primitif
Baiklah kita tinggalkan cerita tentang kolega saya tadi. Kini
saya ajak Anda untuk melihat kondisi yang terjadi di negara kita — terlebih
setelah meledaknya kasus vaksin palsu. Di negeri ini, bahkan untuk jenis obat
yang tergolong daftar G (asal kata gevaarlijk yang artinya
berbahaya) sekalipun — yang mestinya hanya bisa diperoleh dengan resep dokter -
kalau Anda tahu mereknya, petugas di apotek akan dengan senang hati melayani.
Bahkan jika Anda tidak tahu mereknya sekalipun, asal bisa
menyebutkan perkiraan jenis obat yang dibutuhkan, sang petugas masih mau
mencarikan. Hanya kalau obatnya betul- betul keras dan mempunyai efek samping
yang membahayakan, baru petugas akan menanyakan resep dokter. Bagaimana kalau
Anda sama sekali tidak punya resep dokter? Mudah saja, pergilah ke toko-toko
obat yang banyak bertebaran di mana-mana.
Di sana sang pemilik toko akan dengan senang hati melayani,
bahkan kadang dia kerap bertindak layaknya dokter. Menanyakan apa
sakitnya, bagaimana gejala-gejalanya, lalu merekomendasikan jenis obatnya. Apa
jadinya kalau obat yang Anda cari tidak ada di toko-toko obat di sekitar rumah
Anda? Bagi warga Jakarta, masih ada pilihan lain. Pergilah ke pasar obat
Pramuka atau Kramatjati, keduanya di Jakarta Timur.
Di sana banyak dijual obat-obatan yang mestinya baru bisa Anda
peroleh kalau memiliki resep dokter. Risikonya sudah tentu harus Anda tanggung
sendiri. Baik Pasar Pramuka maupun Kramatjati sudah lama dikenal sebagai pusat
grosir untuk obat-obatan dan alat-alat kesehatan. Pasarnya pun tidak
gelap-gelapan, tetapi terang-terangan.
Itu terjadi bukan hanya dua atau tiga tahun belakangan ini,
tetapi sudah belasan dan bahkan puluhan tahun. Pasar Pramuka, misalnya, sudah
berdiri sejak 1975. Berkembangnya pasar-pasar obat tersebut menggambarkan
betapa longgarnya pengawasan dan terlalu bebasnya distribusi obat-obatan di
negara kita. Maka saya tak heran kalau kasus vaksin palsu, mungkin juga
kelak obat palsu, menjadi ramai belakangan ini.
Buat saya, lemahnya pengawasan dan bebasnya distribusi
obat-obatan ibarat bom waktu. Persoalannya tinggal kapan meledaknya. Dan
mengapa kita begitu murka dengan kasus vaksin palsu? Sebab ini melibatkan
anak-anak. Anda tahu kalau sudah bicara soal anak, apalagi bayi dan balita,
yang muncul adalah naluri primitif. Persis seperti harimau yang marah dan siap
menyabung nyawa kalau anak-anaknya diganggu, begitu pulalah kita.
Silakan kalau Anda ingin menambahkan analisis yang lain.
Misalnya mungkin sebagai bangsa, kita berpotensi gagal memetik bonus demografi
pada 2020-2030, karena anakanak yang kelak menjadi penyangga utamanya ternyata
bermasalah. Kondisi kesehatannya tidak prima dan tingkat imunitasnya rendah.
Itu, antara lain, akibat vaksin palsu.
Kita Penciptanya
Sesungguhnya bangsa kita sudah biasa menghadapi soal yang
palsu-palsu semacam ini. Kasusnya mudah ditemukan di mana-mana dan Anda pasti
pernah dengar. Misalnya kasus ijazah palsu, SIM atau STNK palsu, surat nikah
palsu, dan paspor palsu. Itu yang terkait dokumen negara.
Masih banyak produk palsu lainnya. Misalnya dokter palsu,
sarjana atau doktor palsu, polisi atau TNI palsu, dan hakim palsu. Bahkan,
vonis atau putusan pengadilan pun dipalsukan. Belum lagi laki-laki atau
perempuan palsu yang baru diketahui setelah pasangan menikah. Mulai biasa kita
dengar juga. Kalau bicara barang, ada sepatu bermerek yang palsu, tas palsu,
fashion palsu, parfum palsu, jam tangan, ponsel, bahkan alat-alat dapur dan
masih banyak lagi. Ada juga buku bajakan, CD dan DVD bajakan, software bajakan
dan sebagainya. Bicara jasa, ada investasi bodong.
Kalau soal hiburan, cobalah tengok sinetron atau acara yang
tayang di stasiun-stasiun TV kita. Nyaris semuanya menebar mimpi. Membuai
masyarakat kita dengan kebohongan. Kita juga sering mendengar ungkapan yang
menyiratkan kepalsuan. Maka muncullah ungkapan, senyum palsu, tawa palsu,
seringai palsu, sampai rayuan gombal dan air mata buaya.
Di kancah politik, masyarakat kita betul-betul kenyang
dibohongi. Semasa kampanye janjinya A, B, C … Z, setelah terpilih nol besar.
Bahkan banyak sidang di parlemen kita yang kelihatannya saja serius, tapi
isinya sebetulnya bagi-bagi proyek. Kita dibohongi oleh janji-janji palsu.
Bicara barang atau jasa, sulitkah kita untuk tahu kalau itu palsu? Sama sekali
tidak.
”If the price is very cheap then its almost certainly a fake”. Kalau murah, hampir pasti itu palsu, kata David Russell,
musikus asal Skotlandia. Saya sengaja mengutip pernyataan David Russell, orang
bule, untuk menggambarkan bahwa ini adalah fenomena yang terjadi di mana-mana
di dunia. Jadi bukan khas Indonesia. Begitulah, banyak yang palsu di seputar
hidup kita.
Maka tak heran kalau kita pun kerap bersikap dan berperilaku
palsu. Persis kata penulis novel Dearly Devoted Dexter, Jeff Lindsay, ”Since
I am not actually a real human being, my emotional responses are generally
limited to what I have learned to fake.” Jadi, nikmatilah amarah orang tua
pada kasus vaksin palsu ini. Tapi apakah kita sudah kapok? Rasanya kok belum.
Masih banyak yang harus dibenahi.
Alih-alih menertibkan pasar obat-obatan ilegal, kita memilih
berkelahi dan saling menunjuk pihak lain. Padahal momentumnya dapat saat ini.
Dan — mestinya — kita mulai menaruh perhatian untuk bangun jati diri kita yang
sesungguhnya dari segala kepalsuan.
Misalnya, jangan cuma mempersoalkan apakah yang kita makan itu
haram atau halal, tapi persoalkan jugalah apakah uang untuk membelinya
benar-benar halal? Itu tentu hanya yang punya uang yang tahu, bukan yang
menjual atau yang menyaksikan. Jadi apakah kita sudah kapok?
Rhenald Kasali, Founder Rumah Perubahan
No comments:
Post a Comment