DRAMA REMAJA DALAM
GUA
Kisah yang menarik perhatian dunia
hampir 2 minggu terakhir ini...
Drama Remaja Dalam Gua - Senin 9 Juli 2018
Oleh: Dahlan Iskan
Ini seperti kisah-kisah petualangan
remaja ala Enid Blyton. Sejumlah anak remaja masuk gua. Terjebak di dalamnya.
Berhari-hari. Orang tua mereka cemas. Pahlawan tidak segera datang.
Tapi ini sungguhan. 12 remaja beneran
ini sudah dua minggu terjebak dalam gua beneran. Terperangkap.
Minggu kemarin lebih 1.000 wartawan
beneran berkumpul di depan gua. Sejak beberapa hari sebelumnya. Tagihan tilpon
saya pasti membengkak. Kisah ini terlalu dramatik untuk dilewatkan. Saya harus
menuliskannya. Dari jarak jauh. Dari Samarinda.
Drama ini bermula tanggal 23 Juni
lalu. Hari Sabtu. Saat Korea Selatan melawan Mexico. Di babak penyisihan Piala
Dunia Russia.
Saat itu satu tim sepakbola remaja di
pedalaman Thailand giat berlatih. Kampung mereka di pegunungan. Sulit
dijangkau. Di perbatasan antara Thailand dan Myanmar. Dekat kampung mereka ada
gua terkenal: Tham Luang.
Panjangnya 10 km. Bercabang.
Berbelok. Mulut guanya kecil. Di dalamnya melebar-menyempit. Dasar guanya
naik-turun.
Pelatih 12 anak itu lagi absen. Hari
itu tim diasuh asisten pelatih berumur 25 tahun: Ekapol. Nama panjangnya sulit
dieja: Ekapol Chanthawong.
Sebelum sesi latihan Ekapol mengajak
anak asuhnya rekreasi sambil bertualang: masuk gua. Ini penting. Untuk
pembentukan kekuatan mental pemain sepakbola.
Salah seorang remaja itu, Pheeraphat,
dipesani khusus oleh orangtuanya: habis latihan agar cepat pulang. Malam itu
adalah malam ulang tahunnya yang penting: sweet seventeen. Umurnya 16 tahun. Tapi
dihitung 17 untuk tahun Thailand. Yang punya kalender sendiri.
Orang tua Pheeraphat sudah
masak-masak. Dan beli kue ultah. Juga sudah mengundang kerabat.
Tapi sampai matahari tenggelam
Pheeraphat belum pulang. Tamu mulai berdatangan. Kepanikan mulai muncul.
Ditelepon tidak ada nada sambung.
Sesama orang tua saling terhubung.
Sama-sama bingung. Sama-sama gagal kontak. Satu-satunya anggota tim yang bisa
tersambung mengecewakan: hari itu ia tidak ikut latihan.
Pelatih utama tim sepakbola desa itu
ikut panik. Tapi juga gagal mengontak asistennya. ”Sejak pagi saya sudah berpesan padanya agar hati-hati. Agar naik
sepedanya di posisi paling belakang. Untuk bisa mengawasi anak asuh,” ujar
sang pelatih pada para orang tua.
Sampai tengah malam tidak ada kabar.
Usia anak-anak itu antara 11 sampai 16 tahun. Kepanikan kian tinggi. Hujan
deras tidak henti-hentinya. Pegunungan itu kian mencekam.
Bulan Juli-Agustus adalah musim moonson.
Kita, di negara tropis, hanya mengenal musim kemarau dan musim hujan. Dunia
belahan utara dan selatan hanya mengenal empat musim: dingin, semi, panas,
gugur.
Tapi di belahan dunia tertentu
mengenal musim moonson: India, Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Thailand,
Kamboja, Vietnam, Tiongkok bagian selatan. Yakni di wilayah antara dua musim
dan empat musim.
Di musim moonson seperti ini hujan,
badai, banjir dan taifun hampir terjadi setiap hari. Simaklah berita tv. Selalu
ada banjir besar di negara-negara itu.
Musim moonson adalah musim yang
paling tidak enak di wilayah-wilayah tersebut. Kebalikan dari kenyamanan di
Sumba. Bukan saja terlalu basah. Tapi udaranya juga sangat humid. Sumuk.
Kemringet. Hen men. Swety. Jangan ke Thailand dan sekitarnya di musim seperti
ini. Ke Sumba saja.
Sampai sekian hari itu tidak ada yang
tahu kalau anak mereka sebenarnya terjebak di dalam gua. Tidak ada yang
mendengar rencana ke gua. Tidak ada yang menyangka anak mereka diajak ke gua di
musim moonson.
Keesokan harinya keberadaan mereka
masih gaib. Hujan masih tercurah dari langit yang hitam. Hari-hari berikutnya
tetap gaib. Satu negara iikut heboh. Mistis ikut mewarnai.
Akhirnya ada yang menemukan sepeda
mereka. Di mulut gua. Yang tergenang air.
Hampir dipastikan 12 remaja dan satu
asisten pelatih itu ada di dalam gua. Kalau begitu masihkah mereka hidup?
Bagaimana cara memasuki gua yang mulutnya tertutup air? Apakah mereka punya
makanan? Seberapa jauh mereka memasuki gua?
Diskusi publik pun beralih: dari di
mana mereka ke bagaimana cara menolong mereka. Tiap hari berita di Thailand
didominasi drama gua ini. Seperti tidak ada piala dunia di sana. Tim Prancis,
tim Inggris kalah populer dengan tim sepakbola desa pegunungan ini.
Ketika drama ini menjadi berita
internasional tim penyelamat dunia turun tangan. Memperkuat tim penyelamat
bentukan pemerintah. Anggota tim umumnya para penyelam. Dari angkatan laut. Dan
profesional.
Seorang mantan penyelam angkatan laut
Thailand jibaku. Akan masuk ke mulut gua itu. Pemerintah mengijinkan. Atas
dasar reputasi orang ini.
Nama: Saman Kunan.
Umur: 38 tahun.
Prestasi: Juara 4 kali lomba petualang. Selalu ikut kejuaraan
petualangan. Peraih tropi menyeberangi sungai Kwai.
Dengan oksigen cukup Saman memasuki
air di mulut gua. Membawa banyak oksigen untuk para remaja itu.
Satu hari ditunggu. Tidak ada kabar
dari Saman. Ternyata Saman meninggal. Kehabisan oksigen. Drama pun bertambah
seru. Satu pahlawan telah ikut jadi bintang.
Penyelamat dari berbagai negara
tertantang. Mereka berdatangan. Menawarkan pertolongan. Terkumpul tim
penyelamat dari sembilan negara: Tiongkok, Australia, Inggris, Russia, Amerika
dan sebagainya. Bahkan bos besar Tesla ikut turun tangan: Elon Musk. Ia
menawarkan alat pendeteksi. Bagaimana keadaan alam di dalam gua. Juga menawarkan
mega baterai.
Hari silih berganti. Jalan keluar
tidak segera ditemukan. Publik gemes. Orang tua mereka pada lemes.
Akhirnya didatangkan pompa raksasa.
Untuk menguras air di mulut gua.
Pompa bekerja 24 jam sehari. Air yang
dipompa kelua sudah mencapai 128 juta liter. Mulut gua tidak juga terbuka.
Hujan moonson tidak kunjung berhenti.
Maka muncul ide melakukan pertolongan
dalam bentuk lain: mengebor gunung di atas gua itu. Tujuannya: agar ada udara
masuk. Siapa tahu mereka kekurangan oksigen. Yang akan membuat mereka mati
lemas.
Satu tim pendahuluan mencari lokasi
pengeboran. Mereka menaiki terjalnya gunung. Kendaraan mereka tergelincir.
Masuk jurang. Semua mengalami cedera. Meski tidak ada yang tewas.
Pada hari kesepuluh datang pahlawan
baru: dua penyelamat dari Inggris. Nama mereka: Richard Stanton dan John
Volanthen. Umur 50 dan 40 tahun. Yang satu petugas pemadam kebakaran.
Satunya lagi teknisi internet. Tapi keduanya kompak: lebih menyukai petualangan
dan penyelamatan.
Keduanya menjauh dari wartawan. Ketika
banyak yang ingin populer, keduanya tidak mau diwawancara. ”Saya ke sini untuk berbuat. Bukan untuk
bicara,” katanya singkat.
Lalu menyelam. Memasuki mulut gua. Lenyap ke dalam
kegelapan.
Berhasil! Keduanya menemukan
12 remaja itu. Dan asisten pelatih mereka.
Satu tim sepakbola ditemukan selamat
setelah terperangkap 9 hari di dalam gua (Image via EPA)
Mereka itu terjebak di rongga ketiga
di dalam gua itu. Duduk-duduk di atas tanah yang agak tinggi. Dikelilingi
genangan air. Luas tanah gundukan itu hanya sekitar 10m2. Sangat sempit. Gelap.
Pengap.
Mereka masih hidup. Semua. Masih
tidak kelihatan lemah. Atau frustrasi. Atau panik. Padahal sembilan hari sudah.
Terjebak di dalam gua. Tanpa tahu apakah akan ada jalan keluarnya.
Dua orang itu membawa makanan. Juga
membawa harapan. Keberadaan mereka direkam. Masing-masing menyampaikan pesan
kepada orang tua. Dalam bentuk rekaman video.
Mereka juga diminta menulis surat.
Untuk masing-masing keluarga. Tapi umumnya hanya menulis pendek. Mengabarkan
keadaan mereka baik-baik saja.
Sang asisten pelatih menulis agak
panjang: berjanji akan terus bersama anak asuhnya, memperhatikan mereka dan
yang utama meminta maaf pada semua orang tua mereka.
Semua itu dibawa ke luar gua.
Kegembiraan lantas melanda seluruh negara. Hujat dan caci berganti puja
dan puji.
Publik sepakat: mental anak-anak
mereka kuat berkat asisten pelatih itu. Asisten itulah yang terus mengajarkan
optimisme pada anak asuhnya. Mengajarkan sabar. Mengajarkan doa.
Mengajarkan tenggang rasa. Membagi
makanan yang ada sehemat-hematnya. Secara merata. Agar tidak ada yang rebutan
makanan. Atau yang kuat dapat makanan lebih banyak.
Makanan itu sangat terbatas. Hanya
yang dibeli untuk mengulangtahuni teman mereka: Pheeraphat. Sebelum masuk gua
sang asisten pelatih membeli makanan kecil
untuk ulang tahun itu.
Asisten pelatih ini memang bukan
pemuda biasa. Ia ditinggalkan mati ayahnya. Saat umurnya baru 10 tahun. Lalu
memutuskan untuk mengabdi di jalan Tuhan: sekolah bikhu Budha. Lalu tumbuh
menjadi bikhu remaja.
Tapi ibunya sakit keras. Ia harus
merawat ibunya. Ia pamit meninggalkan pagoda. Untuk sembahyang yang sebenarnya:
melayani ibunya. Sampai ibunya meninggal dunia.
Lalu jadi pembina remaja di
kampungnya.
Publik percaya di dalam gua itu sang
asisten terus menguatkan anak-anaknya.
Tim penyelamat Inggris itu justru
melihat sang asistenlah yang fisiknya lemah. Diduga ia yang paling sedikit
mengambil jatah makannya. Selama sembilan hari itu sang asisten lebih banyak
puasa.
Minggu kemarin ribuan orang berkumpul
di depan gua. Wartawannya saja lebih seribu orang. Sudah dua hari ini tidak ada
hujan. Hanya mendung menggelayut seperti tersangkut jaring superman.
Kemarin adalah hari terbaik untuk
penyelamatan akhir. Kalau tidak, mendung itu akan runtuh. Musim moonson belum
lewat. Air dalam gua bisa-bisa naik lagi. Mengancam daratan kecil yang dihuni
para remaja itu.
”Mereka berada 1,5 km dari mulut gua,” ujar penyelam Inggris itu. ”Saya harus menyelam di air sekitar
separo dari jarak itu,” tambahnya.
Akankah hari Minggu kemarin menjadi
hari kemerdekaan mereka? Kita tunggu beritanya sekarang ini. Saat Anda menjadi
pembaca pertama Disway.id Senin subuh ini. (dis)