PANDANGAN HUKUM DI JEPANG
Oleh: Moh Mahfud MD - Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
ANC adalah
sebuah komunitas pebisnis untuk kawasan ASEAN yang berkedudukan di Nagoya.
Mungkin karena saya dan Uceng berprofesi sebagai dosen di bidang hukum, pihak
tuan rumah membawa seorang advokat, Junya Haruna, dan seorang guru besar hukum
konstitusi dari Nagoya University, Prof Shimada.
Dengan
maksud mengobrol masalah yang ringan-ringan saja, saya bertanya kepada Junya
Haruna, “Seberapa banyak kasus penyuapan terhadap hakim yang terjadi di
Jepang?”, Haruna terperanjat dan tampak heran atas pertanyaan itu.
Dia
mengatakan, sepanjang kariernya dia tidak pernah mendengar ada hakim dicurigai
menerima suap di Jepang. “Terpikir pun tidak pernah.”
Di
Jepang, kata Haruna, masyarakat percaya bahwa hakim tidak mau disuap. Di sana
hakim sangat dihormati dan dimuliakan karena integritasnya.
“Apakah Anda
percaya pada semua putusan hakim yang juga mengalahkan Anda dalam menangani
perkara?” tanya saya. Haruna menjawab, semua putusan hakim diterima dan
dipercaya sebagai putusan yang dikeluarkan sesuai dengan kebenaran posisi hukum
yang diyakini oleh hakim.
“Di
sini tidak pernah ada kecurigaan hakim disuap. Seumpama pun kami kalah dan
tidak sependapat dengan putusan hakim, paling jauh kami hanya mengira hakim
kurang menguasai dalam satu kasus yang spesifik dan rumit atau kamilah yang
kurang bisa meyakinkan hakim dalam berargumen dan mengajukan bukti di
pengadilan. Tak pernah terpikir, hakim kok memutus karena disuap”, tambah
Haruna.
Ketika Haruna
mau bertanya balik tentang Indonesia, saya segera membelokkan pembicaraan. Saya
bilang restoran tempat kita lunch sangat indah dikelilingi oleh kebun bunga
yang memancing selera makan, termasuk bunga sakura dan pohon-pohon yang seperti
dibonsai dengan begitu harmonis. Lalu saya mengajak berfoto.
Saya lihat
Uceng segera berpatut-patut mengangkat kameranya yang canggih dan mengomando
kami agar ambil posisi untuk foto bersama. Uceng membantu saya dengan gaya
seperti pemotret profesional. Pembelokan
pokok pembicaraan pun berhasil digiring oleh Uceng.
Sengaja
saya belokkan pembicaraan tentang “penyuapan
hakim” itu karena saya takut ditanya balik dan harus bercerita jujur
tentang hukum, hakim, pengacara, dan penegakan hukum di Indonesia. Tak mungkin
bisa keluar dari mulut saya cerita tentang betapa buruknya penegakan hukum di
Indonesia. Apalagi saat itu saya baru berusaha meyakinkan pimpinan ANC bahwa
aturan hukum di Indonesia sangat kondusif untuk berinvestasi.
Saya
memang berbicara, aturan hukum (legal substance) di Indonesia sudah cukup bagus
untuk investasi. Tetapi saya tidak
berani berbicara penegakan hukum oleh aparat (legal structure) dan budaya hukum
(legal culture).
Bisa malu
kalau saya harus berbicara keadaan Indonesia tentang itu. Bayangkanlah, saya
harus bercerita, hakim-hakim di Indonesia bukan hanya dicurigai tetapi
benar-benar banyak yang digelandang ke penjara karena penyuapan hakim.
Saya
akan malu juga, misalnya, kalau harus bercerita bahwa di Indonesia banyak
pengacara tersandung kasus karena menyuap atau berusaha menyuap hakim. Tak
mungkin saya bercerita bahwa banyak pengacara di Indonesia yang tidak
mengandalkan kompetensi dalam profesi hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk
melobi aparat penegak hukum atau menggunakan posisi politik agar perkaranya
dimenangkan dengan imbalan uang.
Belum lagi
ada cerita-cerita bahwa calon pengacara yang magang (latihan mencari
pengalaman) kepada pengacara senior justru tugas pertamanya adalah disuruh
mengantar uang untuk menyuap hakim, jaksa, atau polisi dan yang bersangkutan
harus memastikan penyerahan suap itu aman adanya.
Begitu
juga takkan bisa keluar jawaban dari mulut saya kalau ditanya apakah di
Indonesia ada jaksa atau polisi yang dihukum karena penyuapan dan rekayasa
perkara? Akan malu saya sebagai anak bangsa jika menjawab itu dengan jujur
tetapi akan berdosa saya sebagai muslim jika saya menjawab dengan berbohong.
Kita memang mempunyai budaya sendiri sebagai bangsa, tetapi tidak salahkah
kalau dalam soal berhukum kita meniru Jepang.
Awal
2014, selepas menjadi ketua MK, saya diundang menjadi tamu oleh Kementerian Luar
Negeri Jepang di Tokyo. Saat saya tiba di sana, sedang gencar berita dan
kampanye untuk pemilihan gubernur Tokyo.
Apa ada
penggantian gubernur? Ya, tetapi bukan berdasar jadwal normal, melainkan karena
Gubernur Inosi, pejabat yang definitif, mengundurkan diri.
Mengapa
mengundurkan diri?. Karena sang gubernur diberitakan meminjam uang tanpa
jaminan ke sebuah rumah sakit besar dan oleh pers itu dicurigai untuk mendanai
kampanye politiknya. Karena pinjaman itu tanpa jaminan, pers menduga Inosi
nanti akan memberikan imbalan dalam bentuk, mungkin, korupsi politik
Jadi,
sang gubernur mengundurkan diri karena malu saat dicurigai akan (baru
dicurigai: akan) menggunakan jabatannya untuk melakukan korupsi politik.
Eloknya lagi, sekitar seminggu setelah saya pulang dari Jepang awal 2014 itu
seorang pegawai dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta datang kepada saya
mengantarkan uang Rp120.000 (seratus dua puluh ribu rupiah). Untuk apa?
“Waktu check
in untuk kembali ke Indonesia kemarin, di bandara, Bapak membayar airport tax
sendiri. Bapak tamu pemerintah, jadi harus kami yang menanggung semua,” jawab
pegawai dari Kedubes Jepang itu.
Wuih,
saya sudah diundang ke Jepang dengan fasilitas mewah, soal uang seratus dua
puluh ribu rupiah pun masih diantarkan kepada saya. “Duh, kok repot-repot
ngantar uang Rp120.000 ke sini? Kalau naik taksi pulang-pergi dari kantor Anda
ke sini sudah lebih dari Rp200.000,“ kata saya. Apa jawab petugas itu? “Itu
peraturan di kantor kami. Kami harus mematuhi semua peraturan tanpa menambah atau
mengurangi,” jawabnya.
Jepang
adalah anggota Kelompok Negara G-7, salah satu dari tujuh negara termaju di
dunia. Budaya hukumnya sangat indah, peraturan sesederhana apa pun ditaati.
Inilah rasanya yang lebih pas menjadi budaya Pancasila.
“Berapa puluh tahun lagi kita bisa berhukum seperti itu, Prof?” kata Uceng saat kami keluar dari jamuan makan siang Selasa lalu itu., “Nanti diskusikan di Jakarta saja,” jawab saya.
No comments:
Post a Comment