BAYAR
TUNAI JADI KUNO
By
Dahlan iskan - 13 April 2018
Saya
jadi orang aneh. Dua hari terakhir ini. Jadi orang kuno.
Misalnya
tadi malam. Saat saya jalan-jalan di sebuah gang yang ramai di kota Amoy.
Disebut juga kota Xiamen. Kota besarnya suku Hokkian. Saya mampir beli cakue. Di
pinggir gang. Di pedagang kaki lima. Ternyata sayalah satu-satunya orang yang
membayar dengan uang. Padahal ini di dalam gang. Di kaki lima.
Saya
sengaja berdiri sekitar 15 menit. Di gang itu. Untuk menghitung pembeli.
Khususnya yang masih membayar dengan uang. Ternyata tetap saja hanya
saya sendiri. Pembeli lainnya membayar
pakai hand phone: WeChat atau AliPay.
Lihatlah
beberapa foto yang saya sertakan di sini. Orang yang beli makanan di kaki lima
itu senjatanya hanya hand phone. Bukan lagi dompet. Padahal harga makanan itu
hanya satu renminbi. Atau sekitar Rp 2.000. Benar-benar uang kecil pun tidak
diperlukan di Tiongkok.
Malamnya
saya makan di restoran. Juga jadi orang aneh. Orang kuno. Satu-satunya yang
saat itu membayar dengan uang.
Keesokan
harinya saya naik kereta peluru. Kecepatannya 300 km/jam. Dari Xiamen ke
kabupaten Quanzhou. Sejauh 200 km. Hanya 25 menit.
Saya
lagi membayangkan dari Surabaya ke kampung saya di Magetan. 25 menit. Saya juga
satu-satunya orang yang membeli tiket dengan uang: 25 RMB. Sekitar Rp 50.000.
Jauh lebih murah dari karcis tol baru antara Surabaya-Kertosono.
Stasiun
kereta peluru ini ternyata di luar kota. Ongkos taxinya 60 RmB. Dua kali lebih
mahal dari harga tiket kereta pelurunya.
Malam
tadi saya balik ke Xiamen. Kali ini pilih kereta cepat: 200 km/jam. Bukan
kereta peluru. Tiketnya lebih mahal: 35 RMB. Ini karena bisa berhenti di
stasiun kota Xiamen. Tidak perlu ada ongkos taksi yang mahal itu.
Sekali
lagi saya jadi satu-satunya orang yang beli tiket kereta cepat dengan uang
kontan. Meski hanya 35 RMB. Tiga lembar sepuluhan dan satu lembar lima
renminbian. Petugas
memasukkan tiga lembar uang saya itu ke mesin. Hanya 35 RMB. Diperiksa palsu
atau tidak. Sampai dua kali. Rupanya
sudah lama petugas itu tidak lihat uang. Kepekaan jarinya rupanya sudah
berubah. Tidak bisa lagi meraba perbedaan lembar asli dan palsu.
Di
Quanzhou saya makan siang. Di mie favorit saya: Lanzhou Lamian. Mie tarik
Lanzhou. Saat mulai duduk pelayannya menunjuk sudut meja saya.
Di
situlah tertempel barcode. Dia bilang: bayarnya nanti di pojok meja itu. Saya
bilang bahwa saya akan bayar pakai uang. Dia tampak kaget. Lalu lapor ke atasannya.
“Ok,” jawab pelayan itu. Setelah berkonsultasi dengan bosnya. Untuk urusan
bayar dengan uang tunai!
Saat
tiba waktunya membayar, terjadi lagi apa yang saya lihat di stasiun. Kasirnya
lama sekali mengamati uang itu. Palsu atau tidak. Dibolak-balik. Baru ok.
Begitulah,
saya pernah jadi orang modern: membayar dengan credit card. Kini credit card
sudah menjadi kuno. Bahkan lembaran uang pun sudah menjadi usang.
Quangzhou
adalah kabupaten. Satu kabupaten di provinsi Fujian. Pelabuhannya pernah
menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Di zaman Mojopahit.
Entah
berapa puluh ribu orang Hokkian (Fujian) yang pernah menggunakan pelabuhan ini.
Zaman itu. Dan zaman berikutnya. Untuk xia nan yang. Mencari hidup baru di
wilayah selatan. Yang kelak di tahun 1900-an wilayah itu bernama Indonesia.
Kini
pelabuhan itu masih ada. Bekasnya. Sudah sangat usang. Sudah lebih sepi dari
pelabuhan Donggala. Hanya perahu-perahu nelayan yang mangkal di situ. Dengan
wujud yang tidak bergairah.
Zaman
terus bergerak. Yang modern jadi kuno. Yang besar jadi punah. Hidup terus maju.
Meninggalkan siapa pun yang tidak setuju. (dis)
http://www.disway.id/
No comments:
Post a Comment