SERBA
ADA DI SAMARINDA
Oleh: Dahlan Iskan
Sabtu 07 Juli 2018
Saya video kamar VIP istri saya. Saya kirimkan ke teman saya. Yang di Singapura. Juga yang di Tiongkok. "Benarkah itu rumah sakit di Samarinda?,'' ujar mereka.
Keduanya pernah ke Samarinda. Hampir
sepuluh tahun lalu. Saat Samarinda masih gelap: sering mati lampu.
''Kelihatannya lebih bagus dari kamar
Anda di RS Singapura itu,'' ujar teman saya yang Singapura. Dalam bahasa
Inggris.
''Hahaha...lebih bagus dari kamar
Anda di lantai 10 RS Tianjin ...'' komentar teman Tiongkok saya. Dalam bahasa
Mandarin.
''Padahal tarifnya hanya 25
persennya,'' jawab saya. Dengan kepala membesar.
Maka tidak menyesal saya membatalkan
ini: membawa istri ke Singapura. Meski sudah terlanjur bikin janji dengan
dokter di sana.
Tentu dunia kedokteran tidak boleh
hanya adu penampilan fisiknya. Kualitas layanannya ikut menentukan. Juga
peralatannya. Dan yang utama kualitas medikalnya.
Saya tentu tidak ingin memperjudikan
istri saya. Sekedar untuk kebanggaan kampung halaman. Begitu tiba di RS Wahab
Syachrani ini saya kelilingi fasilitasnya. Saya kuat-kuatkan kaki saya. Rumah
sakit ini tanahnya 33 ha.
Ternyata memang jauh di atas bayangan
saya: kamar operasinya 26! Rumah sakit di daerah yang dulu begitu terpencil
punya OK begitu banyaknya. Dengan AC sentral.
RS Wahab Syachrani Samarinda sudah mampu pula
melakukan operasi jantung: tiap hari. Punya MRI. Punya CT scan yang 126 slice.
Coba tanya di kota Anda: siapa yang punya 126 slice. Masih ada dua lagi yang di
bawah itu.
Untuk kanker pun sudah punya petscan.
Hanya ada empat rumah sakit di Indonesia yang memiliki petscan. Kota sebesar
Surabaya pun belum punya. Bahkan belum ada rencana punya. Baru sebatas ingin
punya.
Dengan petscan itu benih kanker
sekecil 2 mm pun sudah bisa dideteksi. Sedangkan untuk terapinya jangan kaget:
sudah punya radio nuklir. Pasien yang terkena kanker teroid diterapi radio
nuklir. Lalu dimasukkan ruang isolasi selama tiga hari.
Ruang ini sangat khusus: terisolasi
dari radiasi nuklir. Pembuatan ruangnya harus atas pengawasan Bapeten: badan
yang bertanggung jawab untuk keamanan nuklir.
Penggunaannya juga harus seijin
Bapeten. RS Wahab Syachrani Samarinda ini punya enam ruang isolasi seperti itu.
Enam. Edan.
Saya pun mantap: menyerahkan istri
saya pada tim dokter di kampung kelahiran istri saya itu. Yang sudah 40 tahun
ditinggalkannya itu.
Saya pun berdiskusi dengan tim
dokternya: dokter Boyke Soebhali, dokter Kuntjoro Yakti, dokter Satria Sewu,
dokter Moh Furqon dan dokter Teddy
Ferdinand Indrasutanto. Juga melihat
alat yang bernama FURS: pencari posisi batu ginjal yang bisa fleksibel. Bisa
belok-belok mencari di slempitan mana batu itu berada.
Dokter Rachim Dinata, sang kepala
rumah sakit, hadir: memperkenalkan dokter-dokter itu. Lalu menyilahkan kami
diskusi sendiri. Rachim Dinatalah di balik semua prestasi itu. Ia dokter ahli
bedah. Lulusan Universitas Padjadjaran Bandung. Kini dokter Rachim telah
membalik dunia: dari kuno ke modern.
Tidak hanya alat dan fisiknya. Tapi
juga sistem dan SDM-nya.
Penghasilan dokter di rumah sakit ini
empat kali lipat dari penghasilan dokter di rumah sakit kota saya. Dokter
Rachim menyebutkan angka-angkanya. Tapi biarlah imajinasi menuliskan angkanya
sendiri.
Dokter Rachim menerapkan sistem
prestasi. Di atas hirarkhi. Di atas senioritas. Di atas penampilan fisik.
Dokter Boyke misalnya: lebih
bertampang rocker daripada dokter. Rambutnya dibiarkan gondrong. Celananya
jean. Bawaannya ransel. Mainannya gitar.
Suatu saat pasien yang sok terdidik
bertanya padanya: apakah ia mahasiswa yang lagi magang. Si pasien terperanjat
ketika akhirnya tahu: yang ditanya itu adalah dokter spesialis urologi.
''Ada empat dokter yang gondrong di
sini,'' ujar dr Nurliana Andriati Noor. ''Yang penting kegondrongannya tidak
menganggu kerja dokternya,'' tambah dokter Nana.
Di akhir diskusi saya putuskan: saya
serahkan istri saya kepada tim dokter. Lakukan apa pun yang terbaik menurut
dokter. Saya tandatangani dua pernyataan: setuju dibius total dan setuju
dilakukan operasi. Jadwal ditetapkan: keesokan harinya. Jam 9 pagi.
Istri saya pernah operasi syaraf
tulang belakang. Akibat HNP, 20 tahun lalu. Saya diajak Prof Hafidz Surabaya
untuk ikut masuk ruang operasi. Tiga tahun lalu istri saya operasi ganti lutut.
Saya diajak dokter Dwikora Surabaya ikut masuk ruang operasi. Kemarin, saya
diajak dokter Boyke masuk ruang operasi.
Saya pun bisa melihat bagaimana FURS
masuk ke ginjal. Lalu dibelok-belokkan. Memasuki ruang-ruang yang ada di dalam
ginjal. Mencari di mana batu itu sembunyi.
Ketemu: satu batu. Lalu FURS itu
diajak menjelajah ruang-ruang lain dalam ginjal. Ketemu: satu lagi. Lebih
besar. Total: dua batu.
Yang satu batu lagi sudah dikeluarkan
di Surabaya dua minggu lalu. Yang posisinya sudah di saluran kencing. Yang
sudah bernanah. Yang menyebarkan infeksi ke seluruh tubuh. Yang membuat istri
saya koma. Yang memaksa saya mendadak pulang dari Amerika.
Dokter Boyke terus menggerakkan
alatnya. Diiringi lagu-lagu barat. Yang ia setel dari stock yang ada di HP-nya.
Anak 'wedok' saya, Isna Fitriana,
mendekatkan mulutnya ke telinga saya. ''Wow... kegemaran dokter Boyke rupanya
sama dengan saya: lagu-lagu Bon Jovi,'' bisik anak wedok saya itu.
Ternyata dokter Boyke juga seperti
anak saya itu: gemar bersepeda. Bahkan sepedanya sama: merk Wdnsdy. Baca:
Wednesday. Yang diproduksi oleh Azrul Ananda. Anak sulung saya.
Oleh dokter Boyke batu yang lebih
kecil itu diusik. Dipindahkan dari tempatnya. Dijadikan satu dengan batu yang
lebih besar. Saya pikir mau dihancurkan bersamaan. Ternyata tidak. Hanya
dibandingkan ukurannya. Lalu batu yang lebih kecil dimasukkan jaring. Yang
dipasang di ujung alatnya. Jaring ditarik.
Ternyata ukuran batu itu lebih kecil
dari saluran air kencing. Maka batu pun dikeluarkan. Tidak dihancurkan.
Yang besar pun kemudian dijaring.
Dicoba ditarik. Ternyata lebih besar dari saluran kencing. Maka batu itu
dikembalikan lagi ke tempat asalnya: akan ditembak dengan laser.
Saya pikir batu itu akan langsung
hancur saat dilaser. Ternyata laser itu hanya mencuil-cuil batu. Maka lasernya
terus ditembakkan. Ratusan cuilan terlepas dari batu. Lama-lama batunya tinggal
secuil. Menembaknya kian sulit. Cuilan terakhir itu lari-lari. Terbawa arus air
yang disemprotkan: untuk mendinginkan bagian ginjal di sekitar laser yang
sangat panas.
Selesai. Satu jam persis.
Cuilan-cuilan batu itu ukurannya
sebutir pasir. Akan keluar bersama air kencing.
Satu jam kemudian istri saya sudah
kembali di kamar yang lebih baik dari lantai 10 RS Tianjin tadi.
''Saya ingin lihat batunya,'' ujar
istri saya. Maka saya serahkan batu yang tidak dihancurkan tadi. Juga satu
cuilan batu sebesar pasir hasil tembakan laser.
Istri saya memang sempat berharap
dokter Boyke kecele: tidak menemukan batunya. Mengapa? Dua hari sebelumnya
istri saya merebus kelapa hijau muda. Lalu meminum airnya. Keesokan harinya dia
rebus lagi kelapa hijau muda. Diminum lagi.
Dengan cara itu dia harapkan batu
bisa keluar sendiri. Seperti yang banyak dishare di media sosial.
Ternyata fakultas kedokteran
tidak bisa digantikan kelapa hijau rebus.(dis)
http://disway.id/serba-ada-di-samarinda/
No comments:
Post a Comment