BERLATIH MATI
Seringnya mendapat
giliran tugas menunggui mereka yang sedang menghadapi sakratul maut alias
detik-detik menjelang lepasnya nyawa dari tubuh fisiknya, membuat saya banyak
merenungkan apa arti dari semua ini.
Sebuah kesempatan
belajar yang langka dan tidak semua orang bisa mengalaminya.
Apa pentingnya
buat saya?
Sangat penting,
karena dari peristiwa itulah saya terus disadarkan bagaimana mengisi hari-hari
yang saya jalani ini, agar bisa berakhir dengan penuh makna, mencapai tujuan
yang diagendakan sejak sebelum saya diturunkan ke dunia, dan belajar menghargai
waktu yang tersisa dengan hidup yang lebih berkualitas.
Cara orang
meninggal dunia itu berbeda-beda. Kemiripannya
hanya pada tanda-tanda yang menyertai sebelum maut menjemput. Wajah yang mendadak berubah, seperti bukan
yang kita kenali selama ini. Pucat,
bahkan putih seperti tembok. Terutama
sorot mata mereka, yang sebentar kosong, sebentar gelisah, sebentar marah.
Perilaku juga
berubah. Ada yang
keinginannya harus dituruti betapapun anehnya. Atau membuat orang lain kesal, dan yang
bersangkutan sendiri marah atau uring-uringan.
Mereka juga jadi
labil secara emosi. Sedih, sering
menangis tanpa tertahan lagi, takut ditinggal sendirian. Semakin mendekati waktunya, semakin gelisah
menanyakan hari, tanggal atau jam.
Juga tak betah
lagi mengenakan segala macam alat bantu medis yang dimaksudkan untuk membuat
mereka lebih lama bertahan hidup.
Yang
membedakan adalah seberapa pasrah atau seberapa besar keyakinan mereka terhadap
pemeliharaan semesta, semasa hidupnya.
Kebanyakan mereka
yang simpel dan lurus-lurus saja hidupnya, tak banyak kuatir memikirkan ini itu
hingga detil, lebih cepat "berangkat"nya.
Tapi jika masih
ada banyak ganjalan di hati dan pikirannya, seringkali mengalami kesusahan pada
saat jiwanya akan lepas dari tubuhnya.
Hal ini membuat
saya berpikir, bahwa untuk mati dengan mudah tanpa melalui banyak siksaan,
adalah dengan melatihnya semasa kita masih hidup di dunia.
Berlatih mati?
Ya, Anda tidak
salah baca, dan saya tidak sedang becanda.
Yang pertama perlu dilatih adalah soal
keyakinan kita.
Yakin dan
menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa segala sesuatu itu baik adanya,
berujung kebaikan, dan selalu ada kebaikan walau nampaknya susah sekalipun. Ini adalah fondasi yang sangat penting ketika
nyawa kita tengah berada di ujung tanduk nanti.
Kebaikan yang
selalu kita yakini dan pikirkan akan membuat kita menyambut kematian dengan
tersenyum dan sukacita. Putusnya nyawa dan
keluarnya jiwa dari tubuh fisik kita akan lancar sama seperti ketika buang
hajat besar, semakin kita rileks, akan semakin mudah, tapi semakin kita tegang,
semakin susah lepas.
Latihan kedua adalah berlatih melepas.
Melepas apa saja
yang selama ini kita anggap sebagai hak kita. Sadarilah bahwa kita tidak memiliki apa-apa
dan tidak berhak atas apapun, termasuk memikirkan nasib orang-orang yang kita
kasihi yang akan kita tinggalkan.
Itu bukan urusan
dan tanggung jawab kita. Mereka
adalah milik semesta dan masing-masing memiliki urusannya sendiri-sendiri
dengan semesta.
Lepaskan juga
segala urusan harta, kekayaan dan apapun yang masih mengikat dan menguasai
kita, sejak sekarang ini, selagi kita masih hidup.
Artinya, ini
adalah latihan mental agar kita tidak terus menerus kuatir dan memikirkan
sesuatu yang nantinya akan kita tinggalkan.
Melepaskan juga
berarti melepaskan dendam, kemarahan, kepahitan, luka batin yang masih ada.
Bersihkan mulai
dari sekarang ini, hingga tak ada sisa sama sekali.
Lepaskan juga
pengampunan dan berkat kepada mereka yang pernah menyakiti hati, mengkhianati,
mengakali kita, seikhlas-ikhlasnya.
Latihan juga tidak
berhenti di aspek spiritual dan mental saja, namun juga di aspek fisik.
Memang tubuh fisik
kita nantinya akan kita tinggalkan.
Tapi lebih enak
mana meninggal dengan sehat atau dengan sakit?
Berlatihlah
menghormati dan menghargai tubuh kita mulai dari sekarang.
Mulai belajar
mendengarkan suaranya, apa yang sebenarnya ia butuhkan, bukan apa yang kita
(ego/nafsu) butuhkan.
Berikanlah apa
yang tubuh inginkan sejak sekarang, agar ia tak membangkang atau menusuk di
belakang pada saat kita tak berdaya lagi.
Tapi ini bukan
berarti manipulasi ya.
Lakukanlah dengan
ikhlas, karena mengasihi tubuh sendiri sama dengan melayani orang yang sedang
sekarat.
Perlu hati-hati,
cermat, penuh hormat.
Daripada nantinya
tubuh kita habis dimakan obat, lebih baik memeliharanya dengan baik semasa kita
masih bisa.
Berikan makanan
yang sehat pada tubuh, olahraga yang cukup, sinar matahari pagi,
dan air bersih yang sesuai kebutuhan.
Banyak lagi yang
bisa kita latihkan untuk menyambut kematian dengan gembira dan bukan dengan air
mata.
Sudah waktunya
kita mengubah persepsi tentang kematian bukan lagi sebagai peristiwa dukacita
tapi kemenangan yang perlu dirayakan.
Selamat
merenungkan dan mulai berlatih.
No comments:
Post a Comment