FINANCIAL ENGINEERING
( Bisnis )
Ketika tender kereta Cepat Jakarta Bandung digelar
pemerintah peserta nya berasal dari Jepang, China, Korea, Jerman dan lainnya.
Tapi yang menang adalah China. Mengapa? Ini bukan hanya tender yang berkaitan
dengan tekhnologi, bukan soal cara pembayaran tapi lebih luas lagi yaitu tender
business model. China unggul karena mampu mengkombinasikan tekhnologi, sumber
daya keuangan dan rekayasa keuangan. Yang hebatnya semua itu diajukan dengan
standar kepatuhan atas regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Apa itu? tidak
ada Financial Guarantee dari pemerintah. Tidak ada resiko fiskal yang akan
menjadi beban pemerintah. Tidak mengurangi hak pemerintah menentukan tarif
sesuai UU. Tidak melanggar Tata Ruang. Tidak melanggar Amdal. Tetap harus bayar
pajak atas laba. Dan setelah jangka waktu BOT, maka proyek itu harus menjadi
milik Negara untuk dikelola oleh PT.KAI.
Kalau anda orang awam, akan berkerut kening. Mengapa anda
harus mengikuti semua standar kepatuhan yang ditetapkan pemerintah sementara
pemerintah tidak mau ambil resiko. Mengapa anda sebagai pemilik uang harus jadi
orang bego. Benarkan? Ya bukan hanya anda yang berpikir begitu tapi juga
peserta tender lain seperti Jepang, Korea, Jerman dan Prancis punya pemikiran sama dengan
anda. Tapi, bagi China yang menang dan dipercaya pemerintah membangun kereta
Cepat itu, mereka tidak bego. Mereka lebih cerdas dan hebat secara kalkulasi
bisnis. Mengapa? Karena semua orang berpikir soal bisnis kereta cepat dimana
pemasukan dari tiket, tapi China berpikir tentang business derivative dari adanya
proyek Kereta cepat itu. Apa? pembangunan kawasan dalam bentuk TOD. Dari
pengelolaan kawasan TOD saja, China sudah bisa mengembalikan biaya investasi itu , bahkan
bisa dapat dua kali dari uang yang mereka keluarkan sebesar Rp. 60
triliun.
Ketika DKI dihadapkan dengan masalah banjir kiriman dan
banjir Rob, masalah yang dihadapi Ahok ketika jadi Gubernur adalah
pemerintah pusat tidak punya uang untuk mengatasi banjir tersebut. Ini setelah dapat
penjelasan dari Menteri PU, Menteri Keuangan dan Bappenas. Apalagi kebijakan
dasar anggaran fiskal Jokowi adalah indonesia centris dan membangun dari
pinggiran Indonesia kemudian terus maju ketengah. Ahok harus cari solusi
mengatasi keterbatasan anggaran ini. Tapi dari mana uangnya? PAD DKI tidak bisa
diandalkan karena peluang pertumbuhan bisnis stucked akibat tekanan urban yang
tak ada solusi konkrit mengatasi kekumuhan lingkungan. Sementara masalah Jakarta setiap tahun terus bertambah
dengan ongkos sosial yang sangat mahal akibat dari adanya banjir Rob dan banjir kiriman dari Puncak. Semua punya ide hebat
mengatasi banjir tapi selalu berhenti ketika bicara uang. Uang tidak
ada.
Solusinya adalah melakukan social engineering dan financial
engineering. Lantas apa pemicunya agar financial engineering dapat
dilakukan dan social engineering dapat efektif? Menggunakan proyek yang sudah
rampung Feasiblity Study di Era SBY. Apa itu? Giant Sea Wall yang merupakan
bagian dari Proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Kalau tadinya proyek ini diniatkan
jadi “proyek politik” untuk menjarah APBN tapi oleh Ahok di rekayasa jadi
proyek bisnis melalui Rekayasa Pembiayaan (Financial Engineering) dengan menjadikan lahan reklamasi sebagai off
take income. Caranya? menetapkan aturan retribusi tambahan sebesar 15%
sehingga jadi 20%. Orang awam melihat ini proyek reklamasi pulau buatan,
tapi orang lupa bahwa ini sebetulnya produk dari financial engineering
sebagai solusi mengatasi keterbatasan anggaran atas masalah yang mendesak harus
diselesaikan.
Dari adanya proyek NCICD maka berpotensi mendatangkan PAD
ratusan triliun dan itu belum termasuk pajak turunan lainnya seperti pajak F&B,
pajak. Mengapa? dari Proyek itu bakal mengubah wajah Jakarta menjadi kota
modern, nyaman, dan bersahabat dengan PAD raksasa yang memastikan terjadi pertumbuhan
berkelanjutan. Dengan potensi penerimaan dana sebesar itu maka tidak sulit bagi
Ahok untuk mengatasi banjir. Semua rencana hebat mengatasi banjir bisa dilakukan
karena ada uang. Dan Social Engineering terjadi dengan sendirinya yang mengubah
penduduk Jakarta menjadi penduduk berkelas dunia, responsif terhadap
perubahan dan mampu bersaing secara global.
Anies dan Sandi bersama partai pendukungnya mungkin masih
punya mindset sama dengan Foke yang berharap proyek NCICD dibiayai oleh APBN
agar menjadi “Proyek”. Sehingga tidak perlu berharap dari retribusi lahan atau
bila perlu reklamasi dibatalkan. Makanya pertemuan kemarin dengan Jokowi, Anies-Sandi
berharap Jokowi bicara “Ya kalau mau batalkan reklamasi engga apa apa. Nanti
duit mengatasi banjir kita gunakan APBN”. Ternyata masalah reklamasi tidak dibahas, dan makan siangpun tidak
tersedia di Istana. Mau batalkan reklamasi, silahkan. Tapi dari mana uang mengatasi
masalah banjir Jakarta? Sehebat apapun solusi tanpa uang pasti bego. Smart lah.
Era sekarang kalau gubernur tidak mampu menjadi pemain Financial Engineering, maka dia hanyalah jadi mandor kambing, bukan
pemimpin berkelas dunia, dan Jakarta butuh pemimpin sekelas itu..
Copas tulisan menarik dari Erizeli Bandaro grup DDB
No comments:
Post a Comment