KASUS
NICU (Neonatal
Intensive Care Unit)
TENTANG MENINGGALNYA DEBORAH: BENARKAH KARENA TERLAMBAT MASUK PICU (Pediatric
Intensive Care Unit)?
Saya ikut berduka atas meninggalnya Tiara Deborah, bayi berusia
4 bulan 10 hari, di RS Mitra Keluarga Kalideres kemarin.
Maaf, saya tidak dalam posisi yang tepat untuk menyalahkan
ataupun membenarkan, baik terhadap keluarga pasien maupun Rumah Sakit, karena
saya tidak berada di lokasi saat kejadian. Jadi, tulisan ini anggap saja sebagai
sekedar wacana.
Dalam kasus ini, saya terdorong untuk ikut berkomentar terkait
pengertian ruangan PICU, yang sering disebut-sebut dalam kasus meninggalnya
Deborah tersebut.
Masalah ini jadi ribut karena keluarga pasien yang meninggal
punya anggapan, bahwa seandainya Deborah kemarin itu segera masuk PICU mungkin
akan selamat.
Maka mereka merasa sangat kecewa dan sedih ketika terhambat
masuk PICU karena alasan biaya, sehingga kemudian MENYALAHKAN RS atas
meninggalnya Deborah tersebut.
Anggapan ini kemudian diamini media massa dan masyarakat umum,
bahkan para pejabat terkait, sehingga banyak yang terburu-buru mengeluarkan
pernyataan yang menyudutkan RS dan tenaga kesehatan.
Sebenarnya, izinkan saya mengungkapkan, di balik kasus ini ada
kesalah-kaprahan anggapan tentang
apa itu PICU (dan juga ICU, NICU, HCU, CVCU, dan semacamnya).
Jangankan masyarakat umum, bahkan di kalangan tenaga medis
sendiri pun banyak yang salah kaprah.
Kesalah-pahaman itu yang kemudian sering memunculkan
"keributan" antara RS dan masyarakat, ketika ada pasien yang tidak
bisa masuk ruang ICU dengan berbagai alasan, entah karena ruangan ICU-nya
penuh, atau status pasien ybs dalam jaminan BPJS Kesehatan sedangkan RS-nya
tidak bekerjasama dengan BPJS.
Banyak diantara kita yang beranggapan bahwa ICU itu semacam
KAMAR AJAIB, yang di situ tertanam berbagai peralatan yang hebat dan canggih,
sehingga pasien kritis yang dibawa masuk ke situ bisa dicegah
kematiannya.
Bagaimana, ada diantara kawan-kawan yang beranggapan
demikian?
Tidak usah kecil hati kalau memang iya. Jangankan sampeyan, saya
dulu pun (saat awal-awal baru jadi dokter) berpikiran begitu.
Ada masanya saya, ketika masih menjadi dokter jaga di UGD, bila
ada pasien kritis datang maka saya buru-buru menggeretnya ke ruang
ICU. Saya bisa jadi senewen kalau ada sesuatu hal yang menghambat pasien
itu masuk ICU. Entah itu masalah administrasi, atau masalah teknis
lainnya. Bahkan lift macet pun pernah saya maki-maki habis, saking
senewennya.
Dan ironisnya, keluarga pasien bisa ikut jadi senewen gara-gara
saya. Mereka akan ikut marah, misalnya karena perawat ICU lambat menyiapkan
tempat untuk pasien baru, atau urusan administrasi yang menurut mereka terlalu
bertele-tele.
Saya baru merasa legaaa kalau pasien kritis sudah berhasil saya
masukkan ke ICU. Seolah dengan memasukkannya ke ICU, saya telah berjasa
"menyelamatkan nyawanya". Padahal, ya enggak begitu juga.
Pengalaman bekerja di UGD dan ICU kemudian baru membuat saya
sadar, bahwa yang "menyelamatkan" pasien bukanlah di mana ruangan dia
berada. Bukan soal masih berada di UGD atau sudah masuk ICU.
Bukan. Bukan itu. Tidak ada bedanya masuk ICU kalau kemudian
juga tidak dilakukan apa-apa di situ. Pasien gawat tetap saja akan makin gawat,
bahkan akhirnya meninggal juga.
Yang membedakan bukan soal UGD atau
ICU nya, tapi soal TINDAKAN APA yang sudah dokter lakukan untuk menyelamatkan
pasien, dan OBAT-OBAT APA yang sudah diberikan.
Dan ternyata SEBAGIAN BESAR (bisa dibilang 95%-lah) tindakan
untuk mengatasi kondisi kritis pasien BISA DILAKUKAN DI UGD.
TIDAK PERLU MENUNGGU PASIEN MASUK ICU atau PICU untuk melakukan
tindakan medis dan memberikan obat-obatan yang mungkin bisa menyelamatkan
nyawanya. TIDAK PERLU.
Sama sekali tidak ada urgensinya terburu-buru menyeret bed
pasien ke ruang ICU dengan pasang muka panik seperti dikejar setan, seperti
adegan-adegan di sinetron lokal. Itu sama sekali tidak perlu!
Penanganan medis yang benar adalah:
Lakukan segala tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan
nyawa pasien DI UGD (bukan di ICU) hingga pasien kondisinya cukup stabil untuk
dipindahkan.
Setelah kondisi emergency (gawat-darurat)nya teratasi, barulah
dokter menjelaskan pada keluarga pasien.
Bila kondisi pasien stabil sepenuhnya, maka pasien bisa masuk
ruang rawat inap biasa, atau bahkan bisa pulang. Hal ini karena UGD BUKAN TEMPAT UNTUK
MENGINAP.
Bila kondisi pasien stabil, tapi kondisinya masih berat sehingga
memerlukan pengawasan ketat dan perawatan intensif, maka di situlah saatnya
Dokter menawarkan pasien untuk dirawat di ruang ICU.
Apa sebenarnya ICU itu?
ICU = Intensive Care Unit, sesuai namanya adalah ruangan untuk
memberikan perawatan intensif pada pasien kritis.
PICU (Pediatric Intensive
Cara Unit) khusus untuk pasien Pediatrik (anak),
dan NICU (Neonatal Intensive
Cara Unit) untuk pasien neonatal (bayi baru lahir).
Betul, di ruang ICU terdapat banyak peralatan canggih, seperti
terlihat di gambar. Perbandingan jumlah perawat : pasien juga beda dengan
ruang rawat biasa. Bisa 1 : 1 atau 1 : 2, sehingga perawat bisa fokus menangani
pasien dengan monitor ketat. Beda dengan ruang rawat biasa yang 1 perawat bisa
untuk 5 - 10 pasien.
Tapi itu bukan berarti pasien kritis kalau mau selamat harus
buru-buru dimasukkan ke ruangan ini.
ICU adalah sekedar RUANGAN. Sama dengan UGD. Ruangan tidak
bisa menyelamatkan nyawa manusia. Peran dokter dan petugas kesehatan
lain di situ yang menentukan (dan izin Allah tentunya).
Mengenai tindakan medis pada pasien kritis, bisa dilakukan
dokter di UGD maupun ICU. Bedanya:
·
Tindakan di UGD adalah tindakan dalam jangka pendek. Dalam KONDISI
DARURAT karena pasien baru saja datang, masih serba darurat.
·
Sedangkan ICU adalah ruang rawat pasien kritis untuk perawatan
jangka panjangnya.
Pemindahan pasien dari UGD ke ICU tidak sepenuhnya terkait dengan soal "penyelamatan
nyawa".
UGD tidak untuk terus-menerus menangani pasien dalam waktu lama.
Tidak bisa, karena pasien baru akan datang susul-menyusul dan harus segera
ditangani juga.
Pasien yang sudah berhasil diselamatkan dan distabilkan di UGD
perlu SEGERA dipindahkan ke ruangan lain, agar ruangan, bed, dan alat-alat di
UGD bisa digunakan untuk pasien lain berikutnya.
Jadi itu ALASAN SEBENARNYA dokter di UGD mendorong agar pasien
secepatnya dipindahkan ke ICU.
Dokter dan petugas kesehatan di UGD harus menjelaskan pada
pasien dan keluarganya dengan cara yang tepat. Jangan sampai salah
ngomong, sehingga timbul persepsi pada keluarga pasien bahwa JIKA SEGERA MASUK
ICU PASIEN AKAN SELAMAT, SEDANGKAN JIKA TERLAMBAT MASUK ICU BISA FATAL.
Kalau menilik berita di https://m.detik.com/news/berita/3635958/ibunda-harusnya-debora-bisa-selamat-kalau-masuk-picu seandainya benar itu beritanya,
sepertinya pola komunikasi yang kurang tepat dari petugas RS yang memunculkan
persepsi salah tersebut.
Saya kutip sedikit dari link berita tersebut:
"Oh, jadi anak saya meninggal karena nggak masuk ruang
PICU? 'Iya, Bu', jadi kalau masuk ruang PICU bisa diselamatkan dong? Mereka
diam, lalu saya tanya 'Bu, saya bisa minta surat pernyataan nggak, kalau anak
saya ini nggak bisa masuk ruang PICU karena kurang DP?' susternya bilang
'ngomong sama dokternya' saya karyawan di sini, Pak," cerita Henny.
Saran saya, sebaiknya petugas RS menghindari cara berkomunikasi
seperti di atas. Karena itu bisa menjadi biang kerok dari semua keruwetan
selanjutnya.
Menurut saya, pilihan RS Mitra Keluarga untuk
"menolak" pasien Deborah masuk PICU RS tsb cukup beralasan, dan bisa
jadi merupakan pilihan terbaik, karena pasien sebenarnya dalam jaminan BPJS.
Uang yang dipakai masuk PICU RS swasta lebih baik digunakan untuk kebutuhan
lain yang masih banyak nantinya.
Lebih baik mengusahakan untuk mencari PICU RS lain yang
bekerjasama dengan BPJS, karena toh pada jam-jam itu tidak banyak bedanya bagi
pasien apakah segera masuk PICU atau sementara menunggu di UGD, asalkan
penanganan di UGD sudah dikerjakan dengan tepat sesuai standar.
Kalau membaca klarifikasi dari RS bahwa pasien sudah diberikan
pertolongan intensif, mencakup pemberian oksigenasi, suctioning (penyedotan
lendir), intubasi (pemasangan selang nafas), dll. (bila itu benar) semestinya
itu cukup. Hanya caranya berkomunikasi dengan keluarga pasien yang
(mungkin) gagal.
Pejabat terkait yang memanggil pihak RS besok, hendaknya fokus
ke penyelidikan tentang tindakan medisnya di UGD, sudah benar atau tidak. Bukan
cuma mengungkit-ungkit soal kenapa-kenapa "ditolak" masuk PICU,
karena itu tidak relevan dengan kasusnya.
Dan pejabat yang tidak terkait, sebaiknya tidak asal komen kalau
tidak tahu masalahnya. Jangan asal ngomong, misalnya "Tutup saja RS yang
tidak manusiawi."
Eh pak, masih mending di Jakarta ada RS swasta yang ikut andil
menyediakan ruang ICU/PICU dlsb.
Tengok noooh... di seluruh Indonesia buuaanyak rakyat yang sakit
tidak punya akses ke ruang ICU/PICU karena fasilitasnya di daerah sampai
sekarang belum tersedia. Bukannya itu TANGGUNG JAWAB NEGARA untuk
menyediakan? Gak malu kalau disebut negara tidak manusiawi? Memangnya
rakyat Indonesia itu cuma penduduk Jakarta aja?
Tidak apa-apa pak, silakan mengoreksi RS swasta. Kalau ada yang
bengkok ya diluruskan. Asal jangan lupa bahwa ada tanggung jawab negara juga di
situ.
Jangan sampai nanti dibilang orang: "Buruk muka, cermin
tetangga dibelah."
Oleh. Rahadi Widodo
No comments:
Post a Comment