CURHAT
DOKTER
Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh,
Beberapa hari ini, bahkan beberapa tahun terakhir tampaknya
profesi yang saya geluti ini berulang kali mendapatkan cobaan. Mulai dari cercaan,
hujatan dan tuduhan dari berbagai pihak mengenai bagaimana kami bekerja. Hampir
seluruhnya berkaitan dengan uang, mulai dokter terkesan materialistis, masalah
BPJS, sampai yang agak baru adalah masalah gratifikasi dari perusahaan obat.
Saya tidak memungkiri selalu ada oknum di semua profesi,
demikian juga dengan profesi dokter. Namun, setiap mata uang pasti punya 2
sisi. Tampaknya sisi baik dari profesi dokter jarang sekali mendapatkan porsi
yang setara dengan pemberitaan buruk. Saya bisa sangat mengerti, mungkin bagi
wartawan 'bad news is a good news', namun sisi objektivitas dari sebuah
pemberitaan juga tampaknya diperlukan untuk menggambarkan kondisi pelayanan
kesehatan di negara ini.
Saya akan coba sedikit mengungkapkan sisi mata uang yang lain. Ilmu
kedokteran selalu berkembang dan berubah, sayangnya semua perkembangan tersebut
selalu berasal dari luar negara kita, sehingga siapapun profesional yang ingin
meningkatkan pengetahuannya terpaksa harus menimba ilmu di luar negeri melalu
simposium, workshop, fellowship dan banyak lagi cara lainnya. Sayangnya
kebutuhan peningkatan ilmu yang cepat sekali ini tidak dibarengi oleh kemampuan
RS tempat bekerja, maupun Pemerintah daerah/pusat dalam memberikan dukungan
pendanaan.
Pernahkah bapak ibu bermimpi seorang putra bangsa berbicara di
atas podium acara ilmiah internasional. Saya memimpikan itu bapak ibu sekalian,
saya bermimpi seorang putra bangsa bisa menjadi salah seorang ilmuwan atau
minimal dokter yg diakui oleh kalangan internasional. Alhamdulillah saat ini
beberapa kali saya telah pernah mencicipi berbicara di depan orang-orang bule
seperti yang saya impikan walaupun baru dalam sesi ilmiah yang lebih kecil,
namun mimpi tersebut tidak akan pernah padam saya akan terus berkarya demi
mengharumkan nama bangsa.
Namun untuk mencapai tingkatan itu jelas tidak mudah, bagaimana
saya bisa mencapai level internasional kalau saya tidak pernah menghabiskan
waktu belajar di luar negeri? Sementara perkembangan terbaru selalu berawal
dari luar negri. Dalam 2 tahun terakhir, untuk mendalami bidang rekonstruksi
Urethra saya menghabiskan waktu 3 bulan di India, untuk belajar Endo-urology
saya harus keliling Singapura dan Turki. Untuk mempresentasikan data ilmiah
saya harus berangkat ke Jepang, Australia dan Inggris. Apakah semua perjalanan
ini dibantu oleh dana dari Pemerintah? Jangankan dana pengembangan ilmu, untuk
memenuhi kebutuhan hidup saja gaji seorang dokter PNS masih jauh dari cukup.
Sehingga bagaimana saya bisa membiayai semua perjalanan saya?
Jawabannya jelas uang pribadi dan sponsor. Uang pribadi yang saya dapatkan dari
pekerjaan saya di RS swasta saya sisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu,
namun kalau hanya mengandalkan uang pribadi dalam beberapa bulan keluarga saya
pasti kelaparan, sehingga saya harus akui saya dibantu oleh beberapa sponsor.
Terus terang, selama ini saya tidak pernah menggunakan bantuan
sponsor dalam bentuk yang tidak berkaitan dengan kegiatan ilmiah. Bayangkan
berapa ratus juta yang harus saya keluarkan per tahunnya hanya untuk menjadi
lebih pintar dan setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
In syaa Allah saya masih bekerja dengan hati nurani saya,
kepentingan pasien adalah yang saya selalu utamakan. Apakah saya dipengaruhi
oleh perusahaan obat untuk menulis produknya? Saya bisa bilang tidak, obat yang
saya tulis selalu karena memang ada indikasi untuk diberikan, dan itu pun
disesuaikan dengan kemampuan pasien tersebut.
Bapak ibu sekalian, kalau memang kami tidak perlu berinvestasi
belajar di luar negeri karena menghabiskan uang sebesar itu, maka pertanyaanya
akan saya kembalikan kepada bapak ibu sekalian. Ketika manusia di negara lain
bisa mendapatkan pelayanan mutakhir di negaranya, apakah manusia rakyat
Indonesia harus puas dengan pelayanan kesehatan yang sudah tertinggal bertahun-tahun
dibandingkan dengan negara lain?
Alhamdulillah hasil nyata ilmu yang saya pelajari telah saya
dapatkan, banyak pasien yang awalnya menduga tidak ada harapan, namun sekarang
telah menjalani hidup normal kembali.
Pernahkan wartawan dengan sukarela memberitakan keberhasilan
Transplantasi ginjal di Indonesia, pernahkan memberitakan tentang pasien-pasien
yang berhasil diselamatkan oleh para dokter di Indonesia? Pernahkah wartawan
menulis sisi dokter dalam pengelolaan jasa medis dan BPJS di RS? Berita ini
menjadi tidak menarik karena berita pasien BPJS ditolak atau kasus dugaan
malpraktik lebih menjual dibandingkan kedua kondisi diatas.
Mari lah kita berpikir bijak, oknum memang ada, namun jangan cap
kami semuanya sebagai koruptor atau kriminal hanya karena kami ingin dan butuh
dibantu untuk belajar dan mengembangkan keilmuan kami demi pelayanan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Masih banyak diantara dokter Indonesia yang punya semangat yang
sama dengan saya, jangan karena praduga dan aturan yang tidak berdasar
masyarakat yang menjadi korban karena kami para dokter di Indonesia tidak dapat
mengembangkan kemampuan dan keilmuannya. Kewajaran yang sangat relatif itu lah
yang harus bisa didefinisikan dalam peraturan tanpa harus menghambat semangat
setiap dokter untuk terus belajar dan berkarya.
Kecuali.... Pemerintah dapat mendukung semua pendanaan dalam
pengembangan profesi masing-masing dokter, maka sulit kami belajar tanpa
bantuan dari beberapa pihak non-Pemerintah.
Sedikit curhat dari seorang anak bangsa yang masih bangga
menjadi dokter
Wassalamu’alaikum
wa rahmatullah wa barakatuh.
No comments:
Post a Comment