RENUNGAN
SUAMI ISTRI
Suatu
malam di sebuah pemukiman ....
"Teeng..."Terdengar
denting bunyi jam 1 kali, menandakan jam 01.00 dini hari.
“Assalamu’alaikum…!” Ucap Rino lirih saat masuk rumah. Tak
ada orang yang menjawab, Rino tahu istri dan anak-anaknya pasti sudah tidur.
"Biarlah
malaikat yang menjawab salamku,” Gumamnya
dalam hati. Diletakkanlah tas, ponsel dan kunci-kunci di meja. Setelah itu,
barulah Rino menuju kamar mandi untuk kencing sekalian berwudlu kemudian
berganti pakaian.
Semua
tertidur pulas, tak ada satu-pun yang terbangun. Segera Rino beranjak menuju
kamar tidur. Pelan-pelan
dibukanya pintu kamar. Rino tidak ingin mengganggu tidur istrinya.
Benar
saja istrinya tidak terbangun, tidak menyadari kehadiran suaminya. Kemudian
Rino duduk di pinggir tempat tidur. Dipandanginya dalam-dalam wajah Rina
istrinya.
Rino
teringat perkataan almarhum ayahnya, dulu sebelum Rino menikah.
Ayahnya
berpesan : "Jika kamu sudah menikah nanti.. Jangan berharap kamu punya
istri yang sama persis dengan maumu, karena kamu pun juga tidak sama persis
dengan maunya.
Jangan
pula berharap mempunyai istri yang punya karakter sama seperti dirimu, karena
suami istri adalah dua orang yang berbeda. Bukan
untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi.
Dan.. Jika
suatu saat ada yang tidak berkenan di hatimu, atau kamu merasa jengkel, marah,
dan perasaan tidak enak yang lainnya, Maka,
lihatlah ketika istrimu tidur.."
“Kenapa
Yah, kok waktu dia tidur?” Tanya
Rino kala itu.
Ayahnya
menjawab: “Nanti kamu akan tahu sendiri"
Waktu
itu, Rino tidak sepenuhnya memahami maksud ayahnya, tapi ia tidak bertanya
lebih lanjut, karena ayahnya sudah mengisyaratkan untuk membuktikannya sendiri.
Malam
itu, Rino mulai memahaminya. Malam
itu, Rino menatap wajah istrinya lekat-lekat. Semakin lama dipandangi wajah
istrinya, semakin membuncah perasaan di dadanya.
Wajah
polos istrinya saat tidur benar-benar membuatnya terkesima. Raut muka tanpa
polesan, tanpa ekspresi, tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat. Pancaran tulus
dari kalbu. Memandanginya menyeruakkan berbagai macam perasaan. Ada rasa
sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah perasaan apa lagi yang
tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.
Dalam
batin, Rino bergumam, “Wahai istriku, engkau dulu seorang gadis
yang leluasa beraktivitas. Banyak hal yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu. Lalu aku menjadikanmu seorang istri. Menambahkan kewajiban yang tidak sedikit. Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan.
yang leluasa beraktivitas. Banyak hal yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu. Lalu aku menjadikanmu seorang istri. Menambahkan kewajiban yang tidak sedikit. Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan.
Dan aku
pula yang menjadikanmu seorang ibu. Menimpakan tanggung jawab yang tidak
ringan. Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan anak-anakku.
Wahai
istriku.. Engkau yang dulu bisa
melenggang kemanapun tanpa beban. Kini aku memberikan beban di tanganmu,
dipundakmu untuk mengurus keperluanku, guna
merawat anak-anakku, juga memelihara
kenyamanan rumahku.
Kau
relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku. Kau ikhlaskan
rahimmu untuk mengandung anak-anakku. Kau tanggalkan segala atributmu untuk
menjadi pengasuh anak-anakku. Kau buang egomu untuk menaatiku, kau campakkan
perasaanmu untuk mematuhiku.
Wahai
istriku.. Di kala susah, kau setia mendampingiku. Ketika sulit, kau tegar di
sampingku. Saat sedih, kau pelipur laraku. Dalam lesu, kau penyemangat jiwaku. Jika
aku gundah, kau penyejuk hatiku. Kala aku bimbang, kau penguat tekadku. Bila
aku lupa, kau yang mengingatkanku. Ketika aku salah, kaum yang menasehatiku.
Wahai
istriku.. Telah sekian lama engkau mendampingiku. Kehadiranmu membuatku menjadi
sempurna sebagai laki-laki. Lalu, atas dasar apa aku harus kecewa padamu..?! Dengan
alasan apa aku marah padamu..?! Andai kau punya kesalahan atau kekurangan. Semuanya itu tidak cukup bagiku untuk
membuatmu menitikkan airmata.
Akulah
yang harus membimbingmu. Aku adalah imammu. Jika kau melakukan kesalahan, akulah
yang harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada kekurangan
pada dirimu, itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah. Karena kau insan,
bukan malaikat.
Maafkan
aku istriku.. Kaupun akan kumaafkan jika punya kesalahan. Mari kita bersama-sama
membawa bahtera rumah tangga ini hingga berlabuh di pantai nan indah, dengan
hamparan keridhoan Allah azza wa jalla. Segala puji hanya untuk Allah azza wa
jalla yang telah memberikanmu sebagai jodohku.”
Tanpa
terasa air mata Rino menetes deras di kedua pipinya. Dadanya terasa sesak
menahan isak tangis. Segera ia berbaring di sisi istrinya pelan-pelan.Tak lama
kemudian ia pun terlelap.
"Teeng..teeng.."
Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali.
Rina,
istri Rino terperanjat sambil terucap : “Astaghfirullaah, sudah jam
dua..!" Dilihatnya sang suami pulas di sampingnya. Pelan-pelan ia duduk,
sambil memandangi wajah sang suami yang tampak kelelahan.
“Kasihan
suamiku, aku tidak tahu kedatanganmu. Hari ini aku benar-benar capek,
sampai-sampai nggak mendengar apa-apa. Sudah makan apa belum ya dia..?!" Gumamnya
dalam hati.
Ada niat
mau membangunkan, tapi ach.. tidak tega. Akhirnya Rina cuma pandangi saja wajah
suaminya. Semakin lama dipandang, semakin terasa getar di dadanya. Perasaan
yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Hanya
hatinya yang bicara: “Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku. Aku
telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapak dari anak-anakku. Begitu
besar harapan kusandarkan padamu. Begitu banyak tanggungjawab kupikulkan di
pundakmu.
Wahai
suamiku.. Ketika aku sendirian,
kau datang menghampiriku. Saat aku lemah, kau ulurkan tanganmu menuntunku.
Dalam duka kau sediakan dadamu untuk merengkuhku. Dengan segala kemampuanmu kau
selalu ingin melindungiku.
Wahai
suamiku.. Tak kenal lelah kau
berusaha membahagiakanku. Tak
kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya mencari nafkah yang halal
tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu
sendiri, demi aku dan anak-anak.
Lalu.. Atas
dasar apa aku tidak berterimakasih padamu. Dengan alasan apa aku tidak berbakti
padamu? Seberapapun materi yang kau berikan, itu hasil perjuanganmu, buah dari
jihadmu.
Jika kau
belum sepandai da’i dalam menasehatiku, tapi
kesungguhan dan tekadmu beramal shaleh, mengajakku dan anak-anak istiqomah di
jalan Allah, membanggakanku dan membahagiakanku.
Maafkan
aku wahai suamiku. Akupun akan memaafkan kesalahanmu.
Alhamdulillah..
segala puji hanya milik Allah yang telah mengirimmu menjadi imamku. Aku akan
taat padamu untuk mentaati Allah. Aku akan patuh kepadamu untuk menjemput
ridho-Nya.
No comments:
Post a Comment