SEPUTAR GRATIFIKASI DOKTER
Pada tanggal 2 April 2015, saya ditugaskan mewakili Ketua PP
Perdami, untuk menghadiri sebuah pertemuan di ruang rapat PB IDI,
Jakarta. Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh para ketua atau perwakilan dari
Perhimpunan Dokter Spesialis, Perhimpunan Dokter Pelayanan Primer serta
Perhimpunan Dokter Seminat di lingkungan organisasi Ikatan Dokter Indonesia.
Seperti disebutkan di dalam undangan, tujuan pokok dari
pertemuan tersebut adalah untuk menyampaikan penjelasan tentang kajian hukum
dan pemahaman seputar gratifikasi di lingkungan profesi yang telah disusun oleh
sebuah Tim yang dibentuk oleh PB IDI.
Penjelasan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Tim Kajian
PB IDI, Dr. Rudy Sapoelete, dalam sebuah presentasi bertajuk 'Gratifikasi
Menurut Pandangan IDI' yang merupakan pokok isi dari risalah pertemuan yang
berjudul 'KAJIAN HUKUM KERJASAMA DENGAN MITRA YANG TIDAK BERTENTANGAN DENGAN
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA DAN PERATURAN PER UNDANG UNDANGAN'.
Pertemuan di PB IDI itu sebetulnya ingin menjawab dua pertanyaan
besar yakni 'apakah pemberian yang diterima oleh dokter dari mitranya
(yakni perusahaan farmasi dan perusahaan alat kesehatan) dapat dikategorikan
sebagai gratifikasi yang menjurus kepada tindak pidana korupsi ?'.
Lalu, model atau pola kerjasama seperti apa yang harus diwujudkan diantara dokter dan mitranya agar tidak melanggar peraturan perundang undangan serta selaras dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia ?.
Sebelum menjawab pertanyaan ini, mungkin ada orang yang bertanya bertanya, kenapa dan apa pentingnya dokter bekerjasama dengan mitranya ( perusahaan farmasi dan perusahaan alat kesehatan ) serta menerima bantuan dari mereka ?.
Lalu, model atau pola kerjasama seperti apa yang harus diwujudkan diantara dokter dan mitranya agar tidak melanggar peraturan perundang undangan serta selaras dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia ?.
Sebelum menjawab pertanyaan ini, mungkin ada orang yang bertanya bertanya, kenapa dan apa pentingnya dokter bekerjasama dengan mitranya ( perusahaan farmasi dan perusahaan alat kesehatan ) serta menerima bantuan dari mereka ?.
Risalah pertemuan di PB IDI itu menjawabnya dengan menyatakan
bahwa diantara kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter adalah mengikuti
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan (UU No.29 2004 Praktik Kedokteran) serta
berbagai temu ilmiah seperti seminar, simposium, loka karya dan lain lain
(KODEKI pasal 21). Semua kegiatan yang wajib dilakukan oleh para dokter ini,
selain dimaksudkan untuk mendapatkan Sertifikat Kompetensi (Sertikom), yang
merupakan syarat mutlak dalam penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) dan
selanjutnya digunakan melengkapi persyaratan dikeluarkannya Surat Izin Praktik
(SIP), juga ditujukan untuk meningkatkan mutu pelayanan kedokteran kepada
masyarakat.
Bahkan, sebelum sanksi pada pasal ini dicabut oleh Mahkamah
Agung, disebutkan bahwa jika dokter tidak memenuhi kewajibannya tersebut
, ia bisa dipidana dengan kurungan penjara atau didenda uang puluhan juta
rupiah.
Sayangnya, berbagai kewajiban yang dibebankan oleh Pemerintah
kepada para dokter tersebut tidak disertai dengan 'kehadiran' Pemerintah untuk
membantu para dokter menyediakan berbagai fasilitas maupun berbagai upaya
lainnya agar kewajiban kewajiban tersebut dapat terlaksana dengan baik. Dalam
konteks inilah, perusahaan farmasi dan perusahaan alat kesehatan datang
'mengulurkan tangan' membantu para dokter dengan 'memberikan bantuan'
untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan berkelanjutan serta keikutsertaan
dalam berbagai kegiatan ilmiah.
Namun, sebagai perusahaan bisnis yang bergerak di bidang
kesehatan/kedokteran yang sangat gencar mempromosikan produk perusahaannya,
kedua mitra ini tentulah amat berharap kepada para dokter agar produk produk
mereka , baik itu obat obatan maupun alat alat kesehatan, dapat terjual maupun
digunakan lewat otoritas yang dimiliki oleh para dokter , baik melalui
rekomendasi maupun resep obat yang ditulis oleh para dokter.
Nah, dalam konteks inilah, timbul kecurigaan dari sebagian
masyarakat akan adanya 'kolusi' atau 'kong kali kong' antara dokter dan
mitranya itu. 'Tidak mungkin perusahaan farmasi/alat kesehatan mau memberikan
bantuan begitu saja kepada para dokter kalau tidak ada 'udang di balik
batu. Tidak ada makan siang yang gratis', demikian kata mereka. Selanjutnya,
dokter dituding menerima gratifikasi suap yang menjurus ke arah tindakan
korupsi !. Tentu saja, tindakan korupsi akan berurusan dengan KPK dan
Polisi.....dan dapat diancam dengan pidana kurungan penjara paling lama 3 tahun
dan atau denda uang paling banyak 150 juta Rupiah !
Sebagian masyarakat melihat gratifikasi di kalangan
profesi kedokteran sebagai praktek lama yang telah menjadi rahasia umum dan
acap kali dikaitkan dengan kerjasama para dokter dengan kedua mitranya
itu. Isu gratifikasi akhir akhir ini diperbincangkan di kalangan
profesi dokter dan diberitakan di berbagai media cetak dan elektronik. Terlebih
lebih lagi dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14, tahun 2014
Tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan yang
menambah dan membuat resah dokter dalam menjalankan profesinya.
Kembali kepada pertanyaan di atas.
Apakah semua pemberian yang diterima oleh dokter dari
mitranya yakni perusahaan farmasi dan perusahaan alat kesehatan, dapat
dikategorikan sebagai bentuk gratifikasi dan bisa dimasukkan ke dalam tindak
pidana korupsi ?.
Mari kita lihat kembali apa yang dimaksudkan dengan gratifikasi.
Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan pasal 12B ayat 1, UU No.31 tahun 1999 juncto UU No.20 tahun 2001, bahwa : ' Yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjawalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik '.
Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan pasal 12B ayat 1, UU No.31 tahun 1999 juncto UU No.20 tahun 2001, bahwa : ' Yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjawalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik '.
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa pengertian
gratifikasi mempunya makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela
atau negatif. Artinya, tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum.
Mengacu kepada Permenkes No.14 tahun 2014 tentang
Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan, pada Bab II,
Pasal 3 disebutkan bahwa gratifikasi dikategorikan menjadi gratifikasi
yang dianggap suap dan gratifikasi yang tidak dianggap suap.
Lalu, kapan gratifikasi itu berubah menjadi kejahatan korupsi?.
Gratifikasi itu ditengarai sebagai kejahatan korupsi jika gratifikasi tersebut
dianggap suap. Lihat di website KPK:
http://kpk.go.id/gratifikasi/index.php/informasi-gratifikasi/tanya-jawab-gratifikasi.
Pemberian gratifikasi berbau suap adalah salah satu bentuk tindak pidana korupsi (http://acch.kpk.go.id/documents/10157/2790/Buku+Saku+Memahami+untuk+Membasmi+Korupsi.pdf
Pemberian gratifikasi berbau suap adalah salah satu bentuk tindak pidana korupsi (http://acch.kpk.go.id/documents/10157/2790/Buku+Saku+Memahami+untuk+Membasmi+Korupsi.pdf
Adapun uraian tentang gratifikasi yang dianggap suap termaktub
di dalam pasal 12B ayat 1, UU No.31 tahun 1999 juncto UU No.20 tahun
2001. Disana disebutkan :
'Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut
:..........................................'.
Sementara itu, Permenkes No.14 tahun 2014 tentang
Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan, pada Bab I,
Pasal 1, menyebutkan :
'Gratifikasi yang dianggap suap adalah gratifikasi yang diterima
oleh Aparatur Kementerian Kesehatan yang berhubungan dengan jabatan dan
berlawanan dengan tugas dan kewajiban dan tugas penerima'.
Berdasarkan Kaidah Hukum Positif, bahwa gratifikasi dapat dikategorikan menjadi gratifikasi yang dianggap suap, jika telah memenuhi 3 unsur :
Berdasarkan Kaidah Hukum Positif, bahwa gratifikasi dapat dikategorikan menjadi gratifikasi yang dianggap suap, jika telah memenuhi 3 unsur :
Subyek hukum: pegawai negeri atau penyelenggara negara atau
aparatur kemenkes
Pemberian tersebut ada kaitannya dengan jabatan .Bertentangan
dengan tugas dan kewajiban.
Gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang
perbuatan pidana suap khususnya kepada seorang Penyelenggara Negara atau
Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri
tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah
dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan
jabatan atau pekerjaannya (: http://kpk.go.id/gratifikasi/index.php/informasi-gratifikasi/tanya-jawab-gratifikasi)
Jadi, pemberian gratifikasi tertentu oleh perusahaan
farmasi/alat kesehatan kepada seorang dokter yang berstatus sebagai pegawai
negeri, pegawai pemerintah, penyelenggara negara atau juga pegawai lain yang
bekerja di Kemenkes, bisa dikategorikan sebagai gratifikasi yang diduga suap.
Kepada mereka diwajibkan melaporkan pemberian gratifikasi yang diterimanya
kepada KPK.
Namun, bagaimana dengan dokter yang tidak berstatus sebagai
pegawai negeri, pegawai pemerintah atau penyelenggara negara dan hanya menjalankan
profesi dokternya saja ?.
Apakah pemberian bantuan yang diterima oleh seorang dokter dari
perusahaan farmasi/alat kesehatan seperti mensponsori dokter untuk
mengikuti pendidikan/latihan serta berbagai kegiatan ilmiah lainnya, harus
tetap dilaporkan juga kepada KPK karena bisa diduga sebagai gratifikasi suap ?.
Tim Kajian PB IDI menulis ( Bab III,Kesimpulan, halaman 11 ) :
'Penekanan obyek dari gratifikasi pada Undang Undang adalah 'Pegawai negeri'
atau 'Penyelenggara Negara'. Dengan mengacu kepada hitam putih substansi hukum
maka penerima gratifikasi selain pegawai negeri dan penyelenggara negara tidak
dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Undang Undang tersebut'
Itu berarti, pemberian apapun yang diberikan oleh perusahaan
farmasi/alat kesehatan kepada seorang dokter yang bukan pegawai negeri ataupun
penyelenggara negara, tidak dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang
diduga suap dan tentu saja, bukan merupakan tindakan korupsi.
Dr. M. Nasser , salah seorang komisioner Kompolnas (Komisi
Kepolisian Nasional), menegaskan secara keras bahwa tidak ada yang
disebut dengan gratifikasi pidana terhadap profesi dokter, yang ada hanyalah
gratifikasi yang menyalahi etik kedokteran atau gratifikasi etik. Beliau bahkan
menyerukan perlawanan terhadap pihak pihak terkait yang berupaya
'mem-pidana-kan' dokter dalam konteks gratifikasi ini.
Memang di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) pasal 3
disebutkan bahwa 'dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi'. Maka, dokter yang menerima pemberian gratifikasi hanya
masuk ke dalam persoalan ranah etik kedokteran saja dan diluar jangkauan domain
hukum pidana sehingga sanksi yang dikenakan kepadanya paling paling hanya
sanksi etik saja !.
Namun hal ini disanggah oleh Ketua Umum POGI, Dr. Nurhadi
Saleh, SpOG dengan mengatakan - menurut KPK ,dengan mengacu kepada sebuah
sebuah seminar tentang gratifikasi di Manado - bahwa dokter, seperti halnya
notaris, termasuk ke dalam ruang lingkup 'pejabat negara' yang bisa juga
dikenakan sanksi hukum pidana korupsi. Rasanya juga tidak adil kalau dokter
yang berstatus pegawai negeri bisa dikenakan dengan sanksi hukum pidana yang
jauh lebih keras dan menyakitkan dibandingkan dengan hanya sanksi etik yang
dijatuhkan kepada dokter yang bukan pegawai negeri.
Beliau juga mempertanyakan apakah perilaku dokter yang melanggar
etik kedokteran karena menerima gratifikasi dari mitranya, bisa dikenakan
sanksi pidana ?.
KESIMPULAN
Berangkat dari uraian di atas dan mengacu kepada risalah
pertemuan, maka kesimpulan pertemuan di PB IDI tersebut, diantaranya ialah :
Kerjasama dokter dengan mitranya ( perusahaan farmasi dan alkes
) harus mengacu kepada KODEKI pasal 3, yang menyebutkan bahwa dalam melakukan
pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu
yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesiPenerimaan
gratifikasi ( pemberian ) oleh dokter yang bukan berstatus sebagai pegawai
negeri ataupun penyelenggara negara tidak dapat dikenakan saksi pidana
gratifikasi suap. Boleh jadi hanya dijatuhkan sanksi etik saja !.Seorang dokter
dapat menerima bantuan sponsor secara individual dari mitranya untuk keperluan
keikutsertaan dalam berbagai kegiatan ilmiah. Namun, bantuan sponsor tersebut
hanya terbatas pada registrasi (pendaftaran), akomodasi dan transportasi
saja. Disamping itu, pemberian bantuan sponsor oleh mitra terkait
tersebut haruslah : Dalam batas batas kewajaranDinyatakan secara jelas
tujuan, jenis, waktu dan tempat kegiatan tersebut serta kejelasan peruntukan
pemberian dimaksud.Secara berkala dilaporkan kepada pengurus organisasi profesi
setempat untuk diteruskan kepada Pengurus Besar IDI.Tidak boleh
disyaratkan/dikaitkan dengan kewajiban untuk mempromosikan, merekomendasikan
atau meresepkan suatu produk obat/alkes tertentu.
Mekanisme maupun rincian tatacara teknis pemberian bantuan
sponsor ini masih akan disusun dan diserahkan pengaturannya kepada masing
masing organisasi profesi.
Adapun terkait dengan donasi ataupun bantuan dari mitra terkait
:
Mitra terkait ( perusahaan farmasi/alkes ) dilarang memberikan
honorarium dan atau uang saku kepada seorang dokter untuk menghadiri kegiatan
ilmiah kecuali dokter tersebut berkedudukan sebagai pembicara atau moderator.
Begitu juga mitra terkait dilarang memberikan donasi dan atau hadiah dalam
bentuk apapun kepada seorang dokter yang dikaitkan dengan penggunaan produk
tertentu.Pemberian donasi dan atau hadiah dari mitra terkait hanya
diperbolehkan untuk organisasi profesi dan tidak diberikan kepada dokter secara
individual.
REKOMENDASI
Untuk mendapatkan persepsi yang sama terkait pola dan batasan
kerjasama antara dokter dan mitranya yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang undang dan KODEKI, maka disarankan :
Melakukan audiensi dan dengar pendapat membahas hal tersebut di
atas dengan berbagai pihak terkait seperti Konsil Kedokteran Indonesia,
Kementerian Kesehatan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian RI.Membuat
nota kesepahaman antara IDI dan KPK tentang gratifikasi dalam lingkungan
profesi kedokteran.
Wassalam
Dr.Riki Tsan,SpM (Departemen Organisasi Pengurus Pusat Perdami)
Catatan :
Hasil hasil pertemuan di PB IDI tersebut di atas telah
disampaikan kepada Prof.DR.Dr.Nila F Moeloek,SpM(K), Ketua PP Perdami yang juga
menjabat sebagai Menteri Kesehatan RI sebelum audiensi PB IDI kepada beliau.
Menteri Kesehatan menyambut baik hasil pertemuan di IDI terkait denga[truncated by WhatsApp]
Published
: 29 Juli 2015 06:13:08 - Updated : 11 Agustus 2015 21:35:05 Menteri Kesehatan menyambut baik hasil pertemuan di IDI terkait denga[truncated by WhatsApp]
No comments:
Post a Comment