Taksi Biru
Oleh: Susbandono
Oleh: Susbandono
Dulu saya memuji kehebatan
pelayanan taksi dengan simbol burung berwarna biru. Tapi, kali ini
tentang demonstrasi yang digelar 3 hari lalu di sepanjang jalan Thamrin dan
sekitar Istana Negara.
Siang itu jalanan dipenuhi oleh
ratusan pendemo yang didominasi seragam bermotif batik, berwarna biru.
Mereka adalah sopir-sopir taksi. Mayoritas berasal dari 2 perusahaan
besar taksi berargometer di Jakarta. Taksi biru dan taksi putih.
Isunya jelas. Pendemo
protes karena kehadiran perusahaan transportasi berbasis aplikasi.
Pelanggan taksi turun drastis. Konon 30 sampai 40%. Taksi aplikasi
disebut tak berizin, tak bayar pajak, tak ditera, tak sesuai ketentuan
tarif dan seterusnya, dus, ilegal. Harus ditutup.
Kalau selama ini “Taksi Biru”
dianggap sebagai primadona taksi di Jakarta, bahkan Indonesia, kali ini merasa
terdesak. Meski sudah berbelas tahun atau bahkan berpuluh tahun
menjadi the best taxy in the city dan merajalela di hampir semua
kota besar di Indonesia, kali ini tak tahu bagaimana harus bertahan.
Belum lama, “Taksi Biru” masih dikenal dengan pelayanan yang
prima, credible, bersih dan favorit, kini bertekuk lutut dan
menyerah.
“Taksi Biru” cukup lama
menjadi the winner. Susah membayangkan ada perusahaan lain yang
mampu menggeser dominasi mereka. Organisasi yang matang, dikelola
dengan pengalaman segudang yang sulit dicari lawannya.
Tapi justru karena itu, mereka
lengah. Berada dalam posisi juara, dalam waktu yang lama, membuat mereka
lalai. Lupa bahwa perubahan tidak lagi linier, melain eksponensial,
dengan percepatan doubel atau tripel. Tak menyangka bahwa “musuh” bisa
datang dari mana saja, berupa apa saja, dan siapa saja.
Dulu, mereka sering didemo oleh
sopir-sopir dari perusahaan taksi lainnya yang menjadi pecundang.
Diprotes karena dianggap mendapat fasilitas istimewa. Sopirnya dikucilkan
dan di-bullykalau berada di pangkalan taksi umum. Dianggap elit dan
eksklusif. Kemaren mereka ganti mendemo “saingannya” yang bahkan tidak
mempunyai 1 mobil sekali pun. Tak terpikir sebelumnya, perusahaan jasa
transportasi tidak mempunyai armada. Dunia cepat berputar. Bumi
tidak lagi bulat. “The world is flat”.
“Taksi Biru” beruntung dengan
masa jaya yang relatif lama. Produk lain lebih tragis, karena baru saja
muncul, menjadi juara sejenak dan dilibas saingan-saingannya. Fenomena
“Taksi Biru” mirip becak. Pernah merajalela di Jakarta, becak digusur
bemo. Belum usai tukang becak marah, bemo ditendang helicak. Tak
lama bertahan, kendaran yang mirip capung itu, diganti perannya oleh
bajaj. Begitulah, mati satu, tumbuh seribu.
Banyak kisah bagaimana pelaku
bisnis taksi “legal” bisa memetik pelajaran berharga dari kehidupan di sekitar
kita. Kelahiran super market besar, seperti Gelael atau Hero yang
diprotes oleh warung-warung pinggir jalan. Tak lama, ganti “Hero” dan
“Giant” yang marah-marah karena banyak gerai bernama akhiran “Mart” yang
tumbuh bak jamur di musim hujan. Yang dulu diprotes, ganti mendemo, yang
dulu belum ada, tiba-tiba muncul dengan sesuatu yang sama sekali baru dan tak
terkirakan. Semuanya mendesah dengan keluhan yang persis sama, hanya
waktunya berbeda. “Patah hilang, tumbuh berganti”.
Kisah Travis Kalanick dan Garret
Camp, pendiri Uber, perusahaan berbasis aplikasi, yang diprotes demonstran sopir-sopir
taksi konvensional, menarik disimak. Dia mengritik taksi “legal” sebagai
bisnis yang stagnan dan raksasa yang penuh korupsi dan
kronisme. “Perusahaan taksi melindungi dirinya agar kompetisi sehat tidak
terjadi. Mereka membetengi dirinya dengan regulasi yang tak masuk
akal. Mereka mempunyai karakter ongkos tinggi, servis rendah dan
minim akuntabilitas. Rentan digantikan dengan
bisnis startup, karena banyak orang jengkel kepada mereka”.
Travis menjadi salah satu “penemu
besar” abad ini. Alhasil, uang sebanyak 80 triliun rupiah tercatat
menjadi kekayaannya. Kisah sukses Travis tak sendirian. Di Malaysia ada
Anthony Tan yang melahirkan Grab, yang beranak-pinak menjadi GrabBike, GrabTaxi
dan GrabCar. Di Indonesia ada Nadiem Makarim yang membuat GoJek, yang
juga dimusuhi tukang ojeg pangkalan. Mereka membuat marah para pelaku
bisnis konvensional yang kadung nyaman dengan kemapanan yang memabukkan.
Travis, Anthony dan Nadiem
mempunyai 3 kunci sukses, yang membuat dunia ternganga-nganga menyaksikan penemuannya.
Tak mau terlena dengan kenyamanan, inovatif dan tahan banting. Uber
dihujat di seluruh dunia, Grab dicemooh sinis dan GoJek dikeroyok ojeg
pangkalan. Sekali lagi, ketiganya maju terus, pantang mundur.
Ketika kenikmatan terusik dengan
inovasi, orang barungeh kalau dunia sudah berubah. Banyak yang ikut
tersadar dan segera berubah, tak sedikit yang menjawab kekagetan ini dengan
respons negatif. Marah, protes, demo dan tindakan anarkis lainnya.
Sesuatu yang sia-sia, karena zaman tak mungkin ditahan bergerak, bumi tak
mungkin dihentikan berputar dan matahari tak mungkin istirahat bersinar.
Tidak hanya di Jakarta.
Uber juga dikecam di berbagai belahan bumi lainnya, namun bergeming.
Paris adalah contoh kota besar yang bereaksi negatif. Kerusuhan
dikobarkan untuk melawan Uber. Sekitar 70 mobil dirusak, 7 polisi
terluka, 10 orang ditangkap, bahkan 2 pejabat Uber diadili dan diancam hukuman
5 tahun penjara.
Brasil idem ditto. Tiga
kota besar, Sao Paulo, Rio de Janeiro dan Brasilia menolak Uber beroperasi.
Meski sudah terbit aturan untuk itu, Walikota setempat masih gamang.
“Dimakan ayah meninggal, tak dimakan ibu yang wafat”. Serba salah.
Tipikal kebingungan serupa, juga
ditunjukkan pemerintah di Jakarta. Menteri yang satu melarang, menteri yang
lain, wait and see. Padahal disitulah sumber kebingungan
ini. Tak banyak pihak yang mampu mengantisipasi perubahan.
Dibutuhkan gerak dengan kecepatan tinggi. Mereka yang mampu cepat akan
bertahan, sementara yang lamban akan ditinggalkan. Padahal, regulasi dan
undang-undang adalah contoh produk dengan proses yang beringsut
perlahan-lahan, yang sulit bermanuver dengan gesit. Akhirnya
kegaduhan harus dikecap bersama.
Bukan hanya taksi legal yang
dalam keadaan bahaya. Industri atau bisnis lain pun, demikian juga.
Siapa saja, yang merasa nyaman terlalu lama, lalai dan abai terhadap
“ancaman” perubahan, tiba-tiba diserang oleh perubahan itu sendiri.
Sejarah membuktikan, tak ada satu pun kekuatan yang mampu menahannya.
Kalau saja saya bisa mengirim
pesan ini kepada mereka. Kepada para pelaku industri transportasi kota
yang enggan berubah. Kepada pengusaha dan sopir taksi yang kecapaian demo
tanpa setoran. Kepada tukang ojeg pangkalan yang lagibengong nunggu
penumpang. Kepada pelaku industri angkot dan bis mini yang
hobinya kebut-kebutan. Kepada pelaku industri transportasi pada khususnya
dan pelaku bisnis pada umumnya yang berduka karena ekonomi lesu. Jangan
tunggu dan harapkan orang lain - termasuk pemerintah - akan menolong anda.
Andalah orang yang sedang anda tunggu untuk melakukan perubahan itu.
“Change will not come if we wait
for some other person or some other time. We are the ones we've been waiting
for. We are the change that we seek”. (Barack Obama)
Artikel-Artikel Tentang
Transport Berbasis Aplikasi Online:
- Si Taksi Biru
- The Blue Bird Story – The Magic of Sharing Economy
- Valuasi Kapitalis Transportasi
- Grab Itu Marketplace
- Transportasi Berbasis Aplikasi – Rhenald Kasali
No comments:
Post a Comment