Mandeh (Ibu)
SEPENGGAL CERITA YANG SANGAT MENG-INSPIRASI DAN MENUSUK PERASAAN
Tanpa di rencanakan Mandeh mengabarkan bahwa dia sudah di
bandara untuk terbang ke Jakarta. Dalam dua jam dia sudah sampai " jemput Mandeh
di bandara ya nak" demikian pesan singkatnya lewat WA. Mandeh walau
usianya sudah diatas 70 thn, namun bukanlah Mandeh yang puritan. Mandeh melek
tekhnology dan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Namun Mandeh tetap dengan
prinsip hidupnya yang mandiri. Tak pernah mau merepotkan anak dan cucu.
"Jangan kau bilang sama Adi kalau Mandeh datang. Nanti iba
hati pula dia kalau Mandeh tidak lebih dulu kerumahnya." Kata Mandeh.
Adi adalah kakak tertuaku. Hidupnya memang tidak beruntung. Tak
pernah masuk perguruan tinggi. Usahanya hanya pedagang kecil di pasar
tradisional. Namun kami semua adiknya menghormatinya. Walau dia paling tidak
beruntung hidupnya di bandingkan kami namun dia tidak pernah menyusahkan kami.
Bahkan selalu menolak bila di bantu. Berkat Uda Adi , Uda Burhan bisa
selesaikan kuliah dan bekerja sebagai PNS. Uda Burhan membantu Uni Linda
kuliah sampai selesai. Uni Linda bekerja di BUMN dan membiayai ku selesai
kuliah. Aku terjun sebagai pengusaha. Terakhir si Mulyadi, aku bantu selesai
kuliah dan sekarang jadi dosen.
Kami adik beradik saling tolong menolong sejak Ayah meninggal.
Semua berkat didikan Mandeh yang berhasil menjadikan Uda Adi sebagai pemimpin
kami setelah ayah meninggal. Biaya hidup Mandeh sepenuhnya di tanggung Uda Adi.
Mande lebih leluasa meminta kepada Uda Adi. Pergi haji pun Mandeh bersama Uda
adi. Tentu uda adi yang menanggung biayanya. Entah mengapa kami tak peduli
dengan segala beban yang di tanggung Uda Adi.
"Mengapa kalian berdiam diri soal si Burhan? Apa kalian
pikir Mandeh sudah pikun." Rasanya jantung ku berhenti berdetak. Bagaimana
Mandeh bisa tahu kasus Uda Burhan. Mungkin karana Mandeh melek teknologi dan
aktif di sosmed. Semuanya Mandeh tahu karena berita soal Uda Burhan sudah
tersebar kamana mana.
" Ya aku kurang paham urusannya Mandeh"
"Jangan pula kau pura pura. Kau sama saja dengan Burhan.
Usaha kau berkembang karena bantuan dia sebagai pejabat"
Aku hanya diam. Memang usahaku berkembang karena proyek dari
instansi Uda Burhan. Jalanan macet terasa ratusan tahun sebelum sampai di rumah
Uda Burhan. Gadget ku bergetar. Kulihat di layar tertulis nama istriku.
"Ya mah, Mandeh sudah bersama papa. Mau bicara dengan Mandeh?
Aku menyerahkan Gadget kepada Mandeh. "Si Dina mau bicara, Mandeh"
Aku menyerahkan Gadget kepada Mandeh. "Si Dina mau bicara, Mandeh"
"Ya Ananda. Nanti selepas dari rumah Uda Burhan kau, Mandeh
akan mampir ke rumah. Gimana kabar cucu cucu Mandeh?”
Tak berapa lama Mandeh berbicara dengan istriku dan kemudian
menyerahkan Gadget kepadaku.
"Mengapa kau biarkan si Dina terus bekerja? Kurang apa
kalian? Rumah besar. Kendaraan ada empat. Belum lagi vila dan apartemen. Sementara
kedua anak kalian di suruh tinggal di luar negeri. Ayam saja tidak begitu
lakunya dengan anak anaknya. "
"Si Dina itu S3 Mandeh. Sayang ilmunya tak dipakai? Anak
anak sekolah di luar negeri biar dapat pendidikan terbaik"
"Entahlah. Mandeh orang kampung nak. Mandeh hanya tahu
seharusnya istri dirumah kalau suami mampu mencukupi kebutuhan dan tugasnya
menjaga rumah dan anak. Lain halnya kalau suami tidak mampu. Kau lebih dari
mampu. Kedua anakmu perempuan tak elok anak gadis jauh dari orang tuanya"
Aku hanya diam.
"Uni kau tahu Mandeh datang? "
“Tahu. Dia menanti Mandeh di rumah uda Burhan."
Mandeh terdiam. Pandangannya tertuju ke jalanan. Tapi aku tahu
banyak yang dipikirkannya. Mandeh tidak pernah henti berpikir dan ikut
memberikan bimbingan di tengah setiap masalah kami.
Ketika sampai di rumah Uda Burhan. Nampak uni Linda menyambut Mandeh
didepan pagar sambil memeluk Mandeh dan membawa tas Mandeh masuk kedalam
rumah. Di ruang tamu nampak Uda Burhan duduk dengan wajah layu menatap
jendela kearah taman yang asri dirumahnya. Aku duduk di lantai bersila. Uni
Linda duduk disamping Uda Burhan. istri Uda Burhan duduk di samping Mandeh.
"Apa yang terjadi sesungguhnya nak?” Kata Mandeh memecah
keheningan.
"Aku hanya melaksanakan perintah pimpinan Mandeh. Kini aku
di korbankan.." Kata Uda Burhan dengan suara lirih.
"Seharusnya kau tidak patuh kepada pimpinan tapi patuh
kepada UU dan aturan. Negeri ini tidak dimiliki oleh pimpinanmu tapi oleh
rakyat. Rakyat mengamanahkan mu melaksanakan tugas sesuai aturan. Paham kau
Nak? Negeri ini Merdeka dengan jumlah Syuhada tak terbilang. Kakek kau ikut
menyabung nyawa melawan penjajah asing agar aku dan kau juga cucumu bisa
merasakan nikmat Merdeka. Negeri ini merdeka karena Rahmat Allah. Kini kau
kotori itu dengan buruk lakumu. Tak malu kau dengan cucumu?
"Tapi Mandeh. Kalau tak patuh dengan pemimpin aku akan
tersingkir"
"Nak. Mengapa kau sangat takut kehilangan jabatan bila kau
merasa benar. Jalan ALLAH itu tidak mudah, anakku. Kau harus Istiqamah agar
pertolongan ALLAH sampai kepadamu."
"Tidak sesederhana itu Mandeh..Ini politik"
"Mandeh hanya orang kampung. Tidak sepintar kau. Mandeh
hanya tau kalau jabatan itu milik ALLAH dan kepada ALLAH lah berharap. Bukan
kepada pimpinan. "
"Ya Mandeh ... " kata uda Burhan dengan lirih.
Mandeh meliat kearah kami satu persatu.
"Kau, Linda." kata Mandeh menatap Uni Linda "Kau
sibuk terus dengan karier mu. Kadang di Eropa, kadang di Amerika. Kau lupa
bahwa kau istri dan ibu dari anak anakmu. Apa yang kau cari nak. Shalat pun kau
tak pernah. Pakaianmu seperti anak muda. Padahal kau tidak muda lagi. Tidak
takut kau akan mati kapanpun. Apa bekal mu nak untuk di bawa pulang ke
ALLAH"
Uni Linda hanya diam.
"Kau," kata Mandeh menatapku "Kau selalu sibuk.
Istrimu sibuk. Udah kaya kalian. Tapi sampai kini belum terpikir mau pergi
haji. Istrimu sibuk dengan karirnya. Anak gadis mu kau kirim ke luar negeri.
Orang tua macam apa kalian?. Tak takut kau dengan tanggung jawab amanah sebagai
orang tua, sebagai suami di hadapan ALLAH nanti ?
Aku hanya diam.
"Si Mulyadi juga tak ubahnya dengan kalian. Sibuk terus.
Dia dosen tapi waktunya lebih banyak di luar. Tak malu dia dengan jabatannya
sebagai dosen? Udah kepala tiga umurnya belum juga menikah"
Kami semua terdiam. Tak berapa lama Mandeh berdiri dari duduknya.
"Uda kalian si Adi, tak sekolah tinggi seperti kalian tapi
kau Burhan di biayainya sampai selesai jadi sarjana. Uda kalian tak punya rumah
mewah seperti kalian, tapi dia yang membawa Mandeh ke Makkah. Dia tidak punya
HP sehebat kalian tapi dia yang setiap hari menelphone Mandeh. Dia tidak sekaya
kalian, tapi dia tak pernah barang seharipun terlambat mengirim uang belanja
bulanan untuk Mandeh di kampung. Mandeh tak pernah menuntut balas kepada kalian
anakku. Tapi "Akhlak yang baik selalu bersumber dari REZEKI yang
HALAL." Jernih di hulu akan jernih di hilir. Sehingga kalian pandai
bersyukur dan selalu mendekat kepada Allah, tak ragu berbakti kepada orang tua,
".
Kami semua terdiam.
"Hati Mandeh senang bila meliat kehidupan Uda Adi
kalian. Dia santun dan mandiri. Rajin shalat dan berbakti dengan mande.
Lihatlah hidupnya sekarang, walau tak kaya tapi semua anak anaknya berbakti
pula dengan dia. Tak ada beban rasa kawatir mau di penjara seperti kau Burhan.
Dia lebih baik dari kalian".
Kami semua terdiam..
"Entahlah anakku... Mandeh tak henti berharap dalam doa
agar kalian berubah karena Mandeh sadar Hidayah itu hak ALLAH. Mandeh terus
mendoakan kalian siang malam..."
Mandeh menatapku, “Sekarang antarkan Mandeh ke rumah Uda kalian.
Mandeh mau menginap dirumahnya. Besok biar dia yang antar Mandeh ke Bandara.
Sekali lagi Mandeh berharap kepada kalian. Kalau kalian sayang dengan Mandeh, SHALAT lah....!!! jangan tinggalkan
Shalat agar doa Mandeh di dengar dan di ijabah Allah.
No comments:
Post a Comment