Reklamasi dan
Zonasi
Sharing dari Betti
Alisyahbana, salah seorang Srikandi penyeleksi KPK, menyatakan:
''PROGRAM GUBERNUR AHOK MURNI UNTUK KEMAJUAN BANGSA DAN JAKARTA
KHUSUSNYA DAN JUGA UNTUK KEADILAN SOSIAL UNTUK SEGALA LAPISAN MASYARAKAT."
Penjelasan yang mudah dimengerti awam tentang masalah reklamasi
pantura Jakarta
Posting-an Betti Alisyahbana di WhatsApp group GAK IA ITB:
Gara-gara ada politisi “SAntun NamUn korupSI”
ditangkap KPK, persoalan reklamasi di Pantai Utara (Pantura) Jakarta menjadi
sorotan publik. Di media mainstream dan social media bermunculan 'guru-guru'
yang menerangkan mengapa begini, mengapa begitu, sedemikian sehingga orang yang
kurang paham seperti saya jadi belajar juga.
Reklamasi itu gampangnya adalah proyek penimbunan laut di depan
garis pantai Jakarta pada areal sepanjang 32 km dengan lebar rata-rata 2 km
sampai kedalaman 8 m dengan kebutuhan bahan urugan sebanyak 330 juta m3, yang
terdiri dari 17 pulau buatan (dari “A” sampai “Q”). Silahkan lihat petanya di
berbagai media.
Saya menangkap bahwa publik pada umumnya mengacaukan dua soal
yang berbeda: soal “reklamasi” dan soal “zonasi”. Ini dua hal
yang lain sama sekali.
Soal reklamasi, itu amanat regulasi sejak tahun 1995 yang
harus dijalankan oleh siapapun Gubernur DKI yang menjabat, berdasarkan Keppres
52/1995 yang sampai tulisan ini dibuat belum ada gugatan yang membatalkannya.
Sedangkan soal zonasi itu adalah soal peruntukan mau
dibuat apa saja nantinya di atas 17 pulau buatan seluas 5100 ha hasil dari
reklamasi tersebut.
Ya, 5100 ha mau diapakan? Kita bisa bayangkan zonasi apa saja
yang ada di perumahan Pondok Indah seluas hanya 700 ha itu. Atau juga di
Bintaro Jaya yang seluas kira-kira 1000 ha. BSD City barangkali agak sebanding,
lebih besar memang, yaitu seluas sekitar 6000 ha. You name it, bagi pengusaha
properti, lahan 5100 ha di 17 pulau buatan di lokasi primer, itu termasuk
nikmat Allah yang akan disyukuri dalam jangka panjang.
Tidak heran penciuman KPK sudah sampai ke lingkaran yang selama
ini dianggap the untouchable: Aguan Sugianto.
Tetapi yang perlu digaris-bawahi apakah proyek reklamasi ini
melulu soal komersial?
Jelas bukan, reklamasi itu bagian dari visi besar masa depan
Jakarta menghadapi banjir (bagian dari konstruksi giant sea wall), menyediakan
air bersih (water treatment di dalam tanggul giant sea wall itu), dan tentu
saja mendorong pertumbuhan ekonomi di atas wilayah baru (terutama penerimaan
pajak).
Jadi where’s the catch yang diributkan dalam soal zonasi
ini?
Begini, regulasi sudah atur 45% lahan itu jalur hijau (ini jelas
teritori Pemprov DKI Jakarta), maka yang boleh dikembangkan adalah yang 55%.
Dari yang 55% itu, regulasi mengatur bahwa Pemprov DKI
memperoleh hak setara 5% dari luas areal netto yang direklamasi. Ini disebut
kontribusi dalam bentuk lahan. Banyak orang salah kaprah bahwa Ahok mau
menaikkan kontribusi dalam bentuk lahan ini dari 5% menjadi 15%. Kontribusi
lahan tidak berubah, tetap 5%.
Yang direvisi oleh Ahok dalam Raperda Rencana Zonasi dan Wilayah
Pesisir Pantai Utara dan Perda nomor 8 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi
dan Rencana Tata Ruang Pantura Jakarta adalah adanya kontribusi tambahan
sebesar 15% dari nilai NJOP lahan, tetapi bukan dalam bentuk uang, melainkan in
natura, seperti bangunan fisik.
Untuk apa kontribusi tambahan ini? Untuk biaya membangun di atas jatah lahan Pemprov DKI yang 5% tadi.
Untuk apa kontribusi tambahan ini? Untuk biaya membangun di atas jatah lahan Pemprov DKI yang 5% tadi.
Sekali lagi, bukan kontribusi lahan dinaikan dari 5% menjadi
15%, melainkan, selain kontribusi lahan yang 5%, ada lagi kontribusi
tambahan senilai 15% dari NJOP yang diwujudkan dalam bentuk development yang
dinginkan oleh Pemprov DKI.
Dan perlu diperjelas juga, dua kewajiban pengembang ini di luar
kewajiban fasos/fasum. Dalam klausul izin reklamasi kepada PT Muara Wisesa
Samudra (SK Gubernur No 2238 Tahun 2014), misalnya, tertulis: “memberikan
kontribusi lahan seluas 5% dari total luas lahan areal reklamasi nett yang tidak
termasuk peruntukan fasos/fasum untuk diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta.”
Maka jelaslah ini agenda distribusi keadilan sosial yang sedang
dimainkan oleh Ahok. Dari situlah dia akan membangun untuk kepentingan
orang-orang kecil, seperti yang sudah dia buktikan melalui infratruktur dan
berbagai fasilitas sosial bagi mereka yang tergusur di Waduk Pluit, Kampung
Pulo atau Kali Jodo, misalnya. Ahok tidak mau para buruh di Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) di sekitar Marunda nantinya, atau para nelayan, harus tinggal jauh
di pinggiran Jakarta padahal bekerja sehari-hari di situ.
“Kawasan tersebut kan bukan cuma ditempati oleh masyarakat
kalangan atas, tetapi kalangan menengah ke bawah yang mencari nafkah di pulau
reklamasi,” kata Gubernur Ahok.
Estimasi yang dibuat Agung Podomoro Land, misal lain lagi, harga
tanah per meter hasil reklamasi akan berkisar Rp..22-32 juta. Kalangan
masyarakat mana yang mampu beli? Maka Ahok lah yang harus mewujudkan option for
the poor agar mereka bisa tinggal di situ melalui mekanisme retegulasi.
Ahok sendiri berseloroh, “15% ini jatah preman”.
Soal kontribusi tambahan 15% inilah yang oleh para taipan
properti itu mau disatukan, dikonversi dari yang 5% kontribusi lahan saja,
melalui berbagai lobi, yang akhirnya berujung skandal suap kepada si politisi
santun kita tersebut di atas.
Pengusaha maunya 5% kontribusi lahan saja, sedangkan Ahok maunya
5% kontribusi lahan + 15% kontribusi tambahan (untuk bisa membangun di atas 5%
lahan itu). Dari sini bisa
terlihat perbedaan visi di antara keduanya, dan betapa Ahok begitu tega
“memalak”. Sudah bertingkah mirip Si Pitung dia.
Untunglah Gubernur Ahok rencananya akan menamakan area pelabuhan
baru bertaraf internasional di Marunda nanti “Kawasan Ekonomi Khusus Ali
Sadikin”, dan bukannya “Kawasan Ekonomi Khusus Si Pitung”. Sejarah ilmiah
memang harus dibedakan dari legenda romantis. Rasionalitas di atas
emosionalitas.
Ali Sadikin dulu juga tidak mengasosiasikan proyek
pembangunannya dengan Si Pitung yang legendaris, melainkan dengan Muhammad
Husni Thamrin yang historis.
Mohon share ke yang lain jika setuju bahwa program Gubernur Ahok
murni untuk kemajuan Bangsa dan Jakarta khususnya dan juga untuk keadilan
sosial untuk segala lapisan masyarakat.
No comments:
Post a Comment