Reklamasi
Itu Kuno
Pelajar Indonesia di Belanda:
Reklamasi Pulau di Teluk Jakarta Itu Ide Kuno
Dirilis oleh: Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda
Mahasiswa Indonesia di Belanda menyebutkan bahwa rencana
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk melakukan reklamasi pulau dan
membentuk Giant Sea Wall sebagai bentuk pertahanan pesisir sebagai ide yang
ketinggalan zaman dan sudah ditinggalkan oleh negara-negara maju, seperti
Belanda.
Hal ini merupakan salah satu kesimpulan diskusi “Reklamasi Teluk
Jakarta” yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda
bekerja sama dengan PPI Kota Den Haag dan Forum Diskusi Teluk Jakarta di Kampus
International Institute of Social Studies, Den Haag, pada Sabtu (18/6) lalu.
Diskusi ini digelar usai para pelajar dari berbagai latar belakang keilmuan ini
menggelar acara nonton bareng film dokumentar tentang reklamasi teluk jakarta
yang bertajuk “Rayuan Pulau Palsu”.
Mahasiswa program Doktoral dari University of Twente, Hero
Marhaento memaparkan sebuah ironi proyek Reklamasi Teluk Jakarta dan Giant Sea
Wall yang dibantu oleh perusahaan dan konsultan asal Belanda. Pasalnya, di
Belanda sendiri, jelas kandidat doktoral di bidang Water Engineering ini,
pendekatan hard infrastructure seperti reklamasi pulau dan pembuatan
tanggul besar semacam itu sudah lama ditinggalkan.
“Yang membuat saya heran mengapa di saat pembangunan di
Belanda sendiri mulai meninggalkan konsep-konsep konvensional berupa
hard-infrastructure seperti pembuatan tanggul raksasa atau reklamasi pulau,
para pakar dan konsultan Belanda malah menyarankan pembuatan Giant Sea Wall
bagi masalah banjir Jakarta,” jelasnya.
Hero mengungkapkan bahwa saat ini pertahanan pesisir di Belanda
dilakukan dengan cara "sand nourishment" yaitu pembuatan jebakan-jebakan
pasir di wilayah yang rawan abarasi, bukan dengan membuat tanggul raksasa (giant
sea wall) di tengah laut. Selain itu, upaya mitigasi banjir di Belanda justru
dilakukan dengan merobohkan tanggul-tangggul sungai yang sudah ada dan
menggantinya dengan konsep "Room for the River". Dua
metode tersebut terbukti jauh lebih murah, lebih efektif dan ramah
lingkungan dibandingkan dengan upaya hard-infrastructure seperti reklamasi
pulau dan pembuatan tanggul raksasa.
Lebih lanjut, Hero menjelaskan bahwa negara-negara maju sudah
mulai sadar bahwa pertahanan pesisir itu tak bisa dibebankan kepada
tangan-tangan manusia dengan pembentukan hard infrastructure. Ia mengatakan
bahwa upaya pertahanan pesisir dengan membangun tembok raksasa dan reklamasi
pulau justru akan memunculkan masalah baru di masa mendatang.
“Bila proyek reklamasi pulau ini dilaksanakan maka hutan
bakau di sekitar perarian Teluk Jakarta akan terdegradasi dan hilang. Padahal
hutan bakau merupakan pertahanan pesisir alami yang dapat mencegah terjadinya
abrasi,” ujarnya.
Selain itu dalam laporan yang ditulis oleh Dinas Kelautan DKI Jakarta
tahun 2013, diakui bahwa Teluk Jakarta memiliki produktivitas dan keanekaragaman
hayati yang tinggi.
“Jadi salah kalau Ahok bilang bahwa Teluk Jakarta tidak ada
ikannya,” tambah Hero. Namun, semenjak reklamasi pulau G dilakukan, nelayan
di Muara Angke dan sekitarnya mulai kesulitan untuk mencari ikan di Teluk
Jakarta.
Hero menambahkan bahwa Pemprov DKI Jakarta perlu menjelaskan
secara jujur apa tujuan dan semangat utama dari proyek reklamasi pulau di teluk
Jakarta dan pembangunan Giant Sea Wall ini.
“Apakah itu bertujuan untuk penanggulangan banjir rob atau
untuk ekspansi properti? Bila ingin menanggulangi banjir rob, solusinya bukan
pembuatan tanggul raksasa dan reklamasi pulau” ujarnya
Edwin Sutanudjaja, seorang post-doktoral di bidang Hidrologi
dari Utrecht University, juga berpendapat senada. Edwin membantah argumentasi
bahwa proyek reklamasi dan pembuatan Giant Sea Wall ini dapat menjawab
persoalan banjir dan penurunan permukaan tanah di Jakarta. Ia
mengungkapkan bahwa penurunan muka tanah Jakarta justru disebabkan oleh
pembangunan di Jakarta yang tidak terkendali.
“Pembangunan mall dan properti dilakukan dimana-mana, jadi
solusinya bukan reklamasi melainkan pengendalian pembangunan,” ujar Edwin.*
“Akar masalahnya adalah sentralisasi Jakarta dan urbanisasi.
Semua orang berlomba-lomba ingin ke Jakarta, inilah yang membuat pembangunan
Jakarta tidak terkendali,” tambahnya.
Selain itu, dalam paparannya Edwin juga mengkhawatirkan jika
nantinya Teluk Jakarta justru akan menjadi septic tank raksasa. Membuat tanggul
raksasa artinya membendung air dari 13 anak sungai di Jakarta yang bermuara ke
perairan mati. “Jika kualitas air tidak bisa dijaga justru nantinya perairan
Teluk Jakarta akan menjadi pembuangan akhir yang sangat kotor,”
lanjut Edwin.
Senada dengan Edwin, Hero menutup diskusi dengan mengatakan
bahwa reklamasi bukanlah solusi bagi Jakarta. “Untuk memperbaiki lingkungan
hidup di Jakarta, kita perlu rehabilitasi, bukan reklamasi,” pungkasnya.
Nobar Rayuan Pulau Palsu
Sebelum diskusi, para pelajar Indonesia tersebut menyaksikan
pemutaran film Rayuan Pulau Palsu yang diproduksi oleh WatchDoc. Film yang
disutradarai oleh Randi Hernando tersebut mengisahkan tentang nelayan-nelayan
di Muara Angke yang harus berhadapan dengan kekuatan para pemodal yang
melakukan ekspansi properti lewat reklamasi di Teluk Jakarta.
“Berdasarkan informasi dari WatchDoc, ini adalah kali ketiga
pemutaran film Rayuan Pulau Palsu di luar negeri setelah sebelumnya dilakukan
di Melbourne dan London,” ungkap Sekretaris Jenderal PPI Belanda, Ali Abdillah
dalam sambutannya. Ali mengungkapkan bahwa pemutaran film ini bertujuan untuk
memberikan gambaran kepada para pelajar Indonesia di Belanda bahwa ada yang
salah dengan pembangunan di Jakarta.
“Bukan kita menolak pembangunan, bukan kita tidak mau Jakarta
dan Indonesia yang lebih baik, tapi kita ingin pembangunan yang memperhatikan
aspek kemanusiaan dan berpihak kepada masyarakat kecil,” papar Ali.
Narahubung: Ali
Abdillah +31653164179 (Sekjen PPI Belanda)
No comments:
Post a Comment