Cerita lengkap Sepekan Menjelang Proklamasi, yang telah dibukukan, sudah pernah dua kali cetak dan terakhir dalam bentuk e- book. Untuk kembali menyambut bulan Proklamasi, saya akan mengutip beberapa kepingan peristiwa paska proklamasi. Peristiwa yang mungkin sebagian sudah diketahui umum, tapi mungkin juga ada yang belum. Selamat menikmati. Merdeka!.
MOZAIK
PASKA PROKLAMASI
Oleh : Buntje Harbunangin
MENYEBARKAN
BERITA PROKLAMASI
Naskah proklamasi selesai
dibacakan Bung Karno. Bendera Merah Putih dikerek perlahan di sebuah tiang yang
tidak begitu tinggi. Bendera naik melambai-lambai. Bung Karno memberi hormat.
Semua orang serentak menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebagian
besar tak sanggup menahan air matanya. Terharu.
Tugas berikutnya, menyampaikan
berita gembira ini kepada 70 juta rakyat, di seluruh pelosok Indonesia.
Langkah pertama, mengabarkan kepada rakyat Jakarta. Bung Karno memanggil Riwu
Ga, pelayan setianya sejak bocah dari Ende. “Angalie (saudaraku), pergilah keliling kota. Sampaikan pada rakyat
bahwa kita sudah merdeka”. Tanpa bertanya lagi, Riwu Ga segera menyambar
bendera Merah Putih dan sepucuk alat pelantang suara, megafone. Ia melompat
naik jeep terbuka yang dikemudikan Sarwoko, berkeliling kota Jakarta. Sambil
mengibar-ngibarkan bendera dan memegang megafone, Riwu Ga berteriak-teriak
sepanjang jalan, “Kita sudah merdeka!
Kita sudah merdeka!”. Rakyat pun menyambut, bersorak sorai dari pinggir
jalan. Meneriakkan kata yang sama, Merdeka, Merdeka, Merdeka !!.. Sebenarnya
ini tindakan berbahaya. Setiap saat, Kempetai dapat menembak Riwu
Ga dan Sarwoko, tapi mereka berdua sudah tidak perduli.
Sementara itu Jusuf Ronodipuro,
melalui Radio Hoso Kanriyoko yang sekarang menjadi RRI, menyiarkan ke
seluruh Indonesia. Begitu juga Syahrudin, F. Wuz, Adam Malik lewat kantor
berita Domei yang kini menjadi kantor berita Antara, Pasar Baru.
Pukul 11.00 siang, berita
proklamasi telah sampai ke Bandung, Jawa Barat, melalui sambungan telepon. Saat
itu Daidanco Kasman Singodimedjo menerima kabar tersebut. Dengan lekas ia
menyebarkannya kepada Daidanco (komandon batalion) lain dari PETA
Di Semarang, Jawa Tengah, berita
proklamasi disiarkan oleh Masjid Besar Semarang menjelang sembahyang Jumat.
“Umat yang hadir semuanya sangat terkejut karena yang pertama terdengar dari
pemancar masjid bukan suara azan, melainkan berita Proklamasi
Kemerdekaan,” tulis majalah Intisari edisi September 1965.
Di Surabaya, Jawa Timur, RM
Bintarti dan Sutomo (Bung Tomo), selaku Wakil Pemimpin Redaksi Kantor Berita
Domei Surabaya, menyiarkan berita proklamasi menggunakan bahasa Jawa. Langkah
itu dilakukan demi menghindari sensor balatentara Jepang.
Malam harinya, Radio Hosokyoku
menyiarkan berita kemerdekaan menggunakan bahasa Madura. Pemilihan bahasa lokal
itu kemudian diadopsi oleh media cetak ketika menyebarkan berita proklamasi
kemerdekaan. Tujuannya sama, lolos dari pengawasan Jepang.
Sementara rakyat juga bergotong
royong menyebarkan berita besar tersebut. Mereka mencetak pamflet dan membagikan
ke semua orang. Menulis coretan di tembok- tembok. Membicarakannya dalam
berbagai pertemuan kelompok. Indonesia sudah merdeka.
PEMBUKAAN
U.U.D 45 DIGUGAT
Seusai proklamasi
dibacakan, 17 Agustus 1945, Hatta masih sempat duduk-duduk dulu,
berbincang-bincang dengan orang-orang, sekitar 30 menit, sebelum langsung
pulang ke rumah.
Sore hari, telepon berdering.
Nishijama pembantu Admiral Maeda. Apakah Hatta bersedia menerima seorang opsir
Kaigun (Angkatan Laut)?. Ada berita yang amat penting. Nishijama akan
menjadi penerjemahnya. Hatta bersedia.
Opsir tersebut membawa kabar dari
wakil Protestan dan Katolik. Mereka saat itu sedang berkumpul di markas Kaigun.
Kata sang opsir, mereka sangat keberatan terhadap bagian kalimat pembukaan UUD
yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Mereka paham bahwa kalimat itu tidak mengikat mereka.
Kalimat itu hanya berlaku bagi yang beragama Islam. Tapi, ketetapan yang
tercantum itu tetap dimaknakan sebagai “diskriminasi” terhadap mereka sebagai
minoritas. Jika “diskriminasi” itu tetap dipertahankan, mereka terpaksa memilih
di luar Republik Indonesia.
Bagi mereka, Pembukaan Undang-
Undang Dasar adalah pokok daripada pokok. Sebab itu haruslah berlaku bagi
seluruh bangsa Indonesia, tanpa kecuali.
Hatta lama termenung. Terbayang
perjuangan selama lebih dari 25 tahun. Segala kenangan penjara dan bayangan
masa-masa pembuangan, berkelebat dan melintas bergantian. Semua itu untuk satu
tujuan: Indonesia Merdeka. Indonesia yang bersatu dan tidak terbagi-bagi.
Apakah Indonesia yang baru saja merdeka akan pecah lagi? Hanya karena perbedaan
yang sebenarnya dapat diatasi bersama. Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di
luar Jawa dan Sumatera akan kembali dijajah Belanda. Tentara Belanda, akan
menggunakan politik pecah belah, devide
et impera. Opsir Jepang yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia itu,
kemudian berbisik, mengingatkan Hatta kembali tentang semboyan, “Bersatu kita
teguh dan berpecah kita jatuh”.
Hatta meminta waktu sehari. Ia
berjanji akan membicarakannya dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Sementara itu, Hatta juga meminta agar sang opsir
menyampaikan pesan Hatta kepada kaum Protestan dan Katolik, untuk bersabar,
mendinginkan hati, dan jangan terpengaruh propaganda Belanda.
TOLERANSI
PEMIMPIN-PEMIMPIN ISLAM
Esok paginya, tanggal 18 Agustus
1945, sebelum sidang Panitia Persiapan dimulai, Hatta mengajak Ki Bagus
Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Hasan dari Sumatera
untuk mengadakan rapat pendahuluan. Membicarakan masalah gugatan
saudara-saudara Protestan dan Katolik. Rapat berjalan singkat, tidak lebih
dari 15 menit. Kesimpulannya, untuk mencegah perpecahan sebagai bangsa, Hatta
dan kawan-kawan bermufakat untuk menghilangkan kalimat yang menusuk hati kaum
Kristiani itu. Dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Mereka
sepakat untuk benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.
Perubahan yang disusun kelima
tokoh tersebut kemudian dibawa ke sidang lengkap PPKI, dan langsung diterima
dengan suara bulat.Tugas PPKI untuk mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 itupun
selesai tuntas.
MELIBATKAN
BERBAGAI UNSUR BANGSA
Rapat PPKI tersebut
bertempat di gedung Road van Indie (Pejambon) dan dihadiri berbagai unsur
bangsa. Beberapa orang yang menjadi anggota dari PPKI tersebut diantaranya
yaitu Mr. Soepomo, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, R. P. Soeroso, Soetardjo
Kartohadikoesoemo, Kiai Abdoel Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto
Iskandardinata, Abdoel Kadir, Pangeran Soerjohamidjojo, Pangeran
Poerbojo, Dr. Mohammad Amir, Mr. Abdul Maghfar, Mr. Teuku Mohammad Hasan, Dr.
GSSJ Ratulangi, Andi Pangerang, A.H. Hamidan, I Goesti Ketoet Poedja, Mr.
Johannes Latuharhary, dan Drs. Yap Tjwan Bing.
Tetapi tanpa sepengetahuan
pemerintah Jepang, anggota PPKI ini ditambah lagi 6 orang yang terdiri dari
Achmad Soebardjo, Sajoeti Melik, Ki Hadjar Dewantara, R.A. A. Wiranatakoesoema,
Kasman Singodimedjo dan Iwa Koesoemasoemantri.
SENJATA
ULAR BERBISA
Pada tanggal 10 Oktober 1945, pasukan
Inggris memasuki Jakarta. Sebagian tentara Belanda ikut menyusup. Di beberapa
kantor yang belum dikuasai Republik, mereka mengibarkan bendera Belanda.
Menunjukkan bahwa kekuasaan Belanda di “Nederlands Indie”, sudah kembali.
Setiap siang, tentara Belanda dengan memakai jeep dan truk berkeliling kota,
patroli. Ada kalanya mereka melepaskan tembakan kepada mobil-mobil pembesar
Indonesia, yang memasang bendera Merah Putih di depan kap mesinnya.
Kadang-kadang tentara Belanda itu meronda sampai keluar Jakarta, misalnya
Klender. Di sana mereka akan diserang rakyat. Terjadilah perkelahian. Belanda
menembak dengan senapan dan dilawan rakyat dengan batu dan botol kosong.
Muwardi, kepala barisan propaganda menganjurkan supaya rakyat mengumpulkan
ular-ular berbisa. Ular itu kelak untuk dilemparkan ke dalam truk-truk Belanda.
Anjuran itu tidak sepenuhnya diikuti rakyat. Menangkap ular berbisa, apalagi
mengumpulkannya, tentu bukanlah pekerjaan mudah.
PERANG
BENDERA
Setelah proklamasi, ada sebagian
tentara Jepang, Kempetai, yang tidak menerima begitu saja. Di kantor-kantor
yang masih diduduki Jepang, bendera Jepang tetap berkibar. Setiap pagi,
para pejuang kita menurunkan bendera Jepang dan menaikkan bendera Merah
Putih.
Siangnya datang tentara Kenpetai,
menaikkan kembali bendera Jepang. Satu jam kemudian, pejuang kita menurunkannya
lagi dan menaikkan kembali Merah Putih. Begitu seterusnya. Akhirnya, sekumpulan
mahasiswa “Ikadaigako”, kedokteran, menemukan siasat cerdik. Setelah bendera
Jepang diturunkan dan bendera Indonesia dipasang, mereka memasang aliran
listrik pada tiang bendera tersebut. Bendera Jepang tidak pernah naik lagi.
Perang bendera selama beberapa minggu itupun berakhir.
PERAYAAN
PELANTIKAN PRESIDEN RI PERTAMA
“Nah,
kita sudah bernegara sejak kemarin. Dan sebuah negara memerlukan seorang
Presiden. Bagaimana kalau kita memilih Soekarno?” Ini
adalah ucapan Otto Iskandardinata. Bung Karno pun menjawab singkat , “Baiklah.” Tepuk tangan pun sontak
bergemuruh di ruang sidang PPKI tersebut.
Sesederhana itu. Maka jadilah
Bung Karno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia. Waktu itu tidak ada
mobil kepresidenan yang mengantar, Bung Karno pulang berjalan kaki.
“Di
jalanan aku bertemu dengan tukang sate yang berdagang di kaki lima”, kata
Bung Karno kepada Cindy Adams, penulis otobiografi Bung Karno, Penyambung Lidah
Rakyat.
Bung Karno memanggil pedagang
yang bertelanjang kaki itu. Iapun mengeluarkan perintah pelaksanaan yang
pertama, sebagai Presiden kepada rakyatnya.
“Sate
ayam 50 tusuk” ujar Bung Karno yang lapar. Waktu berbuka
puasa sudah tiba.
Sate selesai dibakar, Bung
Karno jongkok di pinggir selokan dekat tempat sampah. Sate ayam 50 tusuk tadi
pun dihabiskannya dengan lahap.
Itulah pesta perayaan pelantikan
Presiden RI pertama.
SUMBER :
Mohammad Hatta- Memoir
Penulis:
Mohammad Hatta
Penerbit
: Tintamas Indonesia, 1979
Riwu Ga,
14 Tahun Mengawal Bung Karno
Penulis :
Peter A Rohi
Penerbit
: PT Koran Indonesia Utama, 2004
Bung
Karno, Penyambung Lidah Rakyat
Penulis :
Cindy Adams
Penerbit
: Yayasan Bung Karno, 2007
No comments:
Post a Comment