Minggu 02 August 2020
Oleh : Dahlan Iskan
Senangkah Rudy Ramli melihat
Djoko Tjandra ditangkap? Kelihatannya ia biasa-biasa saja. Tapi peristiwa
penangkapan itu kembali mengingatkannya pada masa lalu. Saat Rudy Ramli
kehilangan banknya: Bank Bali.
Sebenarnya, waktu itu, saat
terjadi krisis 1998, Bank Bali cukup sehat. Tidak termasuk 17 bank yang
dilikuidasi. Tapi krisis ekonomi terus memburuk. Kurs rupiah terus merosot.
Sebagai Dirut dan pemilik Bank Bali, Rudy Ramli berpikir: perlu memperkuat
modal.
Saya kembali menghubungi Rudy
Ramli. Kemarin siang. Sejak Covid-19 saya belum pernah bertemu ia lagi. Padahal
sebelum itu saya sering berbincang santai. Kesehatannya semakin baik. Tidak
lagi kelihatan lesu seperti di seputar peristiwa kehilangan bank itu.
Orang lain hanya kehilangan kartu
kredit atau dompet. Rudy Ramli kehilangan bank! Sekaligus kehilangan istri
–yang belakangan juga terlihat lebih sering dengan Djoko Tjandra.
Rudy awalnya tidak kenal Djoko
Tjandra. Ia hanya tahu Djoko Tjandra itu pemilik grup Mulia –termasuk hotel
Mulia di Senayan, gedung-gedung Mulia, dan pabrik keramik Mulia.
Ia tidak tahu kalau istrinya
ternyata kenal Djoko Tjandra.
Tahunya baru bukan Oktober 1998:
sang istri memberi tahu Rudy Ramli bahwa ada orang mau bertemu suaminya itu.
Namanya: Djoko Tjandra. Rudy tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengatakan
bahwa Djoko Tjandra mau bertemu dengannya.
Waktu itu Rudy dan istri lagi di
Hongkong. Ia lagi harus mencari banyak jalan agar grup usahanya selamat dari
krisis. Terutama Bank Bali. Waktu itu Bank Bali sama sekali tidak kekurangan
likuiditas. Bank Bali justru ingin meminjamkan uang ke antarbank. Dalam keadaan
ekonomi sulit, tidak mudah menyalurkan kredit ke perusahaan.
Tapi Rudy Ramli juga ragu
meminjamkan uang ke bank lain. Maka Rudy pun terus membeli sertifikat Bank
Indonesia. Aman. Di Bank Indonesia uangnya akan terjamin. Begitu juga sikap
bank lain yang kaya likuiditas. Sampai-sampai Bank Indonesia kewalahan. Uangnya
terlalu banyak. Tidak sehat.
Rudy pun terus dihubungi Bank
Indonesia: jangan taruh uang lagi di BI. Rudy disarankan agar menyalurkan
uangnya ke pasar uang. Seorang pejabat tinggi BI memperlihatkan konsep
keputusan BI ke Rudy Ramli. Bahwa uang yang disalurkan ke bank lain juga
dijamin oleh BI.
Maka Bank Bali pun kembali
melayani pinjaman antarbank.
Tapi kecukupan modal beda dengan
likuiditas. Meski likuiditas kuat, modal masih harus diperkuat. Rudy Ramli
memperkirakan ekonomi akan terus memburuk. Modal harus diperkuat. Penilaian
untuk sebuah bank lebih pada kekuatan modalnya. Bukan hanya likuiditasnya.
Itu sudah masa lalu.
Belakangan ini setiap kali saya
bertemu Rudy Ramli setiap itu pula saya lihat kesehatannya kian prima.
"Saya bersyukur diberi kesehatan yang baik," komentarnya. Tapi saya
juga melihat Rudy Ramli kini percaya ilmu hitam. "Orang Barat pun
mempraktikkan ilmu hitam," katanya. "Lihat itu Harry Potter,"
tambahnya.
Dan di saat kehilangan Bank Bali
itu Rudy merasa lagi terkena ilmu hitam. "Luar biasa cara orang mengambil
alih bank saya," ujar Rudy.
Tapi saat mencari tambahan modal
dulu pikirannya masih sangat sehat. Modal harus kuat. Waktu itu ia perlu uang
Rp 1,4 triliun. Agar Bank Bali tetap kuat. Rudy pun mengangkat penasihat
keuangan dari Amerika, JP Morgan. Untuk menggalang investor.
Dalam sekejap JP Morgan bisa
mendapat 20 calon investor serius. Dari 25 investor yang disurati. Di antaranya
adalah Standard Chartered, Citibank, ABN Amro, GE Capital, dan ANG.
Setelah dilakukan seleksi,
terpilihlah tiga yang paling serius: Citibank, ABN Amro, dan GE Capital.
Tiba-tiba Citibank Bank minta bertemu langsung Rudy Ramli. Tanpa JP Morgan.
Pertemuan itu harus di Singapura. Pertemuan di Singapura itu ternyata sangat
menarik. "Citibank berminat mengambil alih credit card Bank Bali dengan
nilai yang amat tinggi," ujar Rudy Ramli kemarin.
Kalau transaksi credit card itu
terjadi Bank Bali tidak perlu tambahan modal lagi. "Citibank mau membeli
dengan Rp 1,5 triliun," ujar Rudy Ramli. Padahal kebutuhan perkuatan modal
Bank Bali Rp 1,4 triliun.
Dan lagi, kalau transaksi unit
kartu kredit seperti itu tidak perlu izin Bank Indonesia. Sedang masuknya bank
asing ke dalam modal bank nasional harus atas persetujuan BI dan BPPN.
"Saya puji kejelian Citibank
melihat bisnis kartu kredit ini. Saat itu kartu kredit Bank Bali terbesar kedua
di Indonesia," kenang Rudy Ramli.
Tapi Rudy Ramli sudah telanjur
mengangkat JP Morgan untuk menangani pencarian investor. Menurut Rudy JP,
Morgan tidak setuju penjualan unit kartu kredit itu ke Citibank. Maka Rudy
Ramli harus menerima investor lain yang sangat serius: GE Capital. Kontrak
dengan GE itu pun di konsultasikan dengan BI dan BPPN: tidak disetujui.
"Alasannya tidak suka saja," ujar Rudy. "Aneh, urusan begini
serius kok dasarnya tidak suka," tambahnya.
Rudy pun menyebut dengan jelas
siapa pejabat BI yang mengatakan itu. Saya saja yang tidak tega menuliskannya.
Investor kedua yang di konsultasikan ke BI dan BPPN adalah bank Belanda, ABN
Amro. Tapi juga ditolak oleh BI.
Menurut Rudy, pihaknya didorong
untuk memilih Standard Chartered. Maka, pada 22 April 1999 Rudy harus
menandatangani kontrak dengan Standard Chartered. Di gedung BI. Di depan
wartawan.
Kontrak itu berlaku untuk masa 3
bulan. Berarti segala pembicaraan harus selesai tanggal 22 Juli 1999. Rudy
Ramli memang keras dalam negosiasi selama 3 bulan itu. Selama tiga bulan itu ia
merasa dalam tekanan yang berat. Pun sampai batas tanggal 22 Juli 1999. Belum
ada kesepakatan yang bisa dilanjutkan dengan penandatangan final.
Keesokan harinya Bank Bali
dinyatakan BTO –Bank dalam Take Over. "Saya merasa ada pihak yang berusaha
agar Bank Bali di BTO. Agar tidak perlu berurusan dengan keluarga Rudy
Ramli," ujarnya.
Rudy pun belakangan baru tahu:
ada surat permintaan BTO itu dari Standard Chartered.
Saat itu Bank Bali masih punya
tagihan ke BPPN: Rp 900 miliar. Itulah uang milik Bank Bali yang dulu
dipinjamkan ke bank lain atas anjuran BI –agar Bank Bali tidak menempatkan uang
lagi di BI.
Untuk menagih yang itulah
sulitnya bukan main. Ada saja alasannya. Termasuk karena Bank Bali dianggap terlambat
melaporkan peminjaman uangnya ke bank lain. Di situlah Djoko Tjandra turun
tangan. Djoko mengaku punya banyak kenalan di dalam pemerintahan. Mulai Jaksa
Agung Baramuli sampai politikus Setya Novanto.
Mereka memberikan gambaran
tagihan itu akan cair dalam 1 minggu. Ternyata tidak. Pun setelah dua minggu.
Karena itu Rudy Ramli tidak mau menyerahkan surat tagihan ke Djoko Tjandra.
Soalnya Djoko Tjandra juga belum memberikan jaminan surat berharga sebesar
nilai tagihan. Kontrak cassie dengan Djoko Tjandra pun berakhir dengan gagal
tagih.
Setelah itu banyak sekali pihak
yang ingin membantu Bank Bali untuk menagihkannya. Masing-masing dengan motif
mendapatkan bagian yang besar.
Suatu saat Djoko Tjandra
menghubungi Rudy Ramli lagi. "Uangnya siap cair, agar surat tagihan
diserahkan," ujar Rudy menirukan pembicaraan saat itu. Benar saja uang itu
masuk Bank Bali. Senilai Rp 900 miliar.
Begitu uang sudah masuk ke
rekening Bank Bali, Rudy Ramli kabur ke luar negeri. Tidak ada yang bisa
mengontaknya. Tapi situasi membuat Rudy Ramli menyerah. Djoko Tjandra minta
bagian Rp 500 miliar. Rudy Ramli tidak berkutik. Ia ingin selamat.
Fee Rp 500 miliar itu pun bocor
ke media. Ribut. Nama Setya Novanto menjadi terkenal untuk kali pertama.
Sebagai orang yang berhubungan erat dengan Djoko Tjandra. Uang itu lantas
dikembalikan ke Bank Bali. Dalam bentuk rekening eskro. Yang tidak bisa
dicairkan siapa saja –menunggu status hukum uang tersebut.
Djoko Tjandra/Setya Novanto tetap
merasa uang itu hak mereka –sebagai tukang tagih. Maka Setya Novanto pun maju
ke pengadilan. Ia menggugat bahwa uang Rp 500 miliar itu miliknya. Pengadilan
mengabulkan gugatan Setya Novanto. Pun sampai tingkat banding dan kasasi. Sejak
itulah orang mengenal Setya Novanto sebagai orang kuat.
Rudy Ramli kehilangan
segala-galanya: Bank, uang tagihan, dan juga istri. Ia lebih banyak terlihat
sebagai orang yang tertekan. Ia pun menjadi percaya ilmu hitam. Termasuk
dalam proses kehilangan semuanya itu.
Tapi kini Rudy Ramli sudah punya
pendamping lagi. Setelah hampir 20 tahun hidup sendiri. "Saya sudah
bersama dia meski sepakat tidak akan kawin," ujarnya. "Kapan-kapan
saya kenalkan ke Pak Dahlan," katanya suatu saat.
Rudy pun menonton TV saat Djoko
Tjandra ditangkap. Juga saat ia tiba di Jakarta dalam keadaan diborgol. Pun
saat diturunkan dari pesawat yang sampai sulit berjalan –saking banyaknya
manusia yang menyambutnya.
Rudy Ramli juga melihat alis
Djoko Tjandra kini tebal. "Mungkin saja disulam. Saya tidak tahu,"
katanya. "Ponakan saya sendiri menyarankan agar saya menyulam alis. Tapi
tidak saya lakukan," katanya.
Rudy pun bersyukur masih sehat
dan bisa hidup bebas. Bagi orang kaya pun alis itu ternyata penting.(Dahlan
Iskan)
No comments:
Post a Comment