Oleh Dahlan Iskan
Sabtu, 25 Mei 2019 – 04:04 WIB
jpnn.com -
Saya naik taksi. Kemarin. Tanpa tujuan.
"Muter-muter
saja. Sambil menunggu salat Jumat," kata saya kepada sopir.
Nama
sopir ini Sorong DM. Kata 'sorong' diambil dari nama kota di Papua Barat.
Tempat ayahnya bertugas. Sebagai TNI AL.
Saat
Sorong lahir ayahnya sedang bertugas di Sorong. Sedang DM singkatan dari
Darmojo. Menandakan ia orang Jawa. Dari Solo.
"Muter
ke mana?" tanya Pak Sorong.
"Terserah,"
jawab saya.
Saya
memang hanya ingin mencoba taksi ini: taksi listrik. Yang pertama di Jakarta.
Dioperasikan oleh Blue Bird. Sejak Hari Kebangkitan Nasional, Senin 20 Mei
lalu.
Hari
itu saya ingin merayakan Hari Kebangkitan Nasional dengan cara naik mobil
listrik impor. Hari Senin itu saya mencoba menghubungi call center Blue Bird.
Berhasil, tetapi gagal mendapatkan taksinya. "Kami tidak bisa menjanjikan
jam berapa bisa melayani bapak," ujar petugas call center.
Keesokan
harinya saya terima WeChat dari Bung Joko Intarto. Ia tidak bisa pakai WA hari
itu. Lagi dikendalikan pemerintah.
Namun
kami sudah biasa pakai WeChat. "Saya menang 1-0," tulis Joko Intarto.
"Tadi saya sudah naik taksi listrik," tambahnya.
Saya
pun mengaku kalah. Lalu minta tolong agar dipesankan taksi itu untuk keesokan
harinya.
Saya
diminta telepon sendiri. Ke sopir itu. Ke nama itu. Nomor teleponnya:
+6285215103008.
Beres.
Blue
Bird baru punya 25 unit mobil listrik. Mereknya BYD. Produksi Hangzhou, ibu
kota Provinsi Zhejiang. Satu provinsi dengan pabrik mobil Geely.
Secara
fisik mobil BYD ini sempurna sekali. Tidak ada bedanya dengan sedan biasa.
Kelas taksi ini secara fisik sejajar dengan Toyota Camry. Saya sudah biasa naik
taksi listrik. Di Tianjin. Atau Chengdu.
Karena
itu pertanyaan saya langsung saja: hari pertama pegang mobil listrik apa yang
paling Anda khawatirkan?
Pak
Sorong pun sama: takut kehabisan listrik di jalan. Lebih takut lagi: belum ada
tempat charging umum di Jakarta.
Pak
Sorong rupanya tidak tahu di PLN Gambir sudah menyediakan itu. Dulu.
"Sekarang
sudah tidak khawatir lagi," ujar Pak Sorong. "Sudah biasa,"
tambahnya.
Jumat
kemarin itu, misalnya. Pak Sorong berangkat dari pool di Blue Bird pukul 7
pagi. Ia langsung ke Bandara Soekarno-Hatta. Tanpa penumpang. Ingin cari
penumpang di bandara.
Pak
Sorong sudah diberitahu manajemen: mobil listrik tidak perlu antre. Bisa
langsung ambil penumpang.
Pak
Sorong dapat penumpang dengan tujuan Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Mengantar orang Balikpapan. Yang akan ke Pesantren Darunnajah. "Saya akan
menjemput putri saya yang sekolah di Darunnajah," ujar Pak Dimas,
pengusaha properti dari Balikpapan itu. "Untuk liburan lebaran di
Balikpapan," tambahnya.
"Saya
pilih taksi listrik karena ingin mencoba," ujar Pak Dimas, pemilik PT
Bulan Bintang Abadi.
Kemarin
itu saya memang lama menunggu kedatangan Pak Sorong. Yang sudah janjian pukul
09.00.
Namun
saya persilakan saja Pak Sorong melayani penumpangnya itu dulu. Sampai selesai.
Hanya
saja saya minta bisa bicara dengan penumpangnya itu. Pak Dimas itu. Yang
ternyata ia kenal saya.
Dari
Ulujami itulah pak Sorong menjemput saya di SCBD Jakarta. Tanpa penumpang. Lalu
muter-muter bersama sejauh lima kilometer: SCBD-Monginsidi-Semanggi-SCBD.
Begitu
turun dari taksi, saya lihat listriknya: masih 74 persen. Pak Sorong kelihatan
tenang. Dari jam 7 pagi sampai jam 10 baru menghabiskan 26 persen listrik.
"Kekhawatiran
kehabisan listrik di jalan sudah hilang sama sekali," ujar Pak Sorong yang
mengaku seorang mualaf. Pun selama lima hari ini. Pak Sorong selalu masih
menyisakan 40 persen listrik. Saat ia kembali ke pool. Padahal ia menjalankan
taksinya sejak pukul 7 pagi sampai 11 malam.
"Teman
saya juga sudah mengantar penumpang dari Jakarta ke Cilegon. Pulang-pergi.
Ternyata tidak sampai 60 persen," katanya.
Sebenarnya
ia masih punya satu kekhawatiran lagi. Namun juga sudah hilang: yakni saat
melintasi rel kereta api.
"Ini
kan mobil listrik. Saya dengar mobil yang melintasi rel itu bisa
kesetrum," katanya.
Waktu
pertama melintasi rel di Kemayoran Pak Sorong sengaja berhenti dulu. Agar
mobil-mobil di depannya melewati rel dulu. Pak Sorong punya ruang untuk
melintas dengan cepat.
Ternyata
aman. Sejak itu ia tidak khawatir lagi.
Saya
juga pernah punya satu kekhawatiran. Saat saya mengendarai Tesla. Di musim
hujan. Ketika air di jalan di depan rumah saya menggenang cukup dalam.
Saya
masuki genangan itu. Ternyata tidak apa-apa. Saya ceritakan pengalaman saya itu
ke Pak Sorong. Ia berterima kasih. Bisa lebih tenang. Ia belum pernah mengalami
berhadapan dengan genangan air di jalan.
Sebagai
anak ke 10, Pak Sorong hanya punya anak satu. Putri. Lulusan Gadjah Mada.
Jurusan hubungan internasional.
Anak
itu kini sudah bekerja di perusahaan swasta.
Pak
Sorong sendiri lulusan D3 akuntansi di Jakarta selatan. Lalu bekerja di pabrik
pembuatan alat-alat pengeboran minyak di Batam. Lebih 10 tahun bekerja di sana.
Mendapatkan
istri pun di Batam. Ketika perusahaan itu ikut krisis di tahun 1998 Pak Sorong
terkena PHK.
Ia
mencoba usaha sendiri. Di banyak bidang. Mulai percetakan sampai kirim TKI.
Gagal semua.
"Mungkin
sudah terbiasa bekerja ikut orang. Tidak bisa jadi pengusaha," katanya.
Akhirnya
ia berlabuh di Blue Bird. Sebagai sopir. Sejak hampir 10 tahun lalu. Mobil
listrik sudah hadir. Sambutannya biasa-biasa saja. Tidak ada charging umum.
Tidak ada parkir istimewa. Tidak ada nomor khusus. Tidak ada fasilitas istimewa
seperti di negara yang gila green energy.
Kita,
alhamdulillah, tidak gila.(###)
No comments:
Post a Comment