Ambillah Tiongkok memang benar mencuri teknologi
maka bagi AS untuk mengatasi hal ini sangat mudah. Tinggal buktikan saja
didepan pengadilan dan tuntut Tiongkok untuk membayar lunas semua paten yang
dilanggar, gampang sekali 'kan? Apalagi AS 'kan gudangnya ahli hukum (lawyer)
kelas dunia, kurang apalagi? Jika AS menempuh jalan ini ada banyak keuntungan
diperoleh, Tiongkok akan jatuh namanya karena terbukti mencuri dan AS akan
menerima banyak uang sebagai ganti rugi paten yang dilanggar. Disinilah kita
harus kritis, mengapa AS tidak menempuh jalan hukum yang begitu mudah ini?
Namun memilih untuk sekedar berpolitik? Penjelasan rasional yang paling mudah
adalah AS tidak memiliki bukti bahwa terjadi pencurian teknologi oleh Tiongkok.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana fenomena ini dapat dijelaskan?
Untuk mendapatkan jawaban ini kita perlu terlebih
dahulu memahami perkembang-an teknologi Tiongkok yaitu bahwa ada beberapa
bidang teknologi dimana Tiongkok mandiri dari Barat. Sebagai contoh, Kereta
Cepat (High-Speed Train), Teknologi Konstruksi, 5G, Space Technology, Railgun
Technology, AI, Electric Car, Renewable Energy, Hydrogen Bomb and Thermonuclear
yang diluncurkan tahun 1964 - 1967, pada saat Tiongkok masih di-embargo Barat.
Disini perlu kita perhatikan hal-hal sbb yaitu:
Pertama, Apa
perlunya Tiongkok susah-susah mencuri? Jika Tiongkoklah yang memimpin (world
leader) dibidang teknologi tsb? Misalnya untuk Teknologi 5G, Railgun,
High-Speed Train, Renewable Technology, AI dan Mobil Listrik.
Untuk 5G, Tiongkok sepenuhnya mandiri, Barat
sendiri belum mampu membuat IC 5G dan komponen untuk antena 5G. Oleh karena
Huawei memdominasi patent 5G dan semua proyek pembangunan jaringan 5G. (Elizabeth
Woyke, "China is Racing Ahead in 5G. Here's What That Means," MIT
Technological Review, December 18, 2018;
/s/612617/china-is-racing-ahead-in-5g-heres-what-it-means/).
Demikian juga dengan Railgun yang teknologinya jauh
lebih modern daripada Railgun AS. Menurut analis militer, Railgun Tiongkok
dapat merontokkan kapal induk AS dalam jarak 150 km dari pantai. Tiongkok
begitu maju dalam Railgun Technology ini karena teknologi elektromagnetik-nya
jauh lebih canggih daripada Barat (Jamie Seidel, "China's World First:
Electromagnetic Railgun Goes to Sea," , news-story/
6e31d167e88308f59ec9633 ef1e867b; Josh K. Elliott, "Why China's Miracle
Railgun Weapon Should Scare the US Navy," Global News, January 3, 2019;
news/ 4810853/china-railgun-warship-weapon/)
Tiongkok adalah yang terdepan di dunia ini dalam
Teknologi Kereta Cepat. Sampai hari ini, AS tidak memiliki sebuah kereta
cepatpun, sedangkan Tiongkok memiliki jaringan kereta cepat yang melayani
seluruh kota besar yang ada (Agence France Presse, "China First in the
World for High-Speed Train," The Jakarta Post, July 4, 2019;
life/2019/07/03/china-first-in-the-world-for-high-speed-trains.html).
Demikian juga untuk AI (Artificial Intelligent),
mega investasi yang bernilai multi-milyar dollar US menyebabkan Tiongkok yang
terdepan dibidang ini (Amy Webb, "China is Leading in Artificial
Intellegence," 201809/amy-webb/china-artificial-intellegence.html; James
Vincent, " China is about to overtake America in AI Research." The Verge,
March 19, 2019; Louis Columbus, " How China is Dominating Artificial
Intellegence." Forbes, December 16, 2018)
Untuk Enerji Terbarukan (Renewable Energy) ini
adalah enerji masa depan. Pada saat perkembangan enerji terbarukan di Barat
terhambat karena lobby politik perusahaan minyak. Tiongkok justru memimpin
kemajuan di bidang ini (Dominic Dudley, "China is Set to Become the
World's Energy Superpower," Forbes, January 11, 2019; Dominic Chiu,
"The East is Green: China's Global Leadership in Renewable Energy,"
CSIS Report, e-energy)
Demikian juga dengan Teknologi Mobil Listrik.
Teknologi ini adalah masa depan industri mobil. Saat ini kemajuan teknologi
mobil listrik di Barat stagnan. Kini Tiongkoklah yang terdepan didunia ini (Bloomberg
Businessweek, " China is Leading the World to an Electric Car
Future," November 15, 2018; Alex Thornton, "China is Winning the
Electric Vehicle Race," World Economic Forum, 04 February 2019;)
Kedua,
Bagaimana Mungkin Tiongkok Mencuri Teknologi Jika Saat Itu Tiongkok diembargo
dan di-isolasi oleh Barat? Misalnya, Teknologi Bom Hydrogen dan Bom Nuklir?
Untuk Hydrogen Bomb (UPI Archives, "China Fires H-Bomb," June
17, 1967; "China First Hydrogen Test Successful, 1967")
Untuk Persenjataan Nuklir, Tiongkok adalah yang
terbaik, bahkan melewati AS dan Russia, dalam Teknologi Persenjataan Nuklir (lihat,
Alex Lockie, "We Ranked the World's Nuclear Arsenals. Here's Why China
Came Out on Top." Business Insider, January 25, 2019).
Ketiga, Apabila
Tiongkok Mencuri Teknologi, pasti teknologinya jauh lebih buruk dibandingkan
Barat. Bagaimana mungkin bisa mendominasi hak Paten Teknologi? Paten diajukan
untuk penemuan produk & teknologi baru dari segi ini Barat telah tertinggal
oleh Tiongkok.
World Intellectual Property Organisation melaporkan
bahwa untuk tahun 2017 dari 3.17 juta paten yang diterbitkan. Paten dari
Tiongkok ada 1.38 juta (43.53%) sedangkan AS 607,000 (19.14%), Jepang 318,000
(10.03%), Korea Selatan 205,000 (6.46%). Baru disusul Uni Eropa 167,000
(5.26%). Data ini menunjuk kan bahwa selain dominasi teknologi Tiongkok; juga
dominasi Asia karena dari 3 negara Asia Timur tsb sudah mendominasi 58.82%
paten teknologi. Jika dilihat Asia secara keseluruhan ada 65% dari total paten.
Sedangkan AS dan Eropa hanya 24.40%, jadi kini penemuan teknologi didominasi
Asia, bukan oleh Eropa dan AS. Trend seperti ini stabil sejak tahun 2011 yl.
Ini membuktikan bahwa Asia telah bangkit dan telah mendominasi teknologi ("China
Continues to Dominate Worldwide Patent Applications" Engineering and
Technology, December 4, 2018; Barney Thompson and Nian Liu, "China Leads
the Way in Legal Technology Patents," Financial Times, 17 February 2019;
IPPro, "China is Overtaking the US as the World's Largest Innovator,"
20 November 2018, specialistfeatures/
specialistfeature.php?specialist_id=26).
Keempat, Menurut
intelektual dan akademisi Barat yaitu Joseph Needham, seorang ilmuwan yang
terhormat (well-respected) dari Cambridge University, UK. Penulis ensiklopedia
Science and Civilization in China. Needham menulis bahwa: "Tiongkok adalah
Peradaban Sains dan Teknologi (Science and Technology Civilization). Masyarakat
Tiongkok sangat menghargai proses belajar, studi dan meneliti, sehingga mereka
memiliki kemampuan mengembangkan sains dan teknologi secara mandiri."
Tulisan Needham ini menjelaskan mengapa pada saat diisolasi/diembargo Barat.
Kemajuan teknologi Tiongkok untuk industri dasar, hydrogen dan nuklir tetap
melaju kedepan secara mengesankan.
Lebih lanjut, Needham menulis bahwa kompas, jam
(penunjuk waktu), mesiu, senjata api (senapan, meriam, dinamit, roket, dsb),
crossbow, astronomi, kertas, uang kertas, bank, bank cheque, teknik percetakan,
seismograph - alat pengukur gempa. Saat itu kaisar Tiongkok sudah bisa
mengetahui kapan terjadi gempa, seberapa besar gempa tsb dan dimana lokasi
gempa sehingga bisa cepat mengirim bantuan. Menarik bahwa seismograph modern
masih tetap meng-gunakan prinsip teknologi yang sama dengan seismograph
Tiongkok kuno. Serta masih banyak lagi seperti kincir air, irigasi, matematika,
dsb. Seluruh teknologi ini telah biasa digunakan di Tiongkok dijaman dinasti
Tang. Baru 1000 tahun kemudian diperkenalkan di Barat oleh rahib Jesuit, yang
waktu itu ber -kunjung ke Tiongkok, menjadi tamu kaisar dan diijinkan belajar
tekonologi Tiongkok. Jadi menurut Needham, Baratlah yang terlebih dulu belajar
teknologi dari Tiongkok. Kehadiran teknologi Tiongkok di Eropa mendorong
terjadinya Pencerahan (rennaisance) yang merupakan titik awal bangkitnya
liberalisme dan humanisme, yang kemudian mendorong kebangkitan Eropa (Joseph
Needham, Science and Civilization in China, Cambridge University Press, 2015).
Jika kita meminjam nilai-nilai liberal Barat,
fairness, justice, gentleman, ethics dsb yang selama ini dijunjung tinggi dan
dibanggakan oleh dunia Barat. AS semestinya membayar lunas semua paten
teknologi Tiongkok yang digunakannya terlebih dahulu. Barulah AS bisa klaim
pencurian teknologi oleh Tiongkok. Jika hal ini dilakukan maka AS tidak akan
lagi mampu tegak berdiri, limbung karena bangkrut.
Selama bertahun-tahun para petinggi di Washington
meremehkan (underestimate) Tiongkok. Mereka terjebak kedalam paradigma yang
diciptakan sendiri; bahwa Tiongkok dikuasai rejim komunis yang otoritarian,
bahwa rakyat Tiongkok menderita dibawah pemerintahan otoritarian, bahwa dengan
kemajuan ekonomi yang terjadi, rakyat Tiongkok akan bangkit dan menuntut
demokrasi, jika tuntutan demokrasi ini terjadi maka rejim komunispun tumbang
dan Tiongkok - pun menjadi demokrasi liberal seperti Barat. Ditambah lagi untuk
politisi dari kubu White-Supremacy, Tiongkok adalah non-Caucasian jadi secara
budaya, moral dan kecerdasan sangat rendah, jadi tidak mungkinlah bisa
berkembang menyaingi AS, dsb.
Ini adalah asumsi yang sepenuhnya irasional; oleh
karena tidak didasarkan pada data dan studi kontemporer (contemporary studies)
yang mendalam pada struktur sosial-politik Tiongkok. Namun hanya didasarkan
pada persepsi "sebagai orang luar terhadap komunisme Tiongkok."
Akibatnya seperti intelektual AS Gordon Chang yang laris dan disukai para
petinggi Washington. Gordon sejak tahun 2005 yl selalu memprediksikan bahwa
rejim politik dan ekonomi Tiongkok akan runtuh dan prediksinya selalu keliru.
Sekalipun selalu keliru, Gordon tetap digandrungi para petinggi Washington
karena Gordon berceritera apa yang ingin didengar oleh para petinggi
Washington, bukan apa yang sebenarnya terjadi. Akibatnya, kebijakan Washington
terhadap Tiongkok tidak pernah efektif, bahkan sepenuhnya tidak tepat sehingga
Washington gagal menghentikan kemajuan Tiongkok. Puncak dari kegagalan
Washington ini adalah perang dagang baru saja berlalu.
Frustasi menghadapi Tiongkok, langkah paling mudah
adalah melancarkan hoax politik "mencuri teknologi" dengan tujuan
membentuk persepsi dan opini publik AS dan dunia bahwa Tiongkok adalah negara
inferior dengan tingkat kecerdasan rendah, bermoral rendah, bisanya cuma
mencuri. Sedangkan AS adalah sang adikuasa yang superior, pembela demokrasi dan
HAM, sumber ilmu dan teknologi; yang telah mejadi "korban" kejahatan
Tiongkok.
Hoax politik ini sangat jitu dalam menenangkan
publik AS atas rontoknya superioritas teknologi AS oleh Tiongkok. Gambaran
bahwa AS adalah "korban" kejahatan dan kelicikan Tiongkok cukup
meyakinkan kaum White Supremacist dan dapat menenangkan kemarahan kaum buruh
dan para penganggur korban PHK karena relokasi industri ke Tiongkok. Film yang
dibuat Peter Navarro, "Death by China" menggambarkan dengan jelas
upaya politik ini. Tiongkok menjadi kambing hitam kegagalan kebijakan ekonomi
AS sehingga sektor manufaktur dalam negeri rontok, hutang menumpuk,
pengangguran meningkat, produktivitas nasional menurun dan AS menjadi sangat
konsumtif yang mengakibatkan defisit perdagangan meledak semua ini berujung
pada meningkatnya angka kemiskinan. Kini jauh lebih banyak jumlah orang miskin
di AS daripada di Tiongkok. Pada tahun 2017 yl UN Rapporteur Philip Alston
berkunjung ke AS untuk meneliti kemiskinan yang terjadi dan dia melapor-kan ada
sejumlah 51 juta orang yang dikategorikan sebagai on extreme poverty (Ed
Pilkington,"The UN Rapporteur on Extreme Poverty in America," The
Guardian, 1 December 2017). Pada tahun yang sama jumlah orang miskin di
Tiongkok tinggal 9 juta dan Xi mentarget-kan bahwa ditahun 2020 kemiskinan tidak
ada lagi di Tiongkok.
Semua ini hanyalah mentalitas pihak yang kalah (the
loser mentality). Tidak akan menolong AS untuk memperbaiki dirinya. AS bagaikan
atlit yang kalah bertanding kemudian sibuk menyalahkan lawannya (Tiongkok) dan
wasitnya (WTO).
"Sebagai
akhir kata, data diatas menunjuk dengan jelas bahwa kini Asia memimpin dunia
dalam Inovasi Teknologi sehingga langkah Asia memasuki abad 21 adalah dengan
tegap. Fajar telah merekah di Asia, yang dulu adalah budak dan jajahan Barat.
Akhirnya semua kembali kepada kita, Apakah kita akan menoleh ke Timur dimana
fajar merekah dengan indah? Ataukah tetap terpaku ke Barat untuk menyaksikan
matahari terbenam? Apakah kita akan ikut berderap bersama para tetangga
memasuki abad Asia sambil memberi warna Indonesia? Ataukah kita memilih sibuk
bertengkar masalah Suku, Ras, Agama dan Politik? Langkah apapun yang kita ambil
adalah pilihan kita sendiri"
No comments:
Post a Comment