SUMANTO AL
QURTUBY ; Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd
University of Petroleum & Minerals; dan Kontributor Middle East Institute,
Washington DC
KOMPAS, 3
September 2021
Sejumlah
kelompok agama dan elite politik di Indonesia tampak kegirangan dengan
keberhasilan milisi Taliban mengontrol dan mengambil alih kekuasaan di
Afghanistan.
Mereka juga
mendesak Pemerintah RI untuk segera mendukung rezim Taliban. Entah apa yang ada
di benak mereka. Padahal, Taliban memiliki sejarah dan reputasi sangat buruk
dalam menjalankan roda kepolitikan dan pemerintahan yang membuat rakyat
Afghanistan ketakutan dan hidup dalam penderitaan lahir-batin.
Fakta bahwa
ratusan ribu warga Afghanistan mencoba kabur dari negara mereka sejak Taliban
mengambil alih kekuasaan menunjukkan apa atau siapa “jati diri” Taliban
sesungguhnya. Jelas bahwa rakyat Afghanistan trauma terhadap rezim
Islamis-fundamentalis Taliban saat lima tahun (1996-2001) berkuasa, yang penuh
dengan kebiadaban dan ketidakmanusiawian. Dengan jatuhnya kembali Afghanistan
ke tangan Taliban, mimpi buruk dan drama horor terbayang di depan mata mereka.
Selama
kekuasaan rezim Taliban yang disokong Pakistan dan Al Qaeda, Afganistan (oleh
Taliban diberi nama Emirat Islam Afghanistan) menjelma jadi “neraka” dunia
mengerikan. Bahkan Korea Utara jauh lebih baik ketimbang Afghanistan di masa
Taliban. Kemiskinan, kelaparan, dan malnutrisi merajalela. Kekerasan demi
kekerasan tak pernah berhenti. Perang sipil antarfaksi Islam dan kelompok suku
terus berkecamuk.
Pembantaian
warga terjadi di mana-mana, bukan hanya terhadap kelompok minoritas etnis dan
agama saja (misalnya, kelompok Syiah Hazara) tetapi juga terhadap siapa saja
dan kelompok mana saja yang mereka anggap dan cap rival dan musuh pengganggu
kekuasaan.
Penting
untuk dicatat, rezim Taliban bukan hanya melakukan genosida atas manusia tetapi
juga atas produk-produk spiritual-kebudayaan mereka (oleh Raphael Lemkin
disebut “cultural genocide”) seperti aneka ragam karya seni, monumen
bersejarah, peninggalan kepurbakalaan, atau bahkan bangunan tempat peribadatan
karena dicap kafir-sesat, berpotensi menyekutukan Tuhan, tidak religius, atau
dianggap menodai kemurnian akidah dan ajaran fundamental Islam yang mereka pegang
dan yakini.
Selama
berkuasa, rezim Taliban mengunci atau menggembok Afghanistan dari dunia luar.
Mereka juga menolak bantuan makanan PBB untuk jutaan warga yang kelaparan.
Mereka melarang media dan berbagai aktivitas publik yang dianggap berpotensi mengganggu
kekuasaan. Berbagai aktivitas seni-budaya diharamkan termasuk musik, fotografi,
lukisan, film, tarian, dan sebagainya.
Kaum
perempuan jadi obyek paling mengenaskan. Mereka harus berpakaian tertutup rapat
dari ujung kaki hingga ujung kepala, tak boleh pergi ke tempat umum sendirian
tanpa ditemani muhrim (biasanya anggota keluarga), dilarang bekerja di sektor
publik (kecuali dokter atau perawat untuk melayani pasien perempuan karena
petugas medis laki-laki tak boleh menangani pasien perempuan), anak perempuan
dilarang sekolah. Dan masih banyak lagi kisah pilu mereka. Jika melanggar
aturan, mereka akan dihukum cambuk di hadapan publik.
Taliban
juga menerapkan kebijakan scorched earth, yakni sebuah strategi untuk
menghancurkan aset apa saja (kawasan, fasilitas publik, sumber-sumber ekonomi,
industri, dan lainnya) yang dipandang memberi manfaat pihak lawan.
Karena itu
jangan heran kenapa ketika Taliban berkuasa mereka memusnahkan banyak kawasan
subur dan membakar rumah-rumah dan perkampungan penduduk. Ketika kekuasaan
rezim Taliban rontok tahun 2001 karena digempur tentara AS setelah tragedi
terorisme 9/11, kekerasan yang mereka lakukan tak serta-merta berhenti.
Berbagai
aksi pengeboman dan terorisme keji untuk menggoyang pemerintah terus mereka
lancarkan tanpa henti selama 20 tahun (2001–2021), memakan korban ribuan nyawa
dan kerusakan fisik tak terhingga.
Sasaran
terorisme (biasanya berupa aksi bom bunuh diri) bukan hanya aparat keamanan
atau kantor pemerintahan, tetapi bisa siapa saja (warga sipil, jurnalis,
anak-anak, perempuan, dan sebagainya) dan apa saja (termasuk madrasah dan
masjid). Mereka disinyalir juga jadi pelaku pengeboman di area kerumunan massa
yang ingin kabur di kompleks bandara Kabul.
Nafsu kekuasaan
Kenapa
Taliban menerapkan politik totalitarian dan membabi buta yang membuat
Afghanistan kian terperosok dan porak-poranda? Jawabannya sangat simpel. Karena
mereka tak mengerti cara memimpin warga yang majemuk dan memerintah sebuah
negara. Mereka tidak memiliki pengetahuan, wawasan, strategi, dan skill untuk
memerintah dan mengelola sebuah negara-bangsa. Hanya nafsu kekuasaan yang
mereka miliki.
Akhirnya,
untuk mengontrol ketaatan publik serta membuat warga tunduk dan patuh, yang
bisa mereka lakukan hanya meneror dan menakut-nakuti warga dengan berbagai
peraturan dan hukuman keras atas nama “penegakan syariat Islam”. Jadi Taliban
pada dasarnya adalah “para bandit berjubah agama.”
Taliban
memang bukan kelompok cerdik-cendikia yang berwawasan luas tentang seluk-beluk
ilmu pemerintahan, kepolitikan, perekonomian, atau kebudayaan.
Dalam
sejarahnya, Taliban adalah sebuah gerakan politik-agama yang terdiri dari
kumpulan murid/alumni madrasah (taliban berarti murid/ siswa) yang berafiliasi
ke sekolah-sekolah Deobandi (tersebar di berbagai daerah di Asia Selatan) yang
bercorak literalis-revivalis-konservatif yang sangat ketat, rigid,
closed-minded dan ekstrem dalam memahami, menafsirkan, dan mempraktikkan teks,
wacana dan ajaran keislaman.
Baca juga :
Tak Ada Hitam Putih di Afghanistan
Lebih jelasnya,
kelompok atau gerakan Taliban adalah kombinasi antara ajaran Islam
revivalis-konservatif ala Deobandi, ideologi militan Islamisme ala Al Qaeda,
dan norma sosial Pasthunwali, yakni gaya hidup tradisional masyarakat Pasthun
karena mayoritas Taliban memang dari suku/etnik Pasthun.
Taliban
dibentuk tahun 1994 oleh Muhammad Umar (1960-2013, dikenal sebagai Mullah
Umar), mantan siswa madrasah Deobandi dan bekas milisi Mujahidin dalam perang
Afghanistan - Soviet (1979–1989), yang kala itu baru berumur 34 tahun.
Taliban
berhasil menguasai panggung kekuasaan Afghanistan setelah berhasil memanfaatkan
situasi chaos dan konflik internal antar-faksi Islam lantaran kegagalan elite
politik-agama Afghanistan capai kesepakatan pemerintah koalisi nasional
pasca-hengkangnya Tentara Merah Soviet.
Konflik
internal antarkelompok Islam dan elite politik-agama itu kemudian memicu
meletusnya perang sipil mahadahsyat yang membuat Afghanistan untuk kesekian
kali hancur lebur. Sekitar enam faksi Islam (Hizbul Islam Gulbuddin, Jamiat
Islami, Ittihad Islam, Harakat Inqilab Islam, Hizbul Wahdat, dan Junbish Milli)
saling berebut kekuasaan, saling mengkhianati, saling membunuh, dan saling
memerangi.
Padahal,
kelompok radikal Islamis ini (dengan dukungan AS) dulu bersatu-padu sebagai
“pejuang mujahidin” melawan tentara Soviet. Begitu Soviet berhasil dipukul
mundur, mereka sendiri yang ironisnya saling gempur demi kekuasaan.
Di saat
Afghanistan kacau-balau dilanda perang sipil itulah, milisi Taliban muncul
sebagai “kuda hitam” yang berhasil merangsek, mengontrol, dan menguasai dua
pertiga wilayah Afghanistan dan mendeklarasikan diri pemerintahan baru dengan
nama Emirat Islam Afghanistan tahun 1996.
Apakah
dengan pendeklarasian pemerintah oleh Taliban ini dengan sendirinya perang
sipil berhenti? Tentu saja tidak. Perang sipil antarkelompok (termasuk “Aliansi
Utara” yang dibentuk warlord Ahmad Shah Massoud yang terdiri dari koalisi
sejumlah kelompok etnis seperti Uzbek, Tajik, Hazara, Turki, Pasthun) terus
berlanjut dan berkecamuk.
Mewaspadai “Indonistan”
Jadi,
cerita elite Taliban yang sekarang dianggap mengkhianati klausul/kesepakatan
perjanjian damai dengan pemerintah Afghanistan (dan pemerintah AS) bukan hal
baru. Cerita pendongkelan/pengambilalihan kekuasaan yang kini Taliban lakukan
setelah 20 tahun bergerilya juga bukan cerita baru. Ini hanya kisah lama yang
kembali terulang.
Siapapun
yang mempelajari sejarah Afghanistan akan tahu negeri di kawasan Asia Tengah
dan Asia Selatan ini diwarnai konflik, perang, dan perebutan kekuasaan bukan
hanya dengan kelompok luar (non-Afghanistan), tetapi juga dengan sesama
kelompok sosial di Afghanistan.
Aksi saling
jegal, saling bunuh, dan saling memerangi antarkelompok, baik kelompok agama,
ideologi, etnis, suku, klan, keluarga, maupun daerah (misalnya Afghanistan
utara vs selatan) sudah lumrah terjadi. Jauh sebelum munculnya kelompok Islamis
di panggung politik Afghanistan, kelompok-kelompok sosial lain sudah saling
baku hantam demi kekuasaan.
Pelajaran
apa yang bisa kita petik dari “drama horor” Afghanistan dan rezim militan
Taliban? Satu hal yang tak boleh diabaikan: jangan meremehkan dan membiarkan
kelompok agama berhaluan radikal-konservatif.
Meski
awalnya kelompok ini barang kali hanya bergerak di wilayah non-politik
(dakwah-keagamaan, moralitas publik, akidah/teologi, dan sebagainya), jika ada
kesempatan, peluang, sokongan, dan dukungan pihak luar, mereka bisa menjelma
jadi kelompok militan agama-politik yang kejam, ekstrem, dan radikal dalam
menjalankan paham kepolitikan dan keagamaan.
Baca juga :
Talibanisasi dan Kontestasi Perempuan
Anggota
Taliban mungkin tidak ada di Indonesia. Tetapi umat Islam yang berhaluan,
berwawasan, bermental, dan berpola-pikir ala Taliban cukup banyak populasinya.
Mereka menyelinap dan tersebar di parpol, ormas, institusi pendidikan, lembaga
dakwah, dan bahkan pemerintah.
Oleh karena
itu, pemerintah dan masyarakat yang peduli dengan masa depan perdamaian,
toleransi, dan kebinekaan bangsa dan negara Indonesia perlu waspada dengan
gerak-gerik mereka. Aparat hukum dan aparat keamanan juga jangan sampai lengah.
Jika tidak hati-hati dan tidak ditangani dengan tegas dan saksama, bukan tidak
mungkin, mereka kelak bisa menjelma menjadi “Taliban Indonesia” dan menyulap
negara ini menjadi “Indonistan”. ●
Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/03/taliban-afghanistan-dan-indonesia/
No comments:
Post a Comment