APAKAH KITA BANGSA YANG XENOPHOBIA ???
Penulis: Emmy Hafild
Judul ini saya tulis sebagai renungan saya dalam perjalanan Jkt-Bdg-Jkt dengan KA, setelah berdialog dengan Presiden beberapa waktu lalu. Dari dialog tersebut, terlihat sangat jelas, beliau sangat menginginkan agar kita, bangsa Indonesia, bisa lompat ke depan dua tiga langkah untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, terutama negara berkembang Asia.
Beliau bercerita dialog nya dengan Emir Kuwait,
UAE , PM RRC dan PM Singapura. Dialog itu terfokus pada bagaimana dalam waktu
singkat, negara-negara tersebut mampu menyamai negara maju dalam bidang
industri, IT, pengelolaan pelabuhan, airport, bank, penerbangan, bahkan
universitas. Ternyata kuncinya adalah: negara-negara tersebut
membuka dan mengundang asing untuk masuk dengan membawa tidak hanya modal, tapi
juga keahlian dan teknologi, artinya membawa juga tenaga asingnya.
Waktu Presiden Jokowi bertanya, mengapa asing
dipersilahkan masuk dan bekerja di negara Anda, bahkan memimpin universitas?
Jawabannya sama: negara-negara tsb sudah 200 tahun meninggalkan kita, oleh
karena itu seharusnya kita belajar dari mereka baru kemudian kita ambil alih
dan tinggalkan mereka. Sekarang negara-negara yang tadinya miskin dan
tertinggal itu adalah negara-negara yang maju di bidangnya masing-masing.
Tahun 60-an, negara-negara Teluk adalah negara
miskin, namun sekarang menjadi negara maju kelas dunia. Demikian juga Singapura
dan kita selalu satu langkah di belakang Malaysia.
Universitas di Singapura sudah masuk 25 besar
dunia, padahal 20 tahun lalu, universitasnya belum dikenal dunia. Demikian
juga China..pelabuhannya sekarang jadi pelabuhan paling canggih dan paling
efisien sedunia.. hanya dalam waktu 20 tahun.
Presiden gelisah, karena dia ingin berbuat tetapi
bangsa ini terbelenggu dengan sensitivitas terhadap asing dan rawan diplintir
jadi issu politis. Keinginan untuk berbuat agar kita lompat dua tiga langkah ke
depan untuk mengejar ketertinggalan, selalu dimanfaatkan lawannya sebagai
sesuatu yang jahat.
Percakapan itu membuat saya tercenung,
membuat saya berfikir dan merefleksikan sikap bangsa ini terhadap asing. Saya
sendiri juga suka bersikap menolak asing dan ingin bangun dengan tenaga
sendiri. BERDIKARI. Waktu saya kuliah, saya punya teman lebih dari 20 orang
dari Malaysia yang kuliah di IPB, sepuluh tahun kemudian, anak-anak Indonesia
kuliah di Malaysia. Dulu anak-anak kelas atas Indonesia sekolahnya ke AS, Eropa
atau Australia, sekarang Singapore dan Malaysia banyaaak. Tahun 50-60-an Korea
Selatan masih sama miskinnya dengan kita, tahun 80-an mereka telah menjadi
Harimau Asia.
Kita ini selalu ribut dengan yang berbau asing.
Issu asing ini malah dipolitisir sejak kita merdeka, dan semakin terasa
setelah reformasi bergulir di negeri ini. Lama-lama terasa kita ini sebagai bangsa
yang XENOPHOBIA, ultra nasionalistik, yang selalu mencurigai pihak asing.
Kalau modal asing masuk dengan teknologi,
pengetahuan dan tenaga ahlinya, kita selalu merasa dijajah. Kalau modal asing
untuk mengelola sumber daya alam kita buka, kita selalu merasa negara ini
dijual kepada asing. Kalau ada Manager atau CEO asing, selalu merasa
dijajah.
Sehingga ide untuk merekrut CEO berkelas
internasional untuk BUMN Indonesia sudah ramai dikomentari. Kita juga menutup
diri pada dokter asing untuk praktek di Indonesia. Sikap seperti ini
menguntungkan kita atau merugikan?
Padahal:
#1. Dengan kekayaan
sumber daya alam yang luar biasa, perusahaan Indonesia memang sudah masuk
menjadi menjadi 500 perusahaan kelas dunia, namun jauh dari yang terbaik. Misal
Pertamina no 213 di daftar Fortune 500, dibandingkan Petronas, yang jauh lebih
belakangan lahir dan berkembangnya, telah masuk dalam perusahaan terbesar ke 75
dunia, dan yang paling menguntungkan se Asia.
#2. Universitas kita
sudah berdiri sejak awal abad ini, tapi tak satupun masuk dalam 20 besar
universitas dunia. Bandingkan dengan National University of Singapore dan
Nanyang University, yang masuk 12 dan 13 besar universitas dunia, mengalahkan
Yale, Cornell dan John Hopkins dari AS yang nomor 15, 16 dan 17 dunia. NUS
diketahui mempunyai banyak sekali dosen asing kelas dunia, sementara Nanyang
mempunyai rektor dan dosen asing.
#3. Kita melarang
dokter asing praktek di Indonesia, kalaupun boleh, syaratnya sangat ketat.
Kenyataannya, setidaknya ada 700 ribu orang Indonesia berobat keluar negeri
setiap tahun, menghabiskan devisa kurang lebih USD 11 milyar. Yang
mengambil untung dari ketertutupan kita pada dokter asing adalah Malaysia dan
Singapore dan terakhir Thailand, yang diketahui terbuka bagi dokter
asing.
#4. Kita ribut
kontraktor asing melakukan proyek-proyek infrastruktur, kenyataannya, jalan tol
yang paling baik masih tol jagorawi yang dibangun Korea Selatan. Dan
pembangunan MRT oleh kontraktor Jepang adalah kegiatan pembangunan yang paling
rapih dan bersih yang pernah terjadi di negeri ini, bandingkan dengan
pembangunan jalan tol Cinere yang berantakan atau jalan layang Mampang Ciledug,
dan proyek-proyek infrastruktur lain.
#5. Kita ribut selalu
soal Freeport menguasai tambang Grassberg di Papua. Syukurlah setelah 49 tahun
akhirnya kita menguasai saham mayoritasnya, namun sudahkah kita kuasai teknik
penambangan dataran tinggi dengan tingkat safety yang tinggi termasuk bagaimana
mengelola limbahnya?
#6. Jepang dikenal
sebagai negara yang sangat tertutup terhadap modal dan perusahaan asing tetapi
tidak pada tenaga ahli asing. Perusahaan Jepang dalam dua puluh terakhir
dikenal merekrut CEO dan top manajemen dunia nonJepang untuk dapat bersaing di
dunia. Fenomena balapan Moto GP yang didominir oleh Honda dan Yamaha, dengan
pimpinan racing dan teknisi asing non Jepang semestinya menginspirasi kita
bahwa memperkerjakan orang asing tidak berarti branding bangsa luntur. Honda,
Yamaha atau Suzuki tetaplah Jepang walaupun mayoritas yang bekerja dalam
balapan tersebut asing.
Untuk maju, kita harus lebih terbuka terhadap
tenaga ahli dan top manajemen asing serta perusahaan-perusahaan kelas dunia
yang bergerak di bidang yang belum kita kuasai.
Kuncinya adalah:
#1. Modal dan tenaga
asing tersebut membawa etos kerja, keahlian dalam proses bekerja, manajemen,
ilmu pengetahuan, teknologi mereka dalam desain yang terstruktur untuk alih
pengetahuan dan teknologi dalam jangka waktu tertentu.
#2. Pemerintah sebagai
regulator dan penegak hukum tidak korup, bekerja untuk kepentingan orang
banyak, membuat standard kualitas dan KPI yang tinggi dan memastikan semua
hukum dan KPI dipenuhi. Memastikan bahwa kita adalah Tuan di rumah
sendiri bagi perusahaan-perusahaan asing dan tenaga ahli dan top
manajemennya.
#3. Memastikan anak
bangsa belajar dan duduk di posisi-posisi strategis untuk menyerap semua
keahlian, ilmu, manajemen dan teknologi yang ada.
#4. Menyediakan dana
yang cukup untuk pada saatnya mengambil alih perusahaan-perusahaan asing
tersebut
#6. Tetap menjaga dan
meningkatkan kualitas ilmu, proses, teknologi, manajemen dari yang ditinggalkan
oleh asing tersebut pada saat ambil alih. Misalnya pengambil alihan 80% saham
Newmont Nusa Tenggara oleh perusahaan anak negeri dan 51% saham Freeport jangan
sampai menurunkan standard prosedur kerja maupun kualitas dan proses manajemen
perusahaan-perusahaan tsb, bahkan seharusnya meningkatkan ke standard yang
lebih tinggi.
Dengan populasi 255 juta orang dan pendidikan
yang lumayan tinggi, jangan sampai kita terjebak dalam ekonomi negara kelas
menengah dan tidak bisa naik kelas menjadi negara maju hanya karena phobia
terhadap modal, SDM dan teknologi asing. Lama-lama kita jadi katak di bawah
tempurung.
No comments:
Post a Comment