SALAH KAPRAH
PENGOBATAN ANAK
Beneran deh artikel ini kueren
buangett..ulasan tentang Alasan Dokter Negara Maju "Pelit" Memberikan Obat ke Anak dan Kalimat yang paling makjleb buat saya adalah kalimat
terakhir mba...
****
Belum sebulan aku tinggal di Belanda,
dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak ada perbaikan aku
membawanya ke huisarts (dokter keluarga) kami, dr. Knol.
"Just wait and see. Don’t forget
to drink a lot. Mostly this is a viral infection." kata dokter tua itu.
"Ha? Just wait and see?"
batinku meradang. Ya, aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada
kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain.
"Obat penurun panas Dok?"
tanyaku lagi.
"Actually that is not necessary
if the fever is below 40 C."
Sebetulnya di rumah aku sudah memberi
Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat lain. Sudah
lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu, aku membawa obat dari
Indonesia.
Dua hari kemudian, demam Malik tak
kunjung turun dan frekuensi muntahnya bertambah. Aku kembali ke dokter. Dia
tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium akan dilakukan bila
panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.
"Anakku ini suka muntah-muntah
juga Dok," kataku. Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia
sudah minum suatu obat?"
Eh tak tahunya mendengar jawabanku,
si dokter malah ngomel-ngomel, "Kenapa kamu kasih syrup
Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak
diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk
anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."
Huuh! Walaupun dokter itu mengomel
sambil tersenyum ramah, tapi aku jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue
lulusan fakultas kedokteran tau!
Setibanya dirumah, suamiku langsung
menjadi korban kekesalanku.
"Lha wong di Indonesia, dosenku
aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya. Mau 37, 38 apa 39
derajat, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti
dikasih. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!"
Sewaktu praktek menjadi dokter dulu,
aku lebih banyak mencontek yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten
di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi
secuil-secuil ilmu kudapat. Seperti orang travelling Eropa dalam dua minggu.
Menclok sebentar di Paris, dua hari ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian
tiga hari mengunjungi Vienna. Puas berdiam di Berlin dan Swiss, waktu habis.
Tibalah saat pulang ke Indonesia.
Tampaknya orang itu sudah seperti keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama.
Banyak negara dan kota di Eropa belum disambangi. Itulah kami, pemuda-pemudi
fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah yang kami pelajari
dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa
memberikan resep cespleng, kami mengintip resep ajian senior!
Setelah Malik sembuh, Lala, putri
pertamaku sakit. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia. Batuknya tak
hilang dan ingusnya masih meler. Lima hari kemudian, Lala kubawa ke huisarts.
"Just drink a lot," katanya
ringan.
"Apa nggak perlu dikasih
antibiotik Dok?" tanyaku tak puas.
"This is mostly a viral
infection, no need for an antibiotik," jawabnya lagi.
Lalu ngapain dong aku ke dokter, tiap ke dokter
pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq!
"Ya udah beli aja obat batuk
Thyme syrop. Di toko obat juga banyak."
Ternyata isi obat Thyme itu hanya
ekstrak daun thyme dan madu.
Saat itu aku memang belum memiliki
waktu untuk berintim-intim dengan internet. Di kepalaku, cara berobat yang
betul adalah seperti di Indonesia.
Putriku sembuh. Sebulan kemudian
sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini ringan, tapi hampir dua bulan sekali
ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu,
hampir tiap dua minggu ia sakit.
"Dok anak ini koq sakit batuk
pilek melulu ya?"
Setelah mendengarkan dada putriku
dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku
menjawab,"Nothing to worry. Just a viral infection."
"Tapi Dok, dia sering banget
sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,"
Dokter tua yang sebetulnya baik dan
ramah itu tersenyum. "Do you know how many times normally children get
sick every year?"
"Twelve time in a year,
researcher said," katanya sambil tersenyum lebar. "Sebetulnya kamu
tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya.
Aku pulang dengan perasaan malu.
Barangkali si dokter benar, aku selama ini kurang belajar.
Setelah aku beradaptasi dengan kehidupan
di Belanda, aku berinteraksi dengan internet. Aku menemukan artikel Prof. Iwan
Darmansjah, ahli obat-obatan Fakultas Kedokteran UI.
"Batuk-pilek beserta demam yang
terjadi 6-12 bulan masih wajar. Observasi menunjukkan kunjungan ke dokter terjadi 2 - 3 minggu
selama bertahun-tahun."
"Bila ini yang terjadi, maka ada
dua kemungkinan kesalah-kaprahan penanganannya. Pertama, obat diberikan selalu
mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam
disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus.
Di lain pihak, antibiotik malah
membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan
menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak,
sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 - 3 minggu
dan perlu berobat lagi.
Duuh…kemana saja aku selama ini.
Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter
spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho!.
Di Belanda 'dipaksa' tak pernah
mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak, kondisi anakku jauh lebih
baik. Mereka jarang sakit.
Aku tercenung mengingat 'pengobatan
rasional'. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yg kulakukan, tidak
meneliti baik-baik obat yang kuberikan, sedikit-sedikit memberi obat penurun
panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak
mengalami sakit ringan aku panik dan membawa ke dokter, sedikit-sedikit memberi
vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional!
Sistem kesehatan Belanda menerapkan
betul apa itu pengobatan rasional.
Aku baru mengetahui Ibuprofen memang
lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga banyak negara termasuk
Amerika Serikat, memakainya secara luas untuk anak-anak. Tetapi resiko efek sampingnya
lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat Ibuprofen tersedia
di apotek dan boleh digunakan usia anak diatas 6 bulan, di kedua negara ini,
parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama anak demam.
Jadi, bagaimana dengan para orangtua
di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang
tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan. Karena kekurangan dan
ketidak-mampuan, penyakit anak
sehari-hari, orang desa relatif 'terlindungi' dari paparan obat-obatan yang tak
perlu.
Sementara kita yang tinggal di kota
besar, cukup berduit, melek sekolah, internet dan
pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan
sasaran oleh perusahaan obat dan media. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi
obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter memberikan
obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter
'menjual' obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang
mengiklankan suatu produk obat.
Dan bagaimana pula dengan teman-teman
sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan
yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri
dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar
dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak
malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar
jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug,
resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?
Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya
Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama
ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan
fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan
eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni
ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak
kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Memikirkannya aku
seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!
Aku sadar. Telah terjadi kesalahan
paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini
aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya
'hanya' konsultasi, memastikan diagnosa penyakit dan penanganan terbaiknya,
serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja.
Di Indonesia, ke dokter = dapat obat?
Sistem kesehatan di Indonesia memang
masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan
obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah.
Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi.
Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Percuma
mencari-cari ujung pangkal salahnya. Kondisi tersebut jelas tak bisa
dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas
kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi
seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat
sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Sebagai pasien kita pun tak bisa
tinggal diam. Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah kesehatan di
Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan
medis tentu bisa diturunkan.
Dikutip dari buku "Smart Patient" karya dr. Agnes Tri
Harjaningrum
Semoga mencerahkan ya kawan2 semua..
semoga besok kita gak sembarangan kasih obat dan panik saat anak sakit.
Sumber: http://ibuhamil.com
No comments:
Post a Comment