APEL DIBILANG PISANG
Holding
BUMN... Antara Hoaks dan Fakta...
Oleh: Rhenald
Kasali
Dalam sebuah iklan yang hari-hari ini
tengah ditayangkan oleh CNN, muncul buah apel.
“Ini adalah apel,” begitu narasinya.
“Tetapi, beberapa gelintir orang akan
berkata: itu pisang!”
Lalu teman-temannya akan berteriak, “Ya
betul. Itu pisang...Pisang! Pisang! Pisang!” Terus
menerus berulang-ulang.
Pikiran saya mengatakan, cara bicara orang
yang "memaksa" kita menerima bahwa apel itu adalah pisang bisa berbeda-beda, “Benar itu pisang!”, “Salah yang bilang itu apel.”, “Berani taruhan berapa? Itu pisang!”
, “Kalau warnanya kemerah-merahan begitu, ya
itu pisang.”
Iklan layanan masyarakat buatan jaringan
televisi berita terkenal itu lalu ditutup dengan kalimat, “Mereka terus mengatakan
sampai Anda akhirnya mulai percaya: jangan-jangan itu benar pisang. Tetapi
bukan! Itu adalah apel.” Dahulukan
fakta...
Akhirnya CNN menulis dalam teks iklannya: Dahulukanlah
fakta!
Hari-hari ini saya dan Anda terus
dibombardir oleh pesan-pesan seperti itu.
Seakan kita tengah dipaksa untuk mengakui
segala yang benar itu salah, berkorban itu tidak perlu, pembangunan itu jahat,
bangsa kita bodoh, dan sebaliknya segala yang salah itu benar.
Dan lama-lama kita pikir benar semua hoaks
itu...
Sebagai akademisi, pekerjaan saya dari dulu
ya menguji validitas dan reliabilitas. Dan kini orang-orang yang kurang kuat
mentalnya pun, sekalipun berpendidikan tinggi, bisa saja ketakutan dan mulai meracau
bahwa apel itu adalah pisang.
Kita lihat saja kasus-kasusnya. Tahun lalu,
"pisang"-nya adalah PKI, tapi tahun ini akan ditutup dengan isue
BUMN.
Anda masih ingat, bukan? Tahun lalu itu uang rupiah cetakan baru
yang akan keluar (dan kini pasti sudah ada di saku para penyebar hoax),
diisukan mengandung logo "palu-arit," simbolnya partai komunis.
Lalu presiden pun dituding PKI. Bahkan
pertemuan biasa pun diisukan sebagai rapatnya PKI. Isue itu lalu meredup.
Nah, bersiap-siap menyambut akhir tahun
sepertinya para penyebar hoax sudah punya daftar amunisi baru.
Mulanya digulirkan BUMN terlalu kuat,
swasta tak punya tempat. Setelah
direspon, lalu muncul lagi bahwa jumlah anak-cucu BUMN sudah kebanyakan.
Presiden pun lalu merespon. Dikatakan jumlahnya akan dirampingkan.
Tetapi begitu satu persatu infrastruktur
yang dibutuhkan masyarakat selesai
dibangun, mulailah serangan-serangan berat berdatangan.
Diberitakan bahwa Bandara Soeta dan 8
bandara lainnya akan dijual karena pemerintah nyaris bangkrut.
Padahal kebandaraan kita baru saja bangkit. Skytrax baru saja mengumumkan Bandara Soeta
sebagai The Wold's Most Improve Airport. Lalu kereta bandara yang bergerak dari
tengah-tengah kota Jakarta akan segera memasuki fase uji coba.
Di Soeta, sky train yang menghubung kan
T1-T2-T3 pun sudah dioperasikan.
Lalu Bandara Silangit yang berskala
internasional minggu ini dibuka presiden. Pertumbuhan penumpangnya pun
sebagai yang tertinggi di dunia.
Bagaimana mungkin mau dijual?
Tetapi, baiklah itu belum selesai!
Setelah isu bandara gagal, lalu isu jalan
tol dan kini lebih seram lagi, holding
buat dijual. Bak pesan iklan CNN tadi, sejumlah orang bersama-sama berteriak:
"Itu buah apel (maaf, mungkin maksudnya: kemajuan yang telah dicapai tidak menyenangkan)"
Akses baru bagi masyarakat itu sumber
kemiskinan. Segala yang diperbarui itu adalah untuk dijual. Bandara kita adalah
yang terburuk, bukan menjadi lebih baik. Infrastruktur yang dibangun
besar-besaran adalah penyebab kemiskinan dan merosotnya daya beli. Dan
seterusnya.
Sayang kalau negara mendiamkan hal-hal
begitu. Informasi harus dihadapi dengan infornasi yang sama deras dan jauh
lebih berkualitas. Dan angka-angka saja tak pernah cukup. Sebab pangkalnya
adalah paradigma, yaitu bagaimana manusia suatu bangsa melihat dan mempercayai
angka. Jangan didiamkan.
Holding
BUMN...
Akhirnya, buah apel yang dibilang pisang
itu adalah soal holding. Kita maklum, karena akhir tahun ini BUMN mulai
menunjukkan hasil dari kerja gesit dan keberaniannya mengambil alih
proyek-proyek berisiko. BUMN
banyak membuka akses tersumbat dan proyek yang mangkrak.
Setelah memenangkan gugatannya tentang
holding BUMN di Mahkamah Agung, maka Kementrian BUMN mulai merampungkan holding
pertambangan.
Model holding ini pun, dokumen-dokumen
rencana strategi tertulisnya sudah beredar luas sejak setahun yang lalu. Jadi
para pakar bisa mengkajinya secara terbuka. Sayapun sering membahasnya dalam
berbagai kelas yang saya asuh di kampus. Lagi pula holding BUMN bukan hal yang baru, baik di dunia maupun
di Indonesia.
Di Singapura, BUMN-BUMN kecil itu
di-holding-kan di bawah bendera Temasek. Di Malaysia namanya Khazanah Nasional. Sedangkan di tanah air kita semua sudah
lama melihat Astra dan Sinarmas sebagai holding.
Di BUMN sudah lama ada holding semen (Semen
Indonesia yang membawahi Semen Gresik, Semen Padang, Semen Tonasa). Lalu juga sudah ada holding pupuk (PT Pupuk Indonesia Holding
Company yang membawahi Pupuk Sriwidjaja, Petrokimia, Pupuk Kujang, Pupuk
Kalimantan Timur, Pupuk Iskandar Muda, Rekayasa Industri, Mega Eltra, Asean
Aceh Fertilizier, Hengam Petrochemical Company).
Holding itu, secara teoretis tujuannya
adalah untuk membuat bangsa ini sejahtera melalui BUMN. Supaya kita tidak perlu
belanja modal dan beli software-software mahal (untuk membentuk digital
company) sendiri-sendiri. Belinya satu saja, lalu di-share beramai-ramai.
Holding itu juga kita perlukan untuk
“menghadapi” lawan-lawan dari dunia global
yang sudah terlalu kuat di sini. Di zaman ini, suatu bangsa haram
"mengusir" dominasi asing
dengan senjata atau nasionalisasi yang sempit.
Dominasi itu hanya bisa diatasi dengan
cara-cara baru dan terhormat, yaitu keunggulan daya saing.
Kita tentu punya keinginan menguasai
lumbung-lumbung emas besar yang dikuasai asing. Tapi kalau masing-masing
perusahaan nasional bergerak sendiri-sendiri, mana mampu kita? Ini tentu beda
kalau holding.
Kita juga tahu dari 70-an izin pengembangan
smelter untuk mengolah tambang kekayaan nusantara di dalam negeri, baru 7 yang
sudah mulai dibangun. Selama ini bahan-bahan mentah itu benar-benar
mentah-mentah diangkut ke luar negeri. Indonesia dapat apa kalau BUMN-nya
dibiarkan kecil-kecil dan tidak bersatu?
Dikabarkan pula BUMN itu di-holding-kan
untuk memudahkan para oknum menjual anak-anak perusahaan kepada asing dan aseng
tanpa pengawasan DPR!
Masya Allah, seperti itukah prasangka yang
ditanamkan? Buah berwarna kemerah-merahan itu adalah apel, bukan pisang! Tak
cukupkah kita melihat bahwa terbentuknya holding-holding terdahulu telah
memperkuat industri kita? Tak
cukupkah kita menyaksikan bahwa tak ada satupun anak-anak perusahaan di
lingkungan holding terdahulu (Semen dan Pupuk) yang dijual?
Kita perlu persatuan. Mempersatukan
kekuatan BUMN-BUMN yang awalnya kecil-kecil sendiri-sendiri untuk membeli,
bukan untuk menjual. Untuk menguasai, bukan untuk dikuasai.
Sekali lagi, dahulukan fakta. Kalau ada
yang salah, minta diperbaiki. Bukan ditertawakan atau dijadikan bahan kampanye
bisnis atau politik. Kalau mereka melanggar,
tuntutlah lewat jalur hukum.
No comments:
Post a Comment