WARISAN
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh...
Kebetulan saya lahir di Indonesia dari
pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Holland
atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari
ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tentu Tidak.
Saya tidak bisa memilih dari keluarga mana
saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan. Kewarganegaraan
saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.
Untungnya, saya belum pernah bersitegang
dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa
mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari
orangtua dan negara mereka.
Setelah beberapa menit kita lahir,
lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita. Setelah itu, kita
membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri. Sejak
masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Saya
mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk
neraka.
Ternyata..., Umat Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap
agamanya. Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan,
karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka
berkata.
Maka..., bayangkan jika kita tak
henti-hentinya menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika
masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu,
padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin
Rumi mengatakan; "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; yang jatuh dan pecah
berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir
telah memiliki kebenaran secara utuh."
Latar belakang dari semua perselisihan
adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang
terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya".
Lantas..., pertanyaan saya adalah; kalau
bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha,
Hindu, bahkan atheis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan.
Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.
Tapi tidak, kan?
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat
dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan? Tidak! Nyatanya, beberapa negara masih rusuh
juga padahal agama dan rakyatnya sama.
Oleh karena itu, jangan heran ketika
sentimen mayoritas vs minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita
mendadak hilang entah kemana.
Bayangkan juga seandainya masing-masing
agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal
tunggu saja kehancuran Indonesia kita.
Karena itulah yang digunakan negara dalam
mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah
Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila,
Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk
agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak
memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai
tolakukur terhadap pemeluk agama lain.
Hanya karena merasa paling benar, umat
agama A tidak berhak memaksakan kebijakan suatu negara yang terdiri dari
bermacam keyakinan.
Suatu hari di masa depan, kita akan
menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai berai bukan
karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan
bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan
atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan
soal warisan
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi
marilah kita sama-sama berpikir untuk keutuhan dan kemajuan bangsa ini, agar
kita bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang terus mengembangkan teknologi
untuk memperbaiki peradaban manusia. Sayangnya, kita banyak ketinggalan, mari
sama-sama kita berpikir dan berkarya bagaimana bangsa Indonesia bisa mengejar
ketinggalan ini.
Wasallam, Mimuk Bambang Irawan
No comments:
Post a Comment