FIELD
TRIP REPORT - PT IMIP, MOROWALI, SULAWESI TENGAH.
Tulisan berikut laporan pandangan
mata langsung dari seorang kawan di perusahaan RRC yang beroperasi di Sulawesi.
Dear teman2, terkait masalah Cina
ini saya ada pengalaman menarik ketika diberi kesempatan ke Morowali, atas
kebaikan komandan KBL.
Melihat salah satu perusahaan
pertambangan nikel di sana.
Yang sudah memiliki smelter
jadi nikel di ekspor bukan dalam bentuk bijih nikel, melainkan dalam bentuk lembaran-lembaran nikel.
Kebetulan pemiliknya adalah orang
Cina.
Saya ingin berbagi kekaguman dan
keheranan melihat susana di sana.
Saya terasa berada di luar
negeri. Baik dalam cara hidup dan bekerja.
Paling tidak saya teringat ketika
tinggal di daerah Caltex, tempat orang tua saya bekerja.
Saya tidak memihak dan tidak ada
urusan dukung mendukung terkait dengan banyaknya tenaga asing yang masuk akhir
akhir ini dan jadi pembicaraan hangat ditengah merebaknya wabah covid-19.
Tapi ingin berbagi dari sudut
pandang yang berbeda, seperti dibawah ini.
Sehingga kita tidak perlu
bertanya-tanya lagi. Atau bahkan membuat konklusi sendiri yang kadang jauh
dari kenyataan.
1.
Kawasan industri dibangun selayaknya kawasan industri moderen yang baik dan
benar.
Mensyaratkan adanya living
space, public health, food service, dan government authority
A. Dengan
adanya Living Space
(tempat tinggal) yang dekat dengan pabrik, maka karyawan tidak memerlukan
kendaraan untuk berangkat kerja. Biaya kredit kendaraan dan bbm menjadi NOL.
Mereka tidak perlu stress memikirkan kredit bulanan motor dan biaya lainnya.
Tempat tinggal mereka sekelas apartemen atau rumah susun menengah atas, dengan
sewa yang relatif murah (500 ribuan per bulan)Bayangkan di lokasi lain,
karyawan hanya menyewa rumah sederhana di sekitar pabrik. Bahkan tidak jarang
jauh dari pabrik. Kelelahan menuju pabrik saja sudah membuat mereka stress.
Living
Space ini dikelola oleh perusahaan khusus.
Memastikan pembayaran tepat waktu
dan kebersihan terjaga. Sepelemparan batu dari sana terdapat lapangan futsal,
badminton, dan volly. Dibuka hanya pada jam tertentu dan saat libur.
Oh ya, per enam bulan mereka dapat pembagian sepatu dan seragam khusus.
B. Dengan
adanya Public Health,
karyawan tidak memerlukan lagi antri berjam-jam di rumah sakit jika ada
gangguan kesehatan. Jika tidak ada, bisa dibayangkan hanya untuk memastikan flu
biasa atau sakit yang lainnya, di pabrik lain karyawan perlu izin sehari. Di
sana karena ada sekitar 10 klinik dengan
sekitar 15 dokter dan ratusan perawat, maka dalam setengah jam mereka sdh
bisa diperiksa. Apakah perlu izin istirahat atau tetap bekerja. Obat-obatan disediakan gratis. Karyawan
bisa berhemat waktu dan uang.
C. Dengan
adanya Food Service, kita
tidak akan melihat ribuan karyawan keluar pabrik dan makan di pinggir jalan.
Warung kumuh sebagaimana halnya dengan pabrik di tempat lain (Jakarta dan
Bekasi, misalnya) Kesehatan mereka menjadi taruhannya.
Tapi di sini, makan mereka
diantar ke tempat istirahat dan mereka bisa makan dengan tenang kemudian
sholat. Kebersihan makanan sudah sangat tentu terjaga. Tanpa perlu ke luar area
pabrik.
Mereka butuh sekitar 1000 ekor
ayam dalam satu hari. 400 kg telur. Ratusan kilo sayur dan buah. 1.2 ton
beras yang dimasak hanya sekitar 45 menit dengan peralatan yang super modern.
Beras masuk ke dalam mesin. Dicuci dan dimasak langsung. 45 menit
kemudian, cling.... jadi nasi. Puluhan orang kemudian memasukan nasi tersebut
ke dalam kotak khusus tempat makan. Dilengkapi kemudian dengan sayur, buah dan
kerupuk. Siap antar ke tempat masing-masing divisi, melalui troli-troli khusus.
Oh ya, sekali menggoreng kerupuk
400 kg untuk satu hari. Maklum orang kita suka makan dengan kerupuk. Kuali
penggorengnya sebesar kuali orang betawi memasak dodol. Chef nya beberapa dari
hotel terkenal di Jakarta.
Cold storage nya
mampu menampung bahan makan untuk seminggu lebih. Tidak terbayangkan saat
kondisi pandemi covid-19 ini. Bagaimana mereka memenuhi bahan makanan ini (?).
Atau saat Lebaran dan tahun baru dimana semua harga melonjak. Padahal karyawan
harus tetap makan.
D. Government authority saya
lihat ini belum berjalan baik. Khususnya pemda setempat. Nanti lain waktu
saya ceritakan. Bagaimana tabiat orang
kita "mencuri dalam kesempatan"
Keempat syarat itulah yang
dibutuhkan dalam suatu kawasan industri modern. Kawasan industri lainnya di
Indonesia jarang ada yang menerapkan demikian.
Jadi jangan heran investor
memilih negara lain dibandingkan dengan Indonesia.
Itu sebabnya Presiden Jokowi
heran tahun lalu. Mengapa sedikit sekali investor yang memindahkan perusahaan
mereka ke Indonesia.
Seharusnya masalah living space di atas bagian dari
kebijakan pemerintah. Paling tidak dalam hal menyiapkan lahannya.
Di Indonesian Morowali Industrial
Park (IMIP) mereka membuatnya sendiri.
Ini agaknya harus menjadi catatan
khusus pemerintah jika ke depan hendak mendirikan _industrial park_.
Keempat
syarat di atas menjadi mutlak.
2. Dengan
kondisi pelayanan seperti di atas, ternyata masih banyak karyawannya yang tidak
betah. Khususnya yang berasal dari Indonesia.
Mengapa bisa terjadi demikian?
Barangkali cerita dibawah ini
bisa menjelaskannya.
3. Ketika sampai di lobby
penginapan. Saya terkagum-kagum. Semua ruangan sangat simpel. Gedung hotel sekelas bintang lima tersebut
sengaja didisain tidak rumit. Namun tetap menarik. Sepertinya mereka
memikirkan dalam hal memudahkan perawatan.
Meja resepsionis clear dari
barang-barang yang tidak perlu. Semacam pernak pernik hiasan dan ukiran. Hanya
ada bel kecil dan balpoint serta kertas.
Model kursi dan sofa nya juga tidak
rumit dan penuh ukiran. Tentu sangat memudahkan untuk dibersihkan pula.
Demikian juga dengan struktur
bangunannya. Semuanya memudahkan untuk dibersihkan. Tapi tetap memenuhi
estetika sebuah hotel berbintang secara arsitektural.
Tidak ada ukiran dan lukisan
mewah. Tapi tetap menarik. Petugas resepsionisnya hanya satu orang. Lobby yang
lapang dan lega serta langit-langitnya yang tinggi membuat sirkulasi udara
menjadi bebas. Tidak ada patung mewah dan lukisan mahal terlihat.
Memasuki restoran ketika sarapan
semua tampak sederhana dan lengang. Menunya pagi itu ada ala western, chinese,
dan Indonesia.
Saya heran, kok lengang dan tidak
ada yang sarapan?
Ketika saya tanya mengapa sepi.
Dijawab oleh petugas restoran, bahwa semua sudah sarapan dan berangkat kerja.
Ok
Siangnya ketika saya datang
sekitar jam satuan untuk makan juga begitu. Restoran itu juga terlihat
sepi. Jawabannya sama. Semua sudah makan dan berangkat kerja.
Esok paginya saya sengaja datang
lebih awal. Jam setengah tujuh. Baru terlihat para ekspatriat makan.
Semua tertib. Tidak ada yang
ngobrol sambil makan. Selesai mengambil sarapan, makan. Selesai makan langsung
ke luar restoran.
Sementara saya selesai sarapan
ngobrol-ngobrol dulu dengan rekan satu team. Ngalor ngidul sebelum berangkat
survey. Giliran mereka yang heran melihat saya demikian.
Oh ya, di tiap meja restoran
hotel sekelas bintang lima itu tidak ada pernak pernik hiasan semacam bunga
cantik kecil dalam vas unik.
Begitu efisiennya mereka dalam
hidup. Buat apa lukisan mahal, patung berkelas, bunga hidup dan vas cantik?
Bukankah semua itu pemborosan?
Trus mengapa saya bisa mengatakan
hotel itu sekelas bintang lima?
Memasuki kamar hotel dan melihat
fasilitas di dalamnya baru terasa.
Sorenya saya ke living space. Semua terlihat rapi. Ada
kantor pengelola di sebelah kanan lobby dan kantin/mini market di sebelah
kirinya. Semua yang masuk melepaskan alas kaki. Itu sebab lantainya licin dan
mengkilap. Jauh dari kesan hunian buruh pabrik.
Kemudian dijelaskan oleh
pengelola mengenai aturan tinggal di sana. Antara lain yang jualan kue dari
penduduk setempat tidak boleh masuk ke areal tempat tinggal. Hanya boleh di
luar pagar. Begitu juga dengan laundry. Tempat
olah raga hanya dibuka pada sore hari dan diwaktu libur. Di luar itu tidak
boleh.
Melihat “mini marketnya" saya jadi ingat KPK dengan program nya kantin jujur. Silahkan ambil barang.
Catat dibuku yang sudah disediakan. Kemudian masukan uang pada kotak
disebelahnya sesuai jumlah harga yang kita beli.
Aturan lainnya, dilarang
juga bergerombol dan ngobrol di luar apartemen. Ada ruangan yang disediakan.
Serba tertib dan penuh aturan.
Pantesan suatu sore ketika saya
menuruni hotel menuju kolam renang dan pantai tidak ada satupun yang berenang
dan main di pantai. Baik pagi maupun sore hari. Jangan-jangan peraturan yang berlaku di apartemen ini juga berlaku buat
direksi.
Saya yang tadinya mau berenang di
hari biasa jadi mengurungkan niat.
Dugaan saya benar. Ketika saya
tanya kepada petugas yang berkeliling, mengapa sepi dan tidak ada yang
berenang. Kan bukan hari libur pak, jawabnya. Demikian juga di pinggir pantai.
Tidak ada satupun yang terlihat.
Sorenya ketika hendak kembali ke
Jakarta via Kendari, saya berkesempatan naik pesawat Cessna barengan dengan
beberapa direksi.
Menuju ke
private bandara (mereka memiliki lapangan udara sendiri) saya melewati beberapa
bangunan pabrik. Dari luar terlihat sepi.
Saya membayangkan yang bekerja di
dalam tentu sangat sibuk sekali.
Hampir 40
ribu tenaga kerja dalam tiga shift (35 ribu orang Indonesia, 5000 ekspatriat
Cina). Karena menggunakan teknologi tinggi (konon pertambangan nikel yang
diolah langsung menjadi lembaran lembaran nikel itu menggunakan teknologi
moderen dan canggih) , maka semua harus disiplin. Jika tidak tentu hasil
akhir yang akan jadi taruhan. Dan
disiplin itu harus dimulai dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari cara
hidup di living space. Memanfaatkan public health dengan benar. Dan tentunya
makan tertib dengan menu yang sudah disediakan. Termasuk mengikuti jadwal olah
raga yang sudah ditetapkan.
Sore yang cerah itu pesawat
Cessna berpenumpang 10 orang itu terbang dengan tenang. Setenang laut biru
teluk Morowali dibawahnya. Mengantarkan rombongan ke Bandara di Kendari.
Kembali ke Jakarta dengan pesawat berikutnya.
Semoga anak-anak muda dari
sekitar Sulawesi dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia yang bekerja di sana
dapat beradaptasi dengan model kerja dan kehidupan di pabrik canggih tersebut,
sembari menyerap ilmunya.
Kuncinya
hanya satu: DISIPLIN.
Konon kabarnya sebentar lagi akan
berdiri pula pabrik battery yang bahan utamanya nikel. Tentu membutuhkan
pekerja yang banyak dan harus memiliki kedispilinan yang tinggi pula.
Karena dari teknologi yang hanya
menghasilkan bijih nikel, tentu berbeda dengan teknologi yang menghasilan nikel
dalam bentuk lembaran. Apalagi kalau sudah berubah menjadi battery. Tentu lebih
tinggi lagi teknologi dan kedisiplinan yang diperlukan.
No comments:
Post a Comment