Kamis 09 July 2020
Oleh : Dahlan Iskan
Test kilat telah jadi bisnis tersendiri. Juga telah
menjadi sumber pengurasan anggaran negara dan daerah.
Hanya satu daerah yang tidak
menganggarkan pembelian alat rapid test: Sumatera Barat. Alasan utamanya sangat
ilmiah: "Rapid test tidak bisa dipercaya," ujar dokter Andani Eka
Putra kepada DI’s Way kemarin.
Di sana semua test dilakukan
dengan PCR --swab test. Yang hasilnya praktis 100 persen bisa dipercaya.
Kuncinya ada di penemuan ilmiah
oleh dokter Andani Eka Putra, Kepala Pusat Laboratorium Universitas Andalas
Padang itu. Di sana test swab itu bisa dilakukan dengan cepat: hasilnya bisa
diketahui dalam 24 jam. Dengan kapasitas yang sangat besar: 3.500 sehari (DI’s
Way: Tirani Minoritas)
Sudah lebih tiga bulan Sumbar
melakukan itu. Sampai hari ini sudah 55.000 yang dites di sana. Padahal
penduduknya hanya sekitar 7 juta.
Satu laboratorium di universitas
itu sampai kekurangan sampel untuk dites.
Karena itu tidak ada zona merah
di Sumbar. Paling tinggi oranye. Itu pun hanya di satu kota: Padang. Sumbar
juga sudah memutuskan akan membuka sekolah yang sudah lama mulai Senin depan.
Khususnya di 4 daerah.
Kalau daerah di luar Sumbar
kuwalahan melakukan tes, di Sumbar sampai menggratiskan. Misalnya untuk pedagang
dan pengunjung pasar, anak sekolah dan pesantren.
Seharusnya yang ingin bepergian
pun bisa dites gratis di situ. Tapi tidak bisa. Peraturan menyebutkan hanya
rumah sakit yang boleh mengeluarkan surat keterangan untuk perjalanan.
DI’s Way pun sudah menuliskan
penemuan itu sampai tiga kali. Sampai sungkan. Sampai seperti promosi untuk
dokter Andani, Universitas Andalas dan juga Sumbar.
Padahal tidak ada maksud lain
kecuali agar menginspirasi daerah lain. Sayang kebaikan ini sulit menular.
Kalah dengan penularan demam rapid test.
Respons dari daerah lain sangat
minim. Pun tidak ada kebijakan nasional yang mendukung penyebaran temuan itu.
Padahal penemuan dokter Andani
itu tinggal di-copy. Dokter Andani sendiri mau membagi ilmunya itu. Secara suka
rela.
Semua uraian ilmiahnya bisa
didapat dengan gratis. Pun dokter Andani bersedia memberikan tutorialnya.
Secara gratis.
"Bagi
saya ini jihad. Rakyat harus diselamatkan dari Covid-19," ujar
Andani.
Akhirnya memang ada permintaan
dari Jatim. Kabarnya. DI’s Way belum berhasil menelusuri apakah benar Jatim
sudah mulai meminta.
Kalau pun ada permintaan seperti
itu sudah sangat telat. Jatim telanjur dinilai babak belur --oleh tingginya
angka Covid-19 maupun oleh konflik antara Gubernur Khofifah Indar Parawansa
dengan Walikota Surabaya Tri Rismaharini.
Apakah betul ada permintaan dari
Jatim itu? Dokter Andani belum tahu.
"Seandainya ada pun saya harus bertanya dulu. Apakah Jatim benar-benar
minta dibantu," ujar Andani kemarin. "Kalau misalnya saya nanti ke Surabaya tapi respons di sana
dingin, saya yang tidak enak," ujarnya.
"Kalau
seperti itu tidak akan berhasil," tambahnya. Saya pun harus minta
maaf kepada pembaca DI’s Way.
Kolom ini telah banyak terbuang
untuk promosi penemuan cara lebih cepat melakukan test swab ala Sumbar itu.
Saya jadi ingat ceramah Prof
Djohansjah Marzoeki, pelopor bedah plastik di Surabaya. "Sering sekali
masalah ilmiah kalah dengan ego," ujarnya saat memberikan tribute lecture
dua tahun tahun lalu.
"Masalah ilmiah juga sering
kalah dengan subyektivitas," tambahnya.
Saya tidak akan lupa isi ceramah
itu. Kampus yang seharusnya menjadi lembaga ilmiah dalam praktek sering tidak
ilmiah. Acara hari itu mestinya untuk kalangan akademisi Unair. Sebagai
penghargaan atas jasa luar biasa Djohansjah ke almamater. Saya diundang untuk
hadir.
Prof Djohansjah dianggap sangat
berjasa untuk Uniar khususnya untuk Fakultas Kedokteran. Karena itu acara
tersebut diadakan khusus oleh junior-juniornya di aula fakultas kedokteran.
Tentu tidak hanya kampus yang
harus menjunjung tinggi ilmu. Lembaga seperti laboratorium pun seharusnya juga.
Tapi begitu sulit untuk mengakui penemuan ilmiah oleh laboratirium lain.
Pun di kampus. Ego masih lebih
sering tampil daripada ilmu. Termasuk dalam hal penyelamatan manusia. Akibatnya
lebih enak ambil jalan pintas: rapid test. Tinggal beli alat. Yang bisa diimpor
dengan mudah. Soal efektivitas bisa disisihkan.
Dan rapid test sudah menjadi
bisnis besar. Juga sudah ikut menguras anggaran publik.
Siapa pun yang melakukan
perjalanan antar daerah harus melakukan itu.
Yang ilmiah pun juga sering kalah
dengan bisnis.(Dahlan Iskan)
No comments:
Post a Comment