Senin 27 July 2020
Oleh : Dahlan Iskan
Pemenang putaran pertama balapan
vaksin ini jelas: CanSino Biologics. Yakni penemu vaksin yang dari Wuhan itu.
Yang dipimpin jenderal wanita Chen Wei itu. Di balapan putaran kedua terjadi
saling salip. Boleh dikata imbang.
Tapi di putaran
ketiga terjadi pembalikan. Yang finis duluan adalah Sinovac. Yakni vaksin
Covid-19 yang dari Beijing itu. Setidaknya Sinovac-lah yang lebih dulu mencapai
garis finis di Bandung. Di ibu kota Jawa Barat itu Sinovac akan dicoba terhadap
1.600 orang sukarelawan yang mendaftar secara gratis.
Walhasil Indonesia
telah memilih berpartner dengan Sinovac. Kalau uji coba tahap 3 nanti berhasil
Indonesia akan diizinkan memproduksi sendiri vaksin itu. Biofarma, milik BUMN,
mampu melakukannya.
Amerika
kelihatannya akan memilih CanSino Biologics yang dari Wuhan itu. Atau memilih
vaksin produk Moderna Inc. Yang milik Swedia-Amerika itu. Brasil, di samping
memilih menguji Sinovac, juga sudah disetujui untuk uji coba penemuan dari
Oxford University Inggris.
Sinovac, CanSino,
Moderna, Oxford. Empat vaksin itulah yang sekarang lagi balapan di kelompok
pertama. Di belakang itu masih banyak yang siap masuk arena balapan.
Dari empat vaksin
Covid-19 itu mana yang lebih hebat?
Sepanjang perkembangan
yang saya ikuti kelihatannya kurang lebih saja. Tapi saya bukan orang yang
berhak beropini di bidang ini. Saya sangat awam, pun di bidang mikrobiologi.
Bahwa Amerika
memilih Moderna Inc barangkali karena itulah satu-satunya yang berbau Amerika.
Kalau pun nantinya
Amerika akan memilih juga CanSino Biologics barangkali juga bukan asal berbeda
dengan Indonesia. Mungkin saja karena CanSino bukan kelahiran asli Wuhan. Nama
CanSino sendiri singkatan dari Canada-China.
Apa hubungannya
dengan Kanada?
Para pendiri
CanSino itu adalah orang-orang Tiongkok lulusan Kanada. Tokoh utama CanSino, Yu
Xuefeng, kini 57 tahun, meraih gelar doktor di McGill University Montreal,
Kanada. Yakni doktor di bidang mikrobiologi. Setelah lulus McGill mereka tidak
pulang. Mereka bekerja di perusahaan farmasi yang terkemuka di dunia: Sanofi
Pasteur.
Anda pasti pernah
makan obat bikinan Sanofi, saking banyaknya jenis obat bikinan Sanofi.
Mereka pun sangat
berprestasi di situ. Banyak yang sampai menduduki posisi level atas.
Suatu malam mereka
pesta daging bakar di halaman belakang rumah Yu Xuefeng. Di situlah mereka
terlibat dalam pembicaraan serius: mengapa pabrik obat di negara mereka
ketinggalan. Khususnya ketinggalan dari dunia Barat. Baik dalam hal mutu maupun
keamanannya.
Pesta malam itu
diakhiri dengan kebulatan tekad: pulang!
Mereka ingin
mewujudkan idealisme di bidang farmasi bagi kemajuan Tiongkok. Mereka pun
berhenti dari Sanofi. Ada 4 orang yang segera memilih pulang. Mereka inilah
yang mendirikan perusahaan farmasi di kota Tianjin, sebelah timur Beijing. Kata
'Kanada' mereka abadikan dalam nama depan perusahaan itu: CanSino.
Pemerintah Kanada
memberikan dukungan pada perusahaan itu. Bahkan membolehkan menjalin kerja sama
dengan lembaga riset milik pemerintah Kanada.
Ketika ada wabah
Ebola, CanSino aktif mengembangkan vaksin itu. Saat itulah mereka bertemu
Jenderal Chen Wei, ahli mikrobiologi yang juga kepala pusat riset farmasi
militer Tiongkok. Mereka pun bekerja sama.
Sebelum itu pun
mereka sudah lama mengenal nama Chen Wei. Nama jenderal wanita ini amat harum.
Juga heroik. Terutama saat terjangkit wabah SARS di Tiongkok. Kala itu Chen Wei
melakukan riset sangat serius. Dia ingin menemukan vaksin anti-SARS. Dan dia
berhasil.
Keberhasilan itu
bukan tidak dramatik. Sangat-sangat dramatik. Chen Wei menjadikan anak lelaki
satu-satunya sebagai objek uji coba vaksin yang dia temukan itu. Umur si anak
masih 4 tahun.
Itu bukan karena
Chen Wei tidak sayang anak. Tapi dia begitu yakin akan penemuannya itu. Dia memastikan
anaknya tidak akan bermasalah.
Kalau tahun lalu di
Tiongkok beredar film Wolf Warrior II yang sangat laris di bioskop-bioskop,
inspirasinya dari perjalanan kepahlawanan Chen Wei itu. Kali ini, untuk
vaksin anti-Covid-19 ini, Chen Wei merangkul CanSino.
Sayangnya CanSino tidak
bisa finish di Bandung.(Dahlan Iskan)
No comments:
Post a Comment