By Babo EJB
Kalau anda jadi pengusaha dan
Perusahaan anda berencana berinvestasi dalam skala besar di Indonesia, maka
anda harus berhadapan dengan rimba perizinan. Sangking padatnya, rimba itu
menutupi pandangan ke langit. Kalau anda tidak hati hati, di rimba itu anda
bisa kena mangsa binatang buas, dan tersesat. Begitu gambaran tentang panjang
dan rumitnya perizinan di Indonesia. Tetapi kalau panjang dan rumitnya
perizinan itu dilaksanakan dengan standar skill da moral yang hebat dari
birokrat, tidak ada masalah. Toh bagaimanapun semua perizinan itu adalah
standar kepatuhan bagi kepentingan negara. Yang jadi masalah, standar moral dan
skill aparat rendah dan lebih banyak untuk kepentingan pribadi dapatkan suap.
Engga percaya? Mari kita lihat
dan telusuri perizinan yang sangat basic. Katakanlah anda ingin membuka usaha
kawasan Industri. Itu hanya perlu izin lokasi dan kemudian bangun kawasan
berserta fasilitasnya. Sederhananya anda beli lahan sesuai izin lokasi,
kemudian bangun. Selesai. Tetapi dalam proses yang ada, engga sesederhana itu.
Pertama anda harus dapatkan izin dari BKPM. Kemudian izin dari BKPM itu harus
ditindak lanjuti ke tingkat Daerah dan instansi terkait. Karena berdasarkan UU,
hak tanah ada pada daerah. Anda harus dapatkan izin lokasi dari Pemda. Hak
Pemda pun berjenjang dari tingkat 1 sampai tingkat 2. Semua harus anda
lewati. Bayangin, izin BKPM tidak menjamin otomatis anda berhak mendapatkan
izin lokasi. Semua tergantung Daerah. Ada biaya resmi dan proses loby yang
tidak murah.
Lucunya setelah berlelah
mendapatkan izin lokasi, mau bebaskan tanah silahkan saja. Tetapi belum ada
jaminan bisa langsung bangun. Anda masih harus dapatkan lzin perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup (PPLH). Mau berbahaya atau tidak usaha anda wajib
dapat izin PPLH. Kalau bersinggungan langsung dengan alam maka urusannya lebih
runyam lagi. Yang sederhana saja seperti bangun kawasan perkantoran atau
pabrik, itu ada 11 lapis izin PPLH yang harus anda dapatkan. Urusannya dari
tingkat Menteri sampai ke tingkat Bupati. Kadang walau izin PPLH sudah didapat,
tidak ada jaminan anda aman. Masih ada lagi ancaman yang bisa batalkan izin
itu. Apa? LSM. Mereka bisa kerahkan aksi demo sampai ke pengadilan
menentang pendirian proyek. Kalau kalah di pengadilan, itu derita anda.
Pemerintah yang kasih izin, hanya bilang maaf.
Ok, lanjut. Katakanlah izin PPLH
sudah di tangan. Apakah anda bisa langsung bangun? Belum. Masih ada lagi izin
IMB. Izin ini mengharuskan anda melampirkan design bangunan untuk menentukan
besaran biaya retribusi yang harus dibayar. Dan kalau Design dan layout
dianggap tidak sesuai dengan RT/RW, ya IMB tidak diberikan. Soal izin lain
sudah di tangan tidak ada pengaruhnya. Anda silahkan gunakan izin yang ada
tetapi engga boleh dirikan bangunan. Konyol ya. Begitulah logika perizinan.
Satu sama lain saling sandera. Sehingga proses prizinan adalah juga proses
distribusi kekuasaaan dari RT, Pemda sampai ke Menteri. Semua ada ongkosnya.
Kalau semua izin sudah di tangan.
Dan anda siap bekerja. Ada lagi masalah. Terutama kalau anda beli mesin dari
luar negeri yang butuh Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk instal mesin atau anda
berkerja sama dengan asing. Dapatkan izin bagi TKA juga tidak mudah. Anda harus
mendapatkan izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Proses
mendapatkan izin lumayan rumit. Anda harus mengantongi beberapa perizinan
seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas
(VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Bayangin ajak kalau
TKA ada ratusan. Betapa repotnya urus izin masing masing mereka. Kalaupun lolos
semua izin itu, belum tentu aman bagi TKA. Karena masih bisa diributin sama
Buruh lokal. Masih bisa diributin sama Aktifis atau ormas buruh. Selama ribut
itu sudah pasti proses produksi terganggu.
Setelah usaha berdiri dengan
mengantongi izin ini dan itu, anda juga harus menghadapi ketentuan mengenai
perburuhan. Ini sangat sensitip. Karena buruh adalah juga mesin politik bagi
para politisi. Jadi kapan saja bisa meledak membuat semua izin tidak ada
artinya. Kalau anda menerima pekerja, maka anda tidak bisa pecat buruh tanpa
mereka setuju. Hebat engga?. Gimana kalau pekerjaan sudah selesai atau adanya
perubahan alur produksi sehingga perlu pengurangan buruh. Itu engga ada
urusan. Mereka engga mau diberhentikan, anda engga bisa pecat. Tetap harus
bayar. Kalau akhirnya sengketa di pengadilan, anda engga bisa atur Hakim,
pejabat pemerintah, Serikat pekerja dan bayar lawyer, siap siap aja dipanggang
oleh mereka. Artinya lagi lagi harus keluar uang kalau ingin selamat.
Belum lagi soal ketentuan UMR.
Itu bisa setiap tahun naik tanpa peduli produktifitas naik atau engga. Serikat
Pekerja juga berpengaruh menentukan jam kerja lembur. Jadi anda engga bisa
seenaknya mengatur jam lembur walau produksi mengharuskan peningkatan jam
kerja. Kalau anda pecat atau berakhir kontrak kerja, anda harus bayar uang
pesangon. Engga mau? siap siap diributin serikat pekerja. Siap siap
perang di pengadilan. Hampir semua pengusaha stress dengan ulah pekerja ini.
Apalagi kalau mereka bandingkan dengan China dan Vietnam. Uh. bisnis di
Indonesia itu bukan cari uang tetapi cari masalah.
Kalau anda pernah berinvestasi di
Luar negeri katakanlah di Vietnam, Malaysia atau Thailand, anda akan bilang
seperti cerita awal tulisan saya. Perizinan di Indonesia seperti rimba
belantara. Di dalamnya ada pemangsa. Bisa membuat anda tersesat dan frustasi.
Pertanyaannya adalah mengapa anda harus masuk rimba belantara? kalau ada banyak
pilihan. Apalagi sudah ada kerjasama regional bidang investasi dan perdagangan.
Artinya kalau anda butuh bahan baku dari Indonesia, anda tidak perlu bangun
pabrik di Indonesia. Karena sudah ada ME- Asean, Bangun di Vietnam atau negara
ASEAN lainnya, soal tarif sama saja dengan indonesia. Saat sekarang kerjasama
regional bukan hanya diantara negara ASEAN, tetapi juga ada China Free Trade
Asean, Korea Free Trade Asean, Jepang Free Trade Area, APEC, Indo Pacific.
Nah keberadaan UU Omnibus law
bertujuan untuk memangkas perizinan sehingga ramah bagi investor. Sebetulnya
pemangkasan itu bukan berarti kekuasaan pemerintah berkurang dan terkesan
memanjakan pengusaha. Tetapi lebih kepada aturan yang rasional dengan prinsip
good governance. Contoh, kalau sudah ada Izin lokasi, untuk apa lagi ada izin IMB
dan PPLH. Karena bukankah izin lokasi itu diberikan atas dasar
Rencana Tata Ruang Wilayah?. Artinya by design pemerintah sudah memperhatikan
semua aspek ketika menentukan RT/RW. Aspek peruntukan lahan, sampai kepada
PPLH. Itu sebabnya UU Omnibus law menghapus izin IMB. Khusus PPLH hanya untuk
usaha yang sangat berbahaya, seperti Industri smelter dan bahan kimia.
Berkaitan dengan tenaga kerja,
tidak bisa menempatkan perusahaan dalam posisi equal dengan karyawan. Karena
resiko ada pada perusahaan dan secara organisasi perusahaan punya sistem
pembinaan terhadap buruh dan pekerja. Apa jadinya kalau posisi karyawan setara
dengan perusahaan? Jelas upaya pembinaan engga akan efektif. System
reward & punishment engga jalan. Lah gimana mau jalan? Karyawan dan boss
equal. Itu sebabnya UU Omnibus memberikan hak kepada Perusahaan memberhentikan
pekerja kalau pekerjaan sudah selesai. artinya, jangka waktu kontrak kerja
berada di tangan pengusaha. UU Omnibus law ini sangat rasional, bahwa
perusahaan tidak bayar orang tetapi bayar kerjaan atau produktifitas. Kalau
engga ada produktifitas ya sorry saja. Mending keluar. Silahkan ambil uang
pesangon. Masih banyak di luar sana yang mau kerja serius.
Soal UMR itu dasarnya adalah
tingkat pertumbuhan ekonomi daerah. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi daerah
semakin tinggi UMR. Itu wajar saja. Karena pertumbuhan ekonomi biasanya dipicu
oleh inflasi dan tentu dampaknya harga akan naik. Sebelumnya UMR ditetapkan
sesuka PEMDA tanpa memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Jusru itu tidak adil dari
sisi pekerja maupun Pengusaha. Dan lagi UMR itu hanya patokan minimal saja.
Bukan keharusan jumlahnya sebesar itu. Kalau memang buruh itu produktifitasnya
tinggi, tentu perusahaan akan bayar upah lebih tinggi dari UMR. Di mana mana
pengusaha juga ingin jadikan buruh itu sebagai asset bernilai meningkatkan
pertumbuhan usaha. Jadi egga perlu terlalu kawatir. Sebaiknya focus aja
bagaimana meningkatkan produktifitas.
UU Omibus law juga memangkas
perizinan untuk TKA. Sangat sederhana yaitu kalau perusahaan sudah dapat izin
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) ya sudah. Dia tinggal datangkan
TKA. Selagi tidak melanggar RPTKA, pekerja asing engga perlu repot lagi
dapatkan berbagai izin. Mengapa? dalam RPTKA itu sudah ada standar kepatuhan yang
harus dipenuhi perusahaan seperti kriteria TKA, upah dan lain lain. Secara
berkala akan ada audit dari pemerintah terhadap penerapan RPTKA. Kalau mereka
melanggar ya izin dicabut.
Menurut
saya, UU Omnibus law ini bukan berarti Jokowi anti demokrasi atau anti otonomi
daerah. Tetapi sebagai solusi agar Indonesia berubah. Dari birokrasi menjadi
meritokrasi. Dari dilayani menjadi melayani. Mengapa? itu sebagai jawaban atas
tantangan global yang semakin terbuka dan berkompetisi. Tanpa itu, sulit bagi
kita mendatangkan investasi. Tanpa investasi pertumbuhan ekonomi akan lambat
dan tentu semakin besar masalah sosial dan politik yang dihadapi bangsa ini
akibat pengangguran dan kemiskinan. Memang UU Omnibus law ini tidak segera bisa
dirasakan. Namun langkah besar untuk perubahan pasti akan membuahkan hasil
baik..
No comments:
Post a Comment