TETAP BIASAKAN PAKAI MASKER DAN CUCI TANGAN
(Jangan sembrono wabah Corona belum usai)
Kali ini saya menulis dengan penuh kesedihan yang
mendalam atas kepergian satu keluarga tim medis. Saya akan bercerita dengan
sudut pandang saya sendiri sebagai pasien juga sebagai warga Sampang.
Tahun 2013 awal saya pernah sakit
dan disarankan berobat ke Pak Wito, mantri senior yang membuka praktek di
rumahnya kawasan Kedungdung, sekitar 15 KM dari Sampang kota. Pertama kali
datang kaget sekali, karena yang antri luar biasa banyak.
Menurut cerita dari orang orang
pak Wito sudah lama mengobati orang, puluhan tahun. Beliau bukan asli orang
Sampang. Dahulu beliau sering dipanggil orang orang dan mengobati sampai ke
daerah pelosok, bahkan hingga malam hari. Maklum di Sampang apalagi zaman dulu,
dokter masih jarang dan rumah warga banyak ada dipelosok. Tapi tiap pak Wito
dijemput untuk mengobati pasien, beliau selalu siap.
Pak Wito bertugas sebagai perawat
di Puskesmas Kedungdung, jika sore hari buka praktek di rumahnya. Setiap hari
paisennya selalu penuh. Yang bikin saya heran, ada pasien datang dari Sampang
kota, bahkan dari Pamekasan. Saat ditanya bukannya di kota sudah banyak dokter,
mereka menjawab, "Kadung cocok sama Pak Wito" sepertinya kalau tidak
berobat ke Pak Wito tidak akan sembuh.
Menurut kabar yang beredar, pak
Wito ini kuat ibadahnya. Puasa, sholat malam dan sunah lainnya. Itu yang
membuat orang orang lebih tenang berobat ke sini.
Tahun 2019, sekitar bulan
Agustus, pak Wito pensiun dari puskesmas dan fulltime buka praktek di
rumah.
Saat musim corona, orang orang
takut berobat ke rumah sakit karena takut dianggap sakit Corona. Maka jadilah
pasien pak Wito tidak berhenti sepanjang hari. Tetangga saya datang berobat
pagi jam sembilan baru diperiksa habis asar, karena pasiennya penuh
sekali.
Tanggal 7 Juni 2020 dengan tiba
tiba ada berita duka, bahwa beliau meninggal dunia. Prediksi orang orang karena
beliau kelelahan luar biasa kelelahan mengobati pasien. Dua hari sebelum
meninggal beliau sudah tidak menerima pasien.
Tanggal 9 Juni 2020, menyusul
kabar duka lainnya. Istri beliau, Bu Wito seorang bidan senior juga meninggal
dunia. Orang mengira karena depresi kehilangan suami tercinta.
Semenjak kepergian ibu, anak
anaknya yang juga tenaga medis mulai curiga dan melakukan tes, ternyata satu
keluarga semuanya positif Corona. Orang tua, anak, menantu hingga cucunya yang
masih 13 bulan ikut positif.
Bisa jadi pak Wito tertular dari
pasien yang tidak jujur. Karena daerah Kedungdung merupakan wilayah yang banyak
orang datang dari luar daerah seperti Jakarta, Surabaya dan lain sebagainya.
Sayangnya sebagian pasien tidak jujur mengenai riwayat perjalanan mereka.
Tanggal 14 Juni 2020, anak kedua
beliau, dr Deny Dwi Yurianto meninggal dunia. Dokter Deny merupakan dokter di
puskesmas Tambelangan dan istrinya Dokter di Puskesmas Robatal. Akhirnya kedua
puskesmas ini ditutup akibat kasus corona, apalagi di Puskesmas Robatal dua
orang petugas ikut positif Corona setelah dilakukan medical tes.
Meninggalnya dokter Deny ini yang
paling membuat saya terhenyak. Karena beliau adalah dokter keluarga kami. Saya,
suami, Auni dan Gaza semuanya cocok jika berobat ke beliau. Orangnya ramah,
selalu optimis dan menjelaskan asal muasal penyakit agar kita bisa menghindarinya.
Tanggal 19 Juni 2020. Anak
pertama pak Wito, dr Anang Eka Kurniawan juga meninggal dunia. Beliau dinas di
Puskesmas Socah, Bangkalan.
Saat ini, istri dan anak dr Deny
masih di rawat di Surabaya, karena Corona. Padahal beliau sedang mengandung
anak ke dua.
Tulisan ini dibuat untuk
mengenang pengabdian pak Wito sekeluarga.
Bagi orang orang yang masih
menanggap Corona adalah konspirasi, bagaimana anda melihat ini semua? Apa
meninggalnya beliau sekeluarga adalah sebuah lelucon belaka?
Bagi pasien yang hobi berbohong,
tidak jujur mengenai riwayat perjalanan, mementingkan diri sendiri, saya sudah
tidak tahu lagi mau bicara apa.
Sampang kehilangan mutiara, empat
sekaligus.
Mari kita doakan beliau
sekeluarga. Lahumul Fatihah.
Sampang, 23 Juni 2020