Gajinya sebagai bupati ia
serahkan ke lembaga kesejahteraan rakyat. Mobil-mobil dinas bupati tidak ada
yang ia pakai. Semua pegawai negeri harus membayar zakat -- yang hasilnya
dikelola tim untuk mengatasi kemiskinan.
Tiap Jumat ia pindah masjid:
khotbah. Usai Jumatan bertemu masyarakat di sekitar masjid. Novi mencari tahu
apakah masih ada rumah yang tidak layak huni. Dengan dana zakat itu rumah
tersebut dipugar.
Kalau rumah-rumah itu sudah baru,
Novi ke masjid itu lagi. Membawa tumpeng. Sebagai tanda peresmian. Satu rumah
satu tumpeng. Foto tumpengan itu dibesarkan. Dipasang di rumah baru.
Itu terjadi nyaris setiap Jumat.
Selama dua tahun terakhir.
Novi juga mengubah Hari Buruh di
Nganjuk. Menjadi lebih spiritual. Dari yang biasanya lebih tegang. Di
mana-mana.
Di malam sebelum Hari Buruh (1
Mei), Novi mengadakan sema'an besar-besaran. Semacam istighosah. Lokasinya di
kampung pahlawan buruh: Marsinah.
Makam Marsinah memang di Nganjuk.
Wanita itu terbunuh sebagai martir di zaman Orde Baru. Di dekat makam itulah
sema'an akbar dilangsungkan.
Keesokan harinya, tanggal 1 Mei,
diadakan Haul Marsinah. Di seluruh Nganjuk. Acaranya: khataman Al Quran di
masjid-masjid. Hari itu tidak ada demo atau pawai buruh di kabupaten itu.
Sebagai pemilik 36 perusahaan,
dengan total karyawan 40.000 orang, Novi terbiasa membuat keputusan cepat.
Mula-mula birokrasinya sulit mengejar.
Akhir 2018, setelah beberapa
bulan menjabat ia tunjukkan kecepatan geraknya. Di hari terakhir bulan
Desember, ia kumpulkan kepala-kepala dinas. Ada yang mengira itu untuk ikut
perayaan malam tahun baru.
Ternyata Novi memberi ”hadiah”
tahun baru yang tidak biasa: 18 kepala dinas diganti. Berlaku mulai malam tahun
baru itu juga.
Tanggal 1 Januari keesokan
harinya, Novi tancap gas. Birokrasi barunya sudah seperti para manajer
perusahaan.
Novi ingin segera membuka kawasan
industri. Yang pertama di seluruh karesidenan Kediri. Luasnya 600 hektare
--untuk tahap pertama.
Ia tidak mau kehilangan momentum:
jalan tol Surabaya-Jakarta sudah hampir jadi. Saat itu. Melewati Nganjuk.
Alangkah tepatnya kalau ada kawasan industri di dekat jalan tol itu.
Ia tetapkan lokasi kawasan
industri itu. Perizinannya harus cepat. Penyiapannya harus lekas.
Harga tanah di Nganjuk masih
lebih murah dari wilayah di sekitar Surabaya. Jarak ke pelabuhan Tanjung Perak
juga kurang dari 2 jam --berkat jalan tol.
Dalam waktu setahun kawasan itu
sudah jadi. Seperti afdruk kilat. Kini sudah lebih 60 perusahaan masuk kawasan
industri itu.
Novi juga membangun ”lumbung RW”.
Setiap ketua RT menjadi pimpinan unit bisnis untuk warganya. Khususnya petani.
Di setiap RW selalu ditemukan
rumah kosong. Yang ditinggal generasi anak-cucu ke kota. Rumah kosong itu
dijadikan gudang. Disewa.
Petani satu kampung menyerahkan
gabah ke pak RW. Untuk disimpan di gudang tadi.
Pak RW-lah yang mengolahnya
menjadi besar. Lalu menjualnya.
Setelah laku Pak RW membayar ke
petani. Dengan harga 10 persen lebih tinggi dari harga pasar. Petani memperoleh
harga lebih baik.
Saya belum mau menulis soal ini
secara lengkap. Jangan dulu dipercaya. Saya (atau wartawan DI’s Way) harus
lebih dulu menelusuri sendiri tingkat keberhasilannya. Dalam waktu dekat.
Rasanya Nganjuk akan bisa seperti
Banyuwangi -- yang majunya cepat sekali. Novi punya potensi menjadi Azwar Anas
-- Bupati Banyuwangi yang sukses itu.
Dua-duanya santri NU. Sama-sama
pula dicalonkan oleh PDI-Perjuangan. Sama-sama mudanya. Hanya Novi lebih kaya
harta. Anas lebih kaya pengalaman politik.
Dalam hidupnya Novi tidak pernah
masuk organisasi. Waktu masih pelajar atau mahasiswa pun tidak ikut IPNU atau
PMII.
Selepas SMPN 1 Nganjuk Novi
diminta ibunya melanjutkan ke pondok. Novi pun masuk Darul Ulum, Peterongan,
Jombang.
Di ”Pondok Bintang Sembilan” itu
tidak hanya ada madrasah. Ada juga SMA Unggulan. Yakni SMA proyek BPPT-nya Alm
Prof BJ Habibie. Ke situlah Novi sekolah. Yang kalau tamat bisa langsung ke
Institut Teknologi Indonesia.
Jatuh
cinta.
Seorang temannya menjadi kurir
surat-menyuratnya dengan siswi SMP asli Jakarta itu. Pakai cara lama: lewat
pertukaran buku pelajaran --yang berisi surat cinta.
”Waktu menunggu buku pelajaran
berisi surat cinta itu berdebarnya bukan main,” ujar Novi mengenang.
Surat-surat cinta itu ia simpan
sampai sekarang. Ia taruh di brankas uang. Dikunci mati dengan kunci rahasia
kombinasi.
Itulah cinta pertama dan
terakhirnya. Mereka menikah setelah si siswi tamat SMA --dan Novi belum lulus
sarjana ekonomi di Universitas Brawijaya. Ia tidak jadi masuk ITI karena sudah
mulai berbisnis.
Di Darul Ulum Novi mendapat tiga
'i' : ijazah, istri, dan infus. Sambil sekolah Novi masih bisa cari uang:
membeli plastik bekas. Untuk dijual ke pabrik pengolahan biji plastik.
Saat kelas tiga SMA meningkat
menjadi dagang bijih plastik.
Sambil kuliah pun Novi terus
mengembangkan bisnisnya. Semua itu terinspirasi dari ayahnya: pengusaha hasil
bumi, ternak, dan jasa perdagangan.
Kini sang ayah tidak berbisnis
lagi. Hijrah sepenuhnya ke bidang lain: mengurus pesantren yang didirikannya di
Kediri. Yang siswanya tidak perlu membayar: TK, SD, Ibtidaiyah, Aliyah, dan
SMK.
Di Nganjuk perusahaan Novi
memiliki 2.000 karyawan. Merekalah --di tahun 2017--yang dikerahkan untuk
menaikkan rating pencalonannya sebagai bupati.
Mereka itu yang memasang 6.500
lebih poster besar di semua RT di Nganjuk.
Isi poster sangat simple: foto
dirinya dengan baju hem putih dan kopiah hitam. Tidak banyak tulisan di poster
itu. Bunyinya hanya: Mas Novi, Calon Bupati....
Tidak ada jargon, motto atau pun
gelar-gelar. Prinsip-prinsip marketing ia jalankan.
Hasilnya: popularitas Novi
tiba-tiba melangit, 70 persen. Dari sebelumnya hanya 8 persen.
Partai-partai pun mengincarnya.
Terutama PDI-Perjuangan dan PKB. Tingginya rating Novi membuat ia tidak perlu
mencari partai. Kendaraan politik itu datang sendiri.
Ia sama sekali tidak perlu
membayar mahar ke PDI-Perjuangan. Tidak juga ke PKB. Ayahnya akrab dengan
kiai-kiai utama di PKB.
Hanya saja ia harus menggandeng
kader PDI-Perjuangan sebagai wakil.
Hasil kerjanya sangat nyata.
Hasil surat cinta di dalam buku pelajarannya pun nyata: anaknya lima orang.
Yang tertua kuliah di Yaman. Di Darul Mustofa di Kota Tarim.
Di sana ia masuk pesantren milik
leluhurnya sendiri itu --dari jalur istri Novi.
Yang kedua dan ketiga wanita.
Dua-duanya masuk SMK animasi Umar Said yang disponsori Djarum di Kudus. Yang
keempat masih tsanawiyah (SMP). Dan yang kelima, masih SD. Dua-duanya di
Nganjuk.
Semua anaknya itu lagi menghafal
Alquran --ikut ibunya yang juga hafal Alquran.
“Anda hafal Al Quran juga?” tanya
saya kepada Novi.
”Saya hafal fulus,” gurau Novi.
(Dahlan Iskan)
#SalamDamai
#BhinekaTunggalIka
No comments:
Post a Comment