Senin 07 September 2020
Oleh :
Dahlan Iskan
Ketika IDI Pusat melakukan acara keprihatinan atas
meninggalnya 100 dokter Indonesia minggu lalu, Prof Dr Budi Warsono masih di
ICU rumah sakit Darmo Surabaya. Demikian juga istrinya.
Sama-sama tertular Covid-19.
Tokoh ahli penyakit dalam
Surabaya itu tidak pernah mau bercerita di mana ia tertular Covid-19. Tapi
sangat terkenal: tempat praktiknya di Jalan Diponegoro Surabaya–hanya
sepelemparan batu dari RS Darmo– sangat ramai.
Ia dokter favorit. Gayanya
santai. Banyak humornya. Tidak pernah menakut-nakuti orang sakit. Sering pula
memeriksa pasien sambil menyanyikan sepotong lagu Elvis Presley.
Saya adalah salah satu pasiennya.
Prof Budi sering menahan saya
agar lebih lama di ruang praktiknya. Untuk ngobrol. Tapi saya tidak pernah mau:
begitu panjang antrean di belakang saya.
Saat meninggal beliau berusia 76
tahun. Praktiknya terus ramai. Ketika terasa nafasnya sesak Prof Budi masuk RS
Darmo.
Itu tanggal 25 Agustus 2020.
Setelah sembilan hari dirawat di
ICU, Prof Budi membaik. Kamis lalu ia sudah minta HP. Sudah bisa guyon lagi.
Sudah telepon ke sana ke mari. Keesokan harinya, Jumat, ia sampai menangis.
Dadanya tiba-tiba sesak lagi. Tambah berat. Hari Sabtu kian kritis. Minggu dini
hari kemarin beliau meninggal dunia.
Saya baru selesai senam Minggu
pagi 1,5 jam saat menerima berita duka itu. Ketika tiba di rumah, saya sudah
menerima foto-foto itu: ambulans yang membawa jenazahnya berhenti di halaman RS
Darmo. Terlihat di foto itu sejumlah orang salat jenazah di halaman dan di
teras rumah sakit –menghadap ke ambulans.
Itulah ambulans yang membawa Prof
Budi ke pemakaman khusus Covid-19 di Keputih Surabaya Timur.
Ambulans itu tidak mampir ke aula
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Inilah guru besar kedua, dalam
sebulan ini, yang jenazahnya tidak disemayamkan di Fakultas Kedokteran. Yang
pertama adalah Prof Yogiantoro yang juga terkena Covid-19.
"Sedih sekali. Dua-duanya
guru kami yang sangat menyenangkan," ujar dr Brahmana, Ketua Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) Surabaya.
Prof Budi Warsono masuk Fakultas
Kedokteran Unair tahun 1964. "Tapi karena penggabungan mahasiswa akhirnya
menjadi satu angkatan dengan saya," ujar Prof. Dr. Suhartono, ahli
kandungan, yang masuk Unair tahun 1965.
Prof Suhartono adalah yang
melahirkan anak saya, Isna Iskan, dan yang melahirkan anaknya Isna.
Dua guru besar itu sama-sama jago
menyanyi dan jago melucu. Kalau ceramah kocaknya bukan main. Prof Suhartono
juaranya dan Prof Budi runner-up-nya.
Tapi dalam hal menyanyi Prof Budi
juaranya. Bukan hanya suaranya, tapi juga karena gaya dan penampilannya. Setiap
kali menyanyi Prof Budi selalu mengenakan baju, celana, dan ikat pinggang
persis Elvis Presley.
"Band saya sering mengiringi
beliau menyanyi," ujar Tony Casino dari Band Casino Surabaya. Tony-lah
yang menyanyi di album Casino 'Wahai burung dalam sangkar'.
Tony juga terkesan dengan
penampilan ala Elvis Presley-nya Prof Budi. Pun sampai beliau sudah menjadi
guru besar. Jambangnya dan rambutnya adalah gaya Elvis. Lihatlah foto-fotonya.
Yang terkini sekali pun.
Tony kini juga sudah 74 tahun.
Masih menyanyi? “Tidak lagi. Sekarang saya belajar mengaji. Sudah umur segini
belum bisa membaca Alquran. Malu sama cucu-cucu," katanya.
Prof Budi memang punya banyak
sekali kostum ala Elvis Presley. Suatu saat ketika saya mampir di Graceland,
tidak jauh dari kota Memphis, saya sengaja ingin meledeknya: saya berfoto di
depan lemari koleksi baju asli Elvis Presley di Museum Elvis Presley itu.
Ternyata saya kecewa. "Saya
sudah beberapa kali ke situ," balasnya. Maka ketika sekian tahun kemudian
saya ke Graceland lagi saya tidak berani kirim foto mejeng kepadanya.
Di masa Covid-19 ini, Prof Budi
sangat rajin ceramah tentang pandemi. Saat beliau di ICU itu mestinya ada
jadwal ceramah di depan sesama alumni SMAN 1 Blitar. Prof Budi sendiri yang
berinisiatif.
Tema-tema ceramahnya tentang
pandemi adalah 'Golden Way' dalam menghadapi Covid-19.
"Mengapa dinamakan Golden
Way," tanya salah seorang dokter kepadanya.
Prof Budi pun menjawab dengan
humornya. "Masak hanya DI saja yang bisa punya DI's Way," jawab Prof
Budi seperti ditirukan dokter yang bertugas di RS Darmo itu.
Saya tidak akan lupa Prof
Budi-lah yang menyarankan saya untuk berobat ke Singapura: 17 tahun yang lalu.
Yakni ketika kanker hati saya
kian parah dan kaki saya sudah kian bengkak. Sirosis di hati saya membuat darah
tidak bisa masuk semua ke dalam hati. Albumin saya merosot. Ginjal pun tidak
bisa menyisihkan air dari darah.
Darah yang tidak bisa masuk ke
hati itu tertahan di mana-mana –mengakibatkan varises di saluran pencernaan.
Air yang tidak bisa dipisahkan
dari darah itu tidak bisa keluar dalam bentuk kencing –mengakibatkan badan
sampai kaki bengkak semua.
"Bertemulah dokter ini di
Singapura," ujar Prof Budi sambil menuliskan nama dokter itu. "Nanti
malam saya telepon dokter itu," tambahnya.
Saya pun tidak perlu membuat
janji sendiri. Begitu tiba di RS Mt. Elizabeth saya bisa langsung masuk ke
ruang praktiknya.
"Bengkak ini tidak bisa
diatasi tanpa operasi?" tanya saya.
"Mau dibiarkan saja?"
tanya dokter.
"Kalau bengkaknya terus
membesar bagaimana?" tanya saya sambil menunjuk sepatu yang sudah sesak.
"Beli saja sepatu yang lebih
besar. Lalu beli lagi yang lebih besar lagi," jawabnya.
Saya tahu itu hanya humor.
Seperti juga temannya yang di Surabaya itu.
Ia hanya bisa membantu saya untuk
buying time. Agar saya tidak mati mendadak akibat pecahnya varises di saluran
pencernaan –lalu muntah darah.
Setelah itu saya harus transplan
hati. "Tidak ada jalan lain," katanya.
Dokter itulah yang membuat saya
mengambil kata putus: ganti hati. 14 tahun lalu.
Saya akan mengabarinya bahwa
teman baiknya di Surabaya baru saja meninggal. Tentu ia akan banyak bertanya
mengapa sampai terjadi. Apalagi istri Prof Budi Warsono juga lagi kritis di
ICU.
Setidaknya temannya itu akan
sangat lega karena semua cita-cita Prof Budi sudah tercapai.
Tentu Prof Budi sudah lama
melupakan saat-saat menderita dalam status 'ngenger' di Surabaya. Yang masa itu
selalu beliau kenang sebagai masa yang 'termiskin di dunia' –terasa ini pun
mengutip judul sebuah lagu.
Masa itu ia harus meninggalkan
kampungnya di Blitar. Ia baru tamat SMAN 1 Blitar –salah satu SMA terbaik di
Jatim saat itu.
Ayahnya pegawai negeri rendahan.
Ibunya bidan. Tapi ia masih punya satu kakak dan dua adik. Tahun itu adalah
puncak kesulitan ekonomi Indonesia –di akhir masa pemerintahan Bung Karno. Sang
ayah masih harus membiayai saudara-saudaranya.
Untungnya Budi lulus terbaik di
SMA Blitar. Ia diterima di tiga fakultas kedokteran sekaligus: Airlangga, UI,
dan UGM. Tentu ia memilih Airlangga –di zaman itu Airlangga jadi Fakultas
Kedokteran terbaik di Indonesia.
Akibatnya ia harus dinunutkan
(ngenger) di salah satu famili di Surabaya. Yang rumahnya sekitar 10 Km dari
Airlangga.
Tidak ada pembantu di rumah itu. Budi-lah
pembantu itu. Ia sangat emosional kalau bercerita masa-masa ngenger-nya itu.
Memang makan dan tidur gratis.
Tapi jam 4 pagi harus bangun untuk mengisi bak air, menyapu, ngepel,
mempersiapkan anak-anak di keluarga itu untuk sekolah.
Makan malam pun baru bisa
dilakukan hampir tengah malam. Setelah tuan rumah selesai makan malam. Ini
keluarga Jawa. Yang sopan-santun harus dijaga. Termasuk waktu untuk makan.
"Dan mereka itu kalau makan
malam lama sekali," ceritanya. Mungkin saja makan selama satu jam pun
terasa lima jam dalam suasana seperti itu.
Perasaan sebagai pemuda
'termiskin di dunia' itu membuat ia minder di depan wanita. Ia ragu apakah akan
bisa menarik di depan wanita. "Setelah jadi dokter ternyata banyak yang
akan menjodohkan," ujar Budi.
Tapi jodoh itu datang sendiri.
Suatu malam datanglah pasien ke tempat praktiknya. Seorang gadis. Budi langsung
jatuh cinta. Langsung menyatakan ingin menikahinya.
"Eh, justru dia yang
minder," ujar Budi mengenang. "Dia bilang kenapa saya mau menikah
dengan gadis dari keluarga miskin," ujar Budi mengenang.
Itulah istirinya. Yang sekarang
lagi di ICU –tanpa tahu kalau suaminyi sudah meninggal.
Dialah yang memberi Prof Budi
tiga orang anak; laki-laki semua, dokter semua, spesialis semua –sebentar lagi.
Anak termiskin di dunia itu
akhirnya memang menjadi dokter terkenal, spesialis terkemuka, guru besar yang
berwibawa. Dan ia sudah pernah bisa menjadi Elvis Presley dalam
hidupnya.(Dahlan Iskan)
No comments:
Post a Comment