Sabtu 05 September 2020
Oleh : Dahlan Iskan
JANGAN tertawa – biarpun itu di balik masker.
Defisit perdagangan Amerika Serikat (atas Tiongkok) justru lebih lebar
dibanding sebelum Donald Trump menjadi presiden.
Tapi, saya tidak bisa menahan tawa.
Dengan sangat spontan. Bagaimana bisa itu terjadi. Janji Trump saat kampanye
dulu begitu menggiurkan. Begitu membakar emosi. Begitu berapi-api. Bisa membuat
orang Amerika ikut emosi.
”Kita ini
seperti celengan besar yang isinya habis dirampok,” ujar Trump
ketika kampanye pada 2016. ”Kita itu
punya banyak kartu, punya kekuatan besar, kenapa celengan kita bisa dirampok
Tiongkok,” katanya di Indiana waktu itu.
Tapi, menurut data terbaru yang
diumumkan oleh Amerika sendiri kemarin, defisit tersebut justru kian lebar. Itu
terjadi di bulan Juli 2020. Dibanding Juli 2016 –saat Trump berkampanye tadi.
Lebih lebar sampai 4,3 persen. Atau 9 persen lebih lebar kalau bandingannya
dengan Mei 2016 –saat Trump memberikan angin surga itu.
”Kita
tidak boleh membiarkan Tiongkok terus memerkosa negara kita. Itulah yang
terjadi selama ini. Itulah perampokan terbesar dalam sejarah dunia,” kata
Trump.
Dan hasilnya defisit yang kian
lebar seperti itu.
Trump bukan tidak berbuat
apa-apa. Terutama setelah terpilih sebagai presiden. Bahkan Trump terlalu
banyak berbuat. Sampai melebihi batas. Ia ibarat Rambo yang membawa senjata
otomatis. Tembak sana bombardir sini. Tapi yang lagi dihadapi sang Rambo ini
bukan lagi partai kaipang.
Hasilnya: defisit perdagangan
pada Juli 2020 sebesar USD 31,6 miliar. Itu 4,3 persen lebih tinggi dari
defisit bulan Juli 2016. Bagaimana kenyataan itu bisa menyetop orang agar
jangan tertawa.
Semua langkah sudah dilakukan:
menaikkan tarif bea masuk; melarang perusahaan seperti Huawei dkk jualan ke
Amerika; melarang mahasiswa dan ilmuwan Tiongkok ke Amerika; mengancamkan
senjata di Taiwan, Hong Kong, dan Laut Tiongkok Selatan; minta sekutu untuk
ikut menghukum Tiongkok; dan segala macam tindakan sejenis.
Tapi, angka tidak bisa bohong.
Perut tidak bisa diatur-atur. Kebiasaan belanja rakyat Amerika sudah mendarah
daging borosnya.
Ada atau tidak ada perang dagang,
Amerika tetap defisit. Ada atau tidak ada Covid-19, Amerika ternyata juga tetap
defisit.
Sekarang ini lagi musim kampanye
pilpres lagi. Trump masih ”jualan” anti-Tiongkok, tapi juga lagi sibuk jualan
isu kerusuhan di dalam negeri.
Tiongkok ternyata benar-benar
selalu membalas apa pun hukuman yang dijatuhkan oleh Amerika.
Huawei pun tidak bisa distop.
Huawei secara resmi sudah nomor satu di dunia. Tiga bulan lalu Huawei sudah
menggeser Samsung dari puncak klasemen.
Padahal kurang apa siksaan yang
diberikan kepada Huawei.
Tiongkok memang seperti tidak
terhentikan. Untuk menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Menggeser posisi
Amerika. Sepuluh tahun lagi: 2030 atau 2032. Itulah kesepakatan banyak ahli
sekarang ini.
Tiongkok kini sudah bisa dibilang
hidup normal lagi. Industrinya sudah full speed lagi. Justru ketika negara pun
seperti Amerika masih bergelut dengan Covid-19.
Angka penularan Covid-19 di Tiongkok
hampir selalu di bawah 10 orang per hari. Itu bisa dianggap nyaris tidak ada
artinya untuk negara penduduk 1,3 miliar manusia. Apalagi, angka kematiannya
juga hampir selalu 0.
Bagaimana Indonesia?
Kenyataan itu mau tidak mau harus
diterima. Agar pikiran kita bisa lebih fokus untuk memikirkan ”what next”.
Move On!
Lima tahun lagi kita harus sudah
bisa ekspor besar-besaran ke Tiongkok. Agar kita tidak terus hanya bisa impor
dari sana.
Kenapa lima tahun lagi?
Itu karena kita harus mengolah
tanah, bercocok tanam, menyiapkan fasilitas antibakteri/virus, mendidik
tenaga-tenaga terampil, dan menetapkan fokus baru: pertanian produk tropik.
Terutama buah tropik.
Rasanya saya sudah hampir bosan
menulis soal buah tropik ini. Tapi selalu semangat lagi kalau ingat bahwa kita
harus ”move on” ketika memikirkan Tiongkok. (Dahlan Iskan)
No comments:
Post a Comment