Penjelasan
Ilmiah FKUI terkait Keamanan Penggunaan Termometer Tembak (thermogun)
Inframerah pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Pandemi COVID-19
Sehubungan dengan viralnya berita
termometer tembak (thermogun) yang dianggap membahayakan otak karena
memancarkan LASER, berikut pernyataan yang disusun oleh Departemen Fisika
Kedokteran / Klaster Medical Technology IMERI, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia untuk meluruskan persepsi ini.
Thermogun merupakan salah satu
jenis termometer inframerah untuk mengukur temperatur tubuh yang umumnya di
arahkan ke dahi. Alat ini menjadi andalan utama sebagai alat skrining COVID-19
dengan gejala demam, alat ini tersedia hampir di setiap pintu masuk tempat umum
dan perkantoran. Pengunjung atau pegawai dengan temperatur di atas 37,5℃ dilarang masuk dan diminta untuk
memeriksakan diri ke fasilitas layanan kesehatan. Namun, beberapa hari ini
masyarakat diresahkan dengan viralnya video di media sosial yang menyatakan
bahwa alat ini berbahaya karena dianggap menggunakan LASER dan merusak
otak.
Apakah
benar demikian?
Bagaimana
cara kerja termometer inframerah? Berbeda dengan termometer raksa
atau termometer digital yang menggunakan prinsip rambatan panas secara
konduksi, termometer ini menggunakan prinsip rambatan panas melalui radiasi.
Dalam prinsip ilmu fisika kedokteran, setiap benda dengan temperatur lebih
besar dari 0 Kelvin akan memancarkan radiasi elektromagnetik atau sering
disebut dengan radiasi benda hitam (Asas Black). Kelvin (K) adalah satuan baku
untuk temperatur dengan konversi 0℃ setara dengan 273 K. Kisaran suhu tubuh manusia normal (36 - 37,5℃) berada di dalam pancaran
spektrum inframerah jika dilihat dari jangkauan radiasi elektromagnetik. Energi
radiasi dari permukaan tubuh ditangkap dan kemudian diubah menjadi energi
listrik dan ditampilkan dalam angka digital temperatur derajat celcius pada
thermogun. *Prinsip teknologi serupa juga digunakan di kamera termal untuk
skrining temperatur di bandara serta thermal goggles di militer untuk
mendeteksi keberadaan seseorang di malam hari yang gelap.
Termometer inframerah yang
tersedia di pasaran umumnya untuk mendeteksi temperatur gendang telinga
(termometer telinga) atau temperatur dahi (termometer dahi). Termometer dahi
lebih cocok untuk skrining gejala demam COVID-19 karena hanya perlu “ditembak”
ke arah dahi tanpa perlu kontak/bersentuhan langsung dengan kulit. Termometer
ini mendeteksi temperatur arteri temporal pada dahi untuk mengestimasi suhu
tubuh seseorang. Hal yang perlu diperhatikan adalah akurasi pengukuran
temperatur bergantung pada jarak dan sudut alat thermogun terhadap objek yang
diukur. Maka dari itu, jangan heran jika hasil pengukuran bisa
berubah-ubah.
Satu parameter penting yang
menentukan tingkat akurasi pengukuran thermogun adalah perbandingan jarak
dengan luas titik pengukuran.
Biasanya angka perbandingan ini
adalah 12:1. Dengan kata lain, untuk mengukur suatu titik dengan luas 1 cm
persegi, jarak pengukuran ideal adalah 12 cm. Di sinilah sebenarnya peran laser
dalam suatu thermogun, yaitu membantu operator menentukan titik pusat
pengukuran. Namun alat thermogun dengan laser hanya ditemui untuk keperluan
pengukuran termperatur di industri, bukan untuk medis.
Apa itu
LASER?
Laser merupakan akronim dari
_light amplification by stimulated emission of radiation_ atau amplifikasi
cahaya melalui pancaran terstimulasi. Cahaya dengan satu warna / monokromatik
ini memiliki keandalan utama berkas cahaya yang koheren. Beberapa contoh
aplikasinya adalah laser pointer untuk presentasi, pembaca/penulis CD/DVD,
hingga pemotong jaringan pada prosedur pembedahan. Energinya disesuaikan dengan
fungsi, semakin besar akan semakin destruktif. Beberapa thermogun industri
mungkin saja dilengkapi dengan laser energi rendah, tetapi fungsinya sebagai
penunjuk (pointer) untuk ketepatan arah, sehingga tidak ada kaitan langsung
dengan fungsi pengukuran temperatur. *Apakah laser tersebut berbahaya untuk
otak manusia?* Sama halnya dengan laser pointer, laser ini tidak ada efek
berbahaya untuk otak, tapi jangan sampai menembak ke mata secara langsung
karena dapat merusak retina. Yang jelas, penggunaan thermogun industri untuk
mendeteksi temperatur tubuh manusia tidak tepat karena bukan peruntukannya.
Sebagai kesimpulan, alat
thermogun untuk skrining temperatur seseorang bekerja dengan menerima pancaran
inframerah dari benda, bukan dengan memancarkan radiasi apalagi LASER.
Sebagai alat pengukur suhu sebagai indikator kesehatan, thermogun
direkomendasikan untuk dikalibrasi minimal 1 tahun sekali. Kalibrasi diperlukan
agar skrining suhu terjaga akurasinya karena informasi yang salah bisa membuat
gagal skrining suhu (positif palsu dan negatif palsu) sehingga membahayakan
banyak orang. Pengukuran temperatur tubuh dengan thermogun tidak bisa dijadikan
acuan utama terkait apakah seseorang menderita COVID-19 atau tidak, karena
pasien COVID-19 bisa muncul tanpa gejala demam. Kami berharap penggunaan
thermogun secara luas di tempat-tempat publik seperti pusat perbelanjaan,
perkantoran, dan layanan transportasi publik disertai dengan SOP yang jelas.
Tim penyusun:
● Prasandhya Astagiri Yusuf, S.Si, M.T., Ph.D.
● dr. Anindya Pradipta Susanto, B.Eng, MM.
● Ir. Muhammad Hanif Nadhif, S.T.
● Muhammad Satrio Utomo, M.Sc.
No comments:
Post a Comment