HIDUP LEBIH BAIK YANG
BELUM TENTU DISAMBUT BAIK
oleh Prof. Rhenald Kasali
Hidup Lebih Baik Yang Belum Tentu Disambut Baik (Begitulah Shifting Terjadi) ..
Mungkin inilah zaman
pertemuan dua generasi yang paling membingungkan sepanjang sejarah. Ini bukan soal
generasi kertas vs generasi digital semata. Melainkan soal di mana dunia
kita berada, sehingga ekonomi menjadi berubah arah dan banyak yang bangkrut.
Ini juga bukan soal kebijakan ekonomi, ini soal teknologi yang mengubah
platform hidup, ekonomi dan kehidupan.
Saya menyebutnya
shifting, tetapi sebagian besar ekonom “tua” menyebutnya resesi, pelemahan daya
beli dan seterusnya. Saya menyebut apa yang dilakukan generasi Nadiem Makarim
sebagai inovasi, bahkan disruption. Tetapi manajer-manajer “tua”, bilang mereka
“bakar uang.” Mereka bilang retail online kecil, tapi anak-anak kita
bilang “besar”..
Saya bilang mereka
punya “business model,” tetapi regulatornya bilang itu sebagai industri
predator. Maka regulasinya pun berpihak ke masa lalu.
Hari semakin petang
saat satu persatu usaha konvensional berguguran, tetapi saya belum melihat yang
tua ikhlas menerima proses shifting ini. Mengakui belum, blame jalan terus,
tetapi usaha-usaha lama bakal berguguran terus.
Dari Armada Laut ke Retail dan Bank
Tiga tahun lalu kita
membaca tentang keributan dalam industri jasa angkutan penumpang taksi. Di sini
mulai ramai pertempuran antara ojek pangkalan vs. Gojek. Lalu antara pengemudi
angkot dengan Gojek. Disusul demo sopir taksi melawan taksi online.
Tahun lalu, korbannya
adalah angkutan laut dan hotel. Produsen kapal asal Korea (Hanjin) meminta
perlindungan bangkrut. Lalu disusul oleh Maersk dan Hyundai. Setelah itu
Rickmers Group (Jerman), Sinopacific Dayang, Wenzhou Shipping dan Zhejiang
(China). Jumlah kapal yang dibutuhkan oleh perdagangan dunia sudah berubah
menyusul penggunaan telekomunikasi dan aplikasi baru yang serba tracking dan
perubahan pola peletakan industri global.
Setelah itu tahun
ini kita melihat empat industri: Mainan anak-anak, retail, perbankan dan
industri-industri tertentu. Level of competition meningkat, dan
pendatang-pendatang tertentu masuk dengan platform baru. Industri mainan
anak-anak Indonesia mengeluh penjualannya drop 30%, karena masih mengandalkan
mainan berbahan plastik. Jangankan mainan anak-anak seperti itu, boneka Barbie
saja pun kena imbas. Bahkan Toy ‘R’ Us di Amerika mengajukan pailit.
Sementara industri
mainan anak-anak konvensional kesulitan, industri pembuatan game online di
Indonesia berkembang pesat. Diduga omsetnya mencapai USD 10 juta.
Kita juga membaca
satu per satu retail di Indonesia menutup outletnya. Terakhir Debenhams dan
Lotus. Tapi nanti dulu, itu bukan cuma terjadi di sini. Di USA, tahun ini saja
sudah 1430 toko milik Radio Shack yang ditutup, lalu 808 outlet milik toko
sepatu Payless, 238 outlet Kmart, 160 toko Crocs (sepatu), 138 outlet JC Penny,
98 Sears, 68 Macy’s, 70 outlet CVS, 154 toko untuk Walmart, 128 outlet Michael
Kors dan seterusnya.
Dari Jepang pagi ini
saya mendengar Mizuho bank akan mengurangi 19.000 dari 50.000 karyawannya
setelah keuntungannya banyak dimakan fintech.
Ini sejalan dengan bank-bank nasional yang mulai melakukan hal serupa, minimal
tak lagi membuka cabang baru.
Jadi kalau kita
melihat baru beberapa toko besar yang ditutup di sini, dan mulai sepinya
belanja di Glodok dan toko grosir Tanah Abang, maka sesungguhnya itu belum
seberapa. Ini baru tahap awal. Nanti, saya bisa ceritakan bahwa, brand pun
berubah bagi millennials: Branded (luxuries) akan menjadi public brand.
Bencana atau peluang
Shifting tentu
berbeda dengan krisis atau resesi yang lebih banyak dipandang sebagai bencana
yang amat memilukan. Shifting dapat diibaratkan Anda tengah bermain balon eo’. Masih ingatkah balon yang
terdiri dari dua buah dan berhubungan. Kalau yang satu ditekan, maka anginnya
akan pindah ke balon yang besar dan berbunyi eo’, eo’ …
Ya seperti itulah.
Angin berpindah, lalu ada yang terkejut karena terjepit dan ruangnya hampa.
Manusia-manusianya akan bertingkah polah mirip cerita Who Moved My Cheese. Manusianya bolak-balik kembali ke tempat yang
sama dan berteriak-teriak marah: Kembalikan keju saya! Kembalikan! Duh, siapa
yang mencurinya? Siapa yang memindahkannya?
Padahal, menurut Ken
Blanchard & Johnson yang menulis perumpamaan itu, keju adalah symbol dari apa
saja yang membawa kebahagiaan. Ia bisa berupa kue, pekerjaan, kekasih,
kekayaan, perusahaan, atau bahkan keterampilan. Dan semuanya tak abadi, bisa
pindah atau dipindahkan “ke tempat” lain.
Dan di dalam cerita
itu disebutkan ada dua ekor tikus yang selalu bekerja dan mencari “keju” itu ke
tempat lain. Anda yang mempunyai “Shio” tikus barangkali punya perilaku yang
sama: Tak bisa diam di tempat. Nah, keduanyalah yang menemukannya. Ternyata di
tempat lain itu ada keju-keju lain yang sama nikmatnya dan jauh lebih besar.
Mereka menuding
resesi atau daya beli itu ibarat “manusia” tadi. Tidak bisa melihat keju yang
telah berpindah ke tempat lain. Ia hanya mengais rejeki di tempat yang sama.
Resesi atau lemahnya daya beli, kalau balon, maka itu diibaratkan satu balon
yang mengempis atau kalau krisis, balonnya pecah.
Dan harap diketahui
kita baru saja berada di depan pintu gerbang Disruptions. Saya harap Anda sudah membaca bukunya. Dalam proses
disruption itu, teknologi tengah mematikan jarak dan membuat semua perantara
(middlemen) kehilangan peran. Akibatnya margin 20-40% yang selama ini dinikmati
para penyalur (grosir – retailer) diserahkan kepada digital marketplace (± 5%),
seperti Tokopedia, Bukalapak, OLX, dan konsumen. Konsumen pun menikmati
harga-harga yang jauh lebih terjangkau.
Ditambah lagi, kini
generasi millennials (generasi ‘now’) telah menjadi pemain
penting dalam konsumsi. Dan tahukah Anda, setidaknya satu dari beberapa anak
Anda telah menjadi wirausaha baru. Mereka beriklan di dunia maya seperti di FB
dan IG, dan mendapatkan pelanggan di sana, berjualan di sana, dan perbuatannya
tidak terpantau regulator bahkan orang tua mereka sekalipun.
Di era ini, para
pengusaha lama perlu mendisrupsi diri, membongkar struktur biaya, bukan
bersekutu dengan regulator, mengundang kaum muda untuk membantu meremajakan
diri, agar siap bertarung dengan cara-cara baru. Biarkan saja kaum tua meratapi
hari ini dengan mengatakan daya beli, krisis, atau resesi.
Dunia ini sedang
shifting. Orang tua-orang tua muda sedang memangku cyber babies, kaum remaja
terlibat cyber romance. Mereka belajar di dunia cyber, dan menjadi pekerja
mandiri. Dan masih banyak hal yang akan berpindah, bukan musnah. Ia menciptakan
jutaan kesempatan baru yang begitu sulit ditangkap orang-orang lama, atau
orang-orang malas yang sudah tinggal di bawah selimut rasa nyaman masa lalu.
Ayo nikmati shifting ini.
oleh Prof. Rhenald Kasali
Hidup Lebih Baik Yang Belum Tentu Disambut Baik (Begitulah Shifting Terjadi) ...
Mungkin inilah zaman
pertemuan dua generasi yang paling membingungkan sepanjang sejarah. Ini bukan soal
generasi kertas vs generasi digital semata. Melainkan soal di mana dunia
kita berada, sehingga ekonomi menjadi berubah arah dan banyak yang bangkrut.
Ini juga bukan soal kebijakan ekonomi, ini soal teknologi yang mengubah
platform hidup, ekonomi dan kehidupan.
Saya menyebutnya
shifting, tetapi sebagian besar ekonom “tua” menyebutnya resesi, pelemahan daya
beli dan seterusnya. Saya menyebut apa yang dilakukan generasi Nadiem Makarim
sebagai inovasi, bahkan disruption. Tetapi manajer-manajer “tua”, bilang mereka
“bakar uang.” Mereka bilang retail online kecil, tapi anak-anak kita
bilang “besar”..
Saya bilang mereka
punya “business model,” tetapi regulatornya bilang itu sebagai industri
predator. Maka regulasinya pun berpihak ke masa lalu.
Hari semakin petang
saat satu persatu usaha konvensional berguguran, tetapi saya belum melihat yang
tua ikhlas menerima proses shifting ini. Mengakui belum, blame jalan terus,
tetapi usaha-usaha lama bakal berguguran terus.
Dari Armada Laut ke Retail dan Bank
Tiga tahun lalu kita
membaca tentang keributan dalam industri jasa angkutan penumpang taksi. Di sini
mulai ramai pertempuran antara ojek pangkalan vs. Gojek. Lalu antara pengemudi
angkot dengan Gojek. Disusul demo sopir taksi melawan taksi online.
Tahun lalu, korbannya
adalah angkutan laut dan hotel. Produsen kapal asal Korea (Hanjin) meminta
perlindungan bangkrut. Lalu disusul oleh Maersk dan Hyundai. Setelah itu
Rickmers Group (Jerman), Sinopacific Dayang, Wenzhou Shipping dan Zhejiang
(China). Jumlah kapal yang dibutuhkan oleh perdagangan dunia sudah berubah
menyusul penggunaan telekomunikasi dan aplikasi baru yang serba tracking dan
perubahan pola peletakan industri global.
Setelah itu tahun
ini kita melihat empat industri: Mainan anak-anak, retail, perbankan dan
industri-industri tertentu. Level of competition meningkat, dan
pendatang-pendatang tertentu masuk dengan platform baru. Industri mainan
anak-anak Indonesia mengeluh penjualannya drop 30%, karena masih mengandalkan
mainan berbahan plastik. Jangankan mainan anak-anak seperti itu, boneka Barbie
saja pun kena imbas. Bahkan Toy ‘R’ Us di Amerika mengajukan pailit.
Sementara industri
mainan anak-anak konvensional kesulitan, industri pembuatan game online di
Indonesia berkembang pesat. Diduga omsetnya mencapai USD 10 juta.
Kita juga membaca
satu per satu retail di Indonesia menutup outletnya. Terakhir Debenhams dan
Lotus. Tapi nanti dulu, itu bukan cuma terjadi di sini. Di USA, tahun ini saja
sudah 1430 toko milik Radio Shack yang ditutup, lalu 808 outlet milik toko
sepatu Payless, 238 outlet Kmart, 160 toko Crocs (sepatu), 138 outlet JC Penny,
98 Sears, 68 Macy’s, 70 outlet CVS, 154 toko untuk Walmart, 128 outlet Michael
Kors dan seterusnya.
Dari Jepang pagi ini
saya mendengar Mizuho bank akan mengurangi 19.000 dari 50.000 karyawannya
setelah keuntungannya banyak dimakan fintech.
Ini sejalan dengan bank-bank nasional yang mulai melakukan hal serupa, minimal
tak lagi membuka cabang baru.
Jadi kalau kita
melihat baru beberapa toko besar yang ditutup di sini, dan mulai sepinya
belanja di Glodok dan toko grosir Tanah Abang, maka sesungguhnya itu belum
seberapa. Ini baru tahap awal. Nanti, saya bisa ceritakan bahwa, brand pun
berubah bagi millennials: Branded (luxuries) akan menjadi public brand.
Bencana atau peluang
Shifting tentu
berbeda dengan krisis atau resesi yang lebih banyak dipandang sebagai bencana
yang amat memilukan. Shifting dapat diibaratkan Anda tengah bermain balon eo’. Masih ingatkah balon yang
terdiri dari dua buah dan berhubungan. Kalau yang satu ditekan, maka anginnya
akan pindah ke balon yang besar dan berbunyi eo’, eo’ …
Ya seperti itulah.
Angin berpindah, lalu ada yang terkejut karena terjepit dan ruangnya hampa.
Manusia-manusianya akan bertingkah polah mirip cerita Who Moved My Cheese. Manusianya bolak-balik kembali ke tempat yang
sama dan berteriak-teriak marah: Kembalikan keju saya! Kembalikan! Duh, siapa
yang mencurinya? Siapa yang memindahkannya?
Padahal, menurut Ken
Blanchard & Johnson yang menulis perumpamaan itu, keju adalah symbol dari apa
saja yang membawa kebahagiaan. Ia bisa berupa kue, pekerjaan, kekasih,
kekayaan, perusahaan, atau bahkan keterampilan. Dan semuanya tak abadi, bisa
pindah atau dipindahkan “ke tempat” lain.
Dan di dalam cerita
itu disebutkan ada dua ekor tikus yang selalu bekerja dan mencari “keju” itu ke
tempat lain. Anda yang mempunyai “Shio” tikus barangkali punya perilaku yang
sama: Tak bisa diam di tempat. Nah, keduanyalah yang menemukannya. Ternyata di
tempat lain itu ada keju-keju lain yang sama nikmatnya dan jauh lebih besar.
Mereka menuding
resesi atau daya beli itu ibarat “manusia” tadi. Tidak bisa melihat keju yang
telah berpindah ke tempat lain. Ia hanya mengais rejeki di tempat yang sama.
Resesi atau lemahnya daya beli, kalau balon, maka itu diibaratkan satu balon
yang mengempis atau kalau krisis, balonnya pecah.
Dan harap diketahui
kita baru saja berada di depan pintu gerbang Disruptions. Saya harap Anda sudah membaca bukunya. Dalam proses
disruption itu, teknologi tengah mematikan jarak dan membuat semua perantara
(middlemen) kehilangan peran. Akibatnya margin 20-40% yang selama ini dinikmati
para penyalur (grosir – retailer) diserahkan kepada digital marketplace (± 5%),
seperti Tokopedia, Bukalapak, OLX, dan konsumen. Konsumen pun menikmati
harga-harga yang jauh lebih terjangkau.
Ditambah lagi, kini
generasi millennials (generasi ‘now’) telah menjadi pemain
penting dalam konsumsi. Dan tahukah Anda, setidaknya satu dari beberapa anak
Anda telah menjadi wirausaha baru. Mereka beriklan di dunia maya seperti di FB
dan IG, dan mendapatkan pelanggan di sana, berjualan di sana, dan perbuatannya
tidak terpantau regulator bahkan orang tua mereka sekalipun.
Di era ini, para
pengusaha lama perlu mendisrupsi diri, membongkar struktur biaya, bukan
bersekutu dengan regulator, mengundang kaum muda untuk membantu meremajakan
diri, agar siap bertarung dengan cara-cara baru. Biarkan saja kaum tua meratapi
hari ini dengan mengatakan daya beli, krisis, atau resesi.
Dunia ini sedang
shifting. Orang tua-orang tua muda sedang memangku cyber babies, kaum remaja
terlibat cyber romance. Mereka belajar di dunia cyber, dan menjadi pekerja
mandiri. Dan masih banyak hal yang akan berpindah, bukan musnah. Ia menciptakan
jutaan kesempatan baru yang begitu sulit ditangkap orang-orang lama, atau
orang-orang malas yang sudah tinggal di bawah selimut rasa nyaman masa lalu.
Ayo nikmati shifting ini.