Teknik pemasangan atap stadion internasional
Sunter, Jakarta Utara
Oleh : Dahlan Iskan
09 Desember 2021
ILMU teknik itu tidak berpolitik. Pun tidak beragama.
Tapi kalau yang ditulis ini tentang teknik baru di stadion baru Jakarta,
arahnya bisa ke mana-mana. Tergantung pada yang menggoreng.
Betul. Ini tentang teknik memasang atap
stadion internasional di Sunter itu. Di Jakarta Utara. Keseluruhan kerangka
atap itu beratnya hampir 4.000 ton. Tepatnya 3.900 ton.
Yang normal, kerangka itu dipasang dengan
cara biasa. Dirangkai di atas. Tapi itu akan memakan waktu sampai 6 bulan.
Keburu masa jabatan gubernur DKI Jakarta habis.
Kebetulan Real Madrid juga lagi merenovasi
stadion. Yang di pusat ibu kota Spanyol itu. Renovasinya agak total. Sampai
sekarang belum selesai.
Di sana, atapnya yang baru, juga dirangkai di
bawah. Lalu ditarik ke atas. Tapi bukan seluruhnya. Dibagi empat. Masing-masing
800 ton. Empat angkatan itu dirangkai di atas.
Para insinyur di PT Wijaya Karya (BUMN) dan
di PT Jakpro (BUMD) membahas itu. Secara keilmuan. Diskusi ilmiah dilaksanakan:
mungkinkah kita lebih hebat dari yang di Madrid itu: mengangkat seluruh
kerangka atap itu sekaligus.
Kesimpulannya: bisa.
Ini memang belum pernah terjadi. Di seluruh
dunia. Mereka pun mengecek di Mega Struktur. Yang biasa menyiarkan
proyek-proyek besar yang unik. Belum pernah ada yang seperti itu. Bahkan
National Geographic tertarik merekam pelaksanaan ide di stadion Jakarta itu.
Dan akan menyiarkan di salurannya.
Dalam diskusi-diskusi teknik itu, yang banyak
dibahas adalah: bagaimana caranya.
Konstruksi stadion itu memiliki 8 tiang
utama. Bulat. Kokoh. Diameternya 6 meter. Yang tingginya 70 meter.
Di 8 tiang tama itulah seluruh atap akan
bertumpu. Tentu masih ada banyak tiang lainnya yang lebih kecil. Yang juga ikut
menopang: 64 tiang.
Maka para insinyur itu memilih 8 tiang utama
tersebut untuk tumpuan menaikkan atap. Di puncak 8 tiang itu ditambahi kerangka
baja setinggi 6 meter. Baja itulah yang menjadi pusat mengerek kerangka atap.
Di puncak tiang itu dipasang hidrolis. Untuk menarik ''tali'' –yang terbuat
dari kawat baja (slink).
Setelah ditemukan cara itu, kerangka atap pun
dirangkai di bawah. Panjangnya 267 meter. Lebarnya 245 meter. Beratnya itu
tadi: 3.900 ton.
Bentangan atap itu begitu lebarnya. Kerangka
utamanya dari pipa-pipa khusus: belum diproduksi di Indonesia. Masih harus
diimpor dari Tiongkok. Itulah pipa 60 cm. Begitu besarnya dari dekat. Begitu
kecilnya kalau dilihat dari atas rumput lapangan.
Pipa-pipa selebihnya, yang lebih kecil,
semuanya produksi dalam negeri.
Setelah kerangka atap selesai dibuat,
diikatlah di 8 pinggirnya. Setiap tempat diikat dengan dua tali. Kalau satu
putus masih ada yang menahan. Tali 16 utas itu ditarik ke 8 puncak tiang utama.
Satu tiap kebagian 2 tali.
Tanggal 10 Juni 2021, mulailah dilakukan
penarikan slink itu. Semua jantung berdegub. Pengawas di 8 tiang sangat tegang.
Sensor yang memonitor pergerakan di ujung tiang itu bekerja.
"Satu hari itu kami hanya mengangkat
setinggi 1 meter," ujar Ir Iwan Takwin, direktur proyek dari Wika. Iwan
lulusan UGM. Asal Makassar.
Itu sekaligus sebagai testing apakah
keseluruhan atap terangkat dengan serentak. Juga: apakah tidak ada sambungan
kerangka yang bermasalah. Bayangkan benda rangkaian selebar 267 x 245 meter
diangkat bersama.
Ketika baru diangkat 1 meter itu semua bagian
diperiksa. Termasuk tumpuan yang ada di setiap puncak tiang utama.
Setelah satu malam dibiarkan terangkat di
ketinggian 1 meter –kalau toh jatuh hanya 1 meter– keesokan harinya dinaikkan
lagi. Sangat pelan. Setiap naik 1 meter diperlukan waktu 2 jam. Padahal
kerangka atap itu harus naik setinggi 70 meter.
Di hari ke 7 kerangka itu berhasil menumpang
di puncak 8 tiang utama. Sekaligus bisa menumpang di 64 tiang lainnya.
Lega.
"Gembiranya seperti telah menjuarai
turnamen international, Pak," ujar Iwan. Hari itu sudah senja. Lampu-lampu
sudah mulai menyala.
Saya ke proyek itu kemarin siang. Yakni
setelah ikut menyerahkan award untuk Marketer of the Year di MarkPlus, di
Kasablanka Jakarta.
Atapnya sudah selesai dipasang. Bukan hanya
kerangkanya. Tapi bagian tengah yang bisa dibuka-tutup masih belum. Itu bisa
cepat karena terbuat dari membran.
Rumputnya juga sudah selesai pasang. Yakni
rumput Boyolali yang dicampur dengan 5 persen rumput sintetis. "Di stadion
Liverpool rumput sintetisnya 3 persen," ujar Iwan.
Tim Iwan sebenarnya diprogramkan untuk studi
banding ke stadion baru Manchester City dan Tottenham Hotspur. Tapi ada
pandemi. "Pembuat desain stadion Jakarta ini sama dengan yang mendesain
dua stadion itu," ujar Iwan.
Saya sudah ke dua stadion tersebut. Masih
baru. Dan keren. "Saya juga sudah ke sana," ujar Iwan. "Lewat
online" tambahnya seraya tertawa.
Tentu saya juga meninjau dalamnya. Termasuk
ruang VVIP yang dipasangi kaca anti peluru. Tim keamanan kepresidenan sudah
melakukan pengecekan tingkat keandalannya.
Jogging track sekeliling stadion yang di atas
atap itu belum selesai. Saya ingin ke sini lagi bulan depan. Ingin tahu seperti
apa. Lebarnya saja 3 meter. Panjangnya sekeliling stadion: hampir 2 km.
Membangun stadion ini penuh tantangan.
Terutama bagaimana menggusur lebih 600 KK di situ. Yakni mereka yang tinggal di
bangunan liar di sepanjang rel kereta api itu.
Mereka sudah pergi. Sudah bersih. Yang 135 KK
dibuatkan rumah susun di dekat stadion. Mereka akan bekerja di stadion itu.
Sisanya pilih mencari tempat tinggal sendiri-sendiri.
Saat saya di situ sedang dilakukan tes lampu
yang menyorot ke lapangan hijau. Juga sedang ada tes sistem suara: saya
terhibur. Banyak lagu diputar keras. Termasuk Indonesia Raya dan lagu-lagu
Barat.
Tantangan selalu menghasilkan ide baru. Dalam
hal teknik ide baru cenderung lebih bisa diterima. Mereka, dari kampus mana
pun, bisa berdiskusi dengan bahasa yang sama: bahasa teknik.
Tulisan ini saya persembahan untuk para
insinyur di proyek itu. Yang telah membuat literatur hidup untuk siapa pun
–khususnya mahasiswa dan dosen di fakultas teknik.(Dahlan Iskan)
No comments:
Post a Comment