1. Saya
merasa saya harus menulis mengenai hal ini. Saya akan cerita dari awal,
sehingga teman-teman bisa memahami perspektif mendesaknya kita akan kebutuhan
Test PCR yang terjangkau dalam pandemi ini.
2. Saya
ingat pada tahun lalu, sekitar Maret 2020 ketika awal Covid19 menyerang
Indonesia. Saya yang baru diangkat sebagai komisaris BNI, mendapatkan fasilitas
untuk Test PCR dari BNI. Bersama istri saya menuju salah satu rumah sakit di
Jakarta untuk melakukan test PCR ini. Belakangan saya ketahui, biayanya cukup
mahal waktu itu, kalau tidak salah mencapai kisaran 5-7 juta untuk satu orang.
Hasilnya dijanjikan 3 hari, namun setelah 5 hari baru keluar. Alhamdulillah
negative hasilnya.
3.
Kejadian itu membuat saya berfikir, kalau kapasitas test PCR ini terbatas, dan
orang harus menunggu berhari-hari sebelum tahu hasil test mereka, tentunya kita
akan keteteran dalam menghadapi pandemi Covid19 ini. Akan terjadi keterlambatan
penanganan pasien, karena butuh waktu yang lama untuk mengetahui apakah seseorang
terkena Covid19 atau tidak, akibatnya tentu saja penularan akan tinggi dan bisa
jatuh korban yang banyak.
4. Tanpa
berfikir panjang, saya lapor ke Pak Luhut situasi yang ada pada waktu itu. Saya
sampaikan, kita harus bantu soal test PCR ini. Kalau mengandalkan anggaran
pemerintah, akan butuh waktu lama untuk bisa menambah kapasitas PCR ini, dari
proses penganggaran, tender, sampai kemudian sampai pembayaran. Saya cukup
yakin soal ini berdasarkan pengalaman 5 tahun lebih di pemerintahan
hehehe…
5. Pak
luhut akhirnya memerintahkan saya untuk cari alat PCR ini. Pak Luhut
menyampaikan kita donasikan saja alat PCR ini ke Fakultas Kedokteran di
beberapa kampus karena waktu itu mereka lah yang pasti memiliki skill untuk
menjalankan test PCR ini dan kedepannya bisa digunakan untuk penelitian yang
lain. "Soal uang, nanti kita sumbang saja To", perintah Pak
Luhut kepada saya pada waktu itu. Saya tahu kemudian Pak Luhut kontak
teman-teman beliau untuk bersama-sama membantu membeli alat PCR ini.
Disinilah
kemudian proses pencarian PCR ini kita mulai…
6. Saya
kontak dekan FK UI, Unpad, UGM, Unair, Undip, Udayana, dan USU. Saya
mengirimkan WA kepada mereka dan menjelaskan maksud dan tujuan saya untuk
mendonasikan alat PCR ini. Beberapa ada yang merespon dengan cepat, namun
beberapa ada yang tidak merespon sama sekali, mungkin dianggapnya prank kali ya
hehehe…
7. Para
dekan tersebut kemudian mengenalkan saya kepada PIC masing-masing. Disinilah
kemudian saya mengenal dr Anis yang menjadi wadek FKUI, dr Lia dari unpad, dr
Happy dari undip, Prof Inge dari Institute of Tropical Disease Unair, dr Lia
dari USU (ada dua Lia, satu dari USU, satu lagi dari Unpad), dan Prof Ova dari
UGM. Mereka itulah yang kemudian mengajarkan saya lebih detail mengenai test
PCR ini, alat-alat apa saja yang diperlukan, serta rekomendasi merek yang
bagus. Berdasarkan diskusi dengan mereka, waktu itu diputuskan bahwa kita akan
beli alat PCR dari Roche.
8. Order
untuk alat PCR Roche kita lakukan di akhir maret 2020. Dalam perjalanannya,
saya kemudian bertemu dengan Pak Budi Sadikin, Wamen BUMN pada saat itu. Beliau
rupanya juga diperintahkan Pak Erick untuk mencari alat PCR ini guna rumah
sakit-rumah sakit BUMN. Jadi dibandingkan nanti kita rebutan alat PCR, saya
menawarkan ke Pak Budi supaya kita pesen bareng-bareng ke Roche, sehingga
ordernya bisa lebih besar dan harapannya tentu saja kita bisa nawar harga yang
lebih baik.
9. Pada
akhir April 2020, alat-alat PCR ini mulai datang dan kita mulai distribusikan
ke Fakultas-Fakultas Kedokteran yang saya sebutkan diatas. Itupun berkat lobi
sana sini dari Kemenlu, Kementerian BUMN, dan berbagai pihak lain yang
dilakukan untuk meminta Roche agar barang yang sudah kita pesan tidak di rebut
negara lain. Karena kita mendengar ada 1 negara timur tengah yang sudah
menyediakan 100 juta dolar dan bersedia membayar cash didepan untuk membeli
alat-alat PCR yang tersedia di pasar saat itu.
10.
Setelah alat datang, bukan berarti barang bisa langsung digunakan, karena kita
harus menunggu reagen PCRnya datang. Awal Mei reagennya kemudian baru datang.
Masalah belum selesai, para lab itu kemudian juga menyampaikan bahwa mereka
butuh VTM (Viral Transport Medium). Saya tanya ke mereka barang apapula itu.
Mereka menjelaskan bahwa VTM ini adalah alat untuk menampung hasil swab yang
akan mendeaktifkan virusnya sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA.
Rupanya banyak sekali perintilan material-material yang dibutuhkan untuk
melakukan test PCR ini, bukan hanya reagen saja. Dimana klo salah satu barang
gak ada, test PCR tidak bisa dilakukan. Long story short berbagai perintilan
barang itu bisa kita dapatkan dan lab-lab di berbagai fakultas kedokteran itu
bisa mulai melakukan test. Namun karena proses ekstraksinya masih manual,
masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100-200 test per hari. Jauh dari
target yang kita minta yaitu 700-1000 test perhari.
11.
Masalah kemudian muncul karena alat ekstraksi RNA yang kita pesan dari Roche
tidak bisa didapatkan. Kalau tidak salah karena suplai barangnya sangat
terbatas dan diperebutkan oleh negara-negara lain juga. Kita waktu itu
memutuskan untuk cari merek lain. Setelah tanya-tanya dari masing-masing lab,
dapatlah rekomendasi merek Qiagen dari Jerman. Kita pesan barangnya, namun
ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagennya. Alat ekstraksi RNA ini memang
menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang
diproduksi mereka sendiri.
12.
Selama beberapa bulan, lab-lab itu masih menggunakan ekstraksi RNA secara
manual untuk test PCRnya. Saya bersama beberapa teman akhirnya putar otak ke
Tiongkok, kita carilah alat ekstraksi RNA dan reagennya. Setelah tanya sana
sini, dapatlah satu perusahaan yang merupakan afiliasi salah satu universitas
disana. Jadi semacam badan usahanya yang bergerak dibidang bioteknologi. Alat ekstraksi
RNAnya harganya lebih murah, kira-kira 1/10 dari harga alat ekstraksi yang
diproduksi Qiagen, meskipun kapasitasnya 1/3. Begitu juga harga reagen untuk
ekstraksi RNA nya. Yang lebih menarik, mereka juga memproduksi reagen untuk PCR
yang bisa digunakan baik dari LC 96 dan LC480 (kedua alat ini adalah open
system). Dengan suplai dari Tiongkok ini, kita bisa memberikan donasi lebih
banyak alat PCR dan ekstraksi RNA kepada lab-lab kampus itu. Awal Juni,
barang-barang ini mulai datang ke Indonesia.
13. Sebelum
kita memutuskan beli, kami meminta FKUI untuk melakukan pengujian terhadap
barang-barang ini. Hasilnya diluar dugaan kami cukup baik. Alat ekstraksi RNA
nya mudah digunakan, dan bisa melakukan ekstraksi dalam waktu 1 jam. Reagen
PCRnya pun ternyata memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan yang
beredar dipasaran pada waktu itu.
14.
Ketika diawal, kami sampaikan kepada lab-lab ini bahwa kita hanya akan
mensupport mereka dengan alat PCR dan Alat Ekstraksi RNA beserta
reagen-reagennya untuk 10 ribu test buat masing2 lab. Ini berdasarkan kecukupan
donasi yang Pak Luhut dan teman-temannya sumbangkan. Namun, karena kita
menemukan suplai baru dari Tiongkok yang saya sebutkan diatas, kita bisa
mensupport untuk lebih banyak reagen. Pak Luhut kemudian juga menerima telp
dari teman2 beliau di Tiongkok yang mau menyumbang untuk penanganan Covid19 di
Indonesia, sehingga kita bisa memperoleh lebih banyak reagen. Satu lab saat itu
saya kira bisa menerima 30-50 ribu reagen PCR dan ekstraksi RNA untuk melakukan
test ini. Setelahnya, kami minta lab-lab tersebut harus bisa mandiri. Kita
tidak bisa mensupport seterusnya karena donasi yang terbatas.
15.
Mengapa sih saya cerita panjang lebar seperti diatas? Pertama, saya ingin
menceritakan kepada teman-teman bagaimana susahnya situasi dan keterbatasan
test PCR saat itu. Kedua, banyak pihak yang bergotong royong untuk membantu
pemerintah meningkatkan kapasitas PCR saat itu. Kementerian BUMN, melalui
perintah Pak Erick dan Pak Budi Sadikin, membeli cukup banyak alat PCR saat
itu. Lalu Pak Luhut dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya
cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak fakultas kedokteran di
Indonesia, dan saya yakin banyak pihak lain yang juga berusaha keras untuk
membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas test covid19 melalui PCR di
Indonesia pada waktu itu bisa ditingkatkan. K
16. Dalam
perjalanan kami mencari alat PCR untuk donasi ke para lab di kampus-kampus saat
itu, salah satu teman Pak Luhut mengajak untuk ikut berpartisipasi dalam
pendirian lab test covid19 yang memiliki kapasitas tinggi (5000 test/hari) dan
bisa melakukan genome sequencing (belakangan ini kemudian sangat berguna untuk
mendeteksi varian delta dan layanan ini diberikan gratis kepada Kemenkes untuk
mendeteksi varian baru). Usul saya ke Pak Luhut, kita ikut berpartisipasi untuk
pendirian lab ini. Maka tanpa pikir panjang, Pak Luhut menyampaikan ke saya,
kita bantu lah to mereka ini. Akhirnya melalui Toba Sejahtera (yang memiliki
dana untuk kebutuhan ini), Pak Luhut ikut mendukung pendirian lab tersebut.
Maka lahirlah GSI, setelah itu, kami tidak monitor lagi mengenai GSI ini.
17. Jujur
ketika Jodi (Jubir Pak Luhut) mengirimkan WA pertanyaan dari Tempo mengenai
keterkaitan GSI dan Pak Luhut, saya laporkan mengenai hal ini ke Pak
Luhut. Beliau sempat tanya ke saya, “emangnya toba sejahtera punya saham
di GSI to?”. Beliau tidak ingat rupanya. Saya menjelaskan kronologis yang saya
ingat waktu itu. Pak Luhut lalu meminta saya dan jodi menjelaskan kepada Tempo
sesuai dengan fakta yang ada.
18. Dan
kemudian terjadilah kehebohan setelah liputan Tempo itu keluar. Tuduhannya
adalah mengenai kebijakan kewajiban PCR bagi pesawat yang diberlakukan beberapa
Minggu yang lalu hanya menguntungkan Pak Luhut dan Pak Erick secara pribadi.
Izinkan saya menjelaskan dari perspektif saya:
a. Mengapa kewajiban test PCR ini diberlakukan kepada penumpang pesawat
ditengah kasus yang menurun ?
i.
Kebijakan ini saya dan teman-teman di tim usulkan berdasarkan data yang
menunjukkan ada peningkatan resiko penularan. Nah 1-2 minggu sebelum kebijakan
PCR untuk penumpang pesawat ini diberlakukan, kita melihat ada peningkatan
resiko tersebut. Indikator mobilitas yang kami gunakan menunjukkan peningkatan
yang signifikan. Contohnya di Bali, data mobilitas minggu ketiga Oktober 2021
menunjukkan level yang sama dengan liburan nataru tahun 2020. Lalu, hasil
pengecekan tim yang kami kirim, terjadi penurunan disiplin protokol kesehatan
yang luar biasa. Peduli lindungi hanya sebagai pajangan, terutama di tempat-tempat
wisata dan bar. Bahkan salah satu tim saya berhasil memfoto pasangan yang bebas
berciuman didalam salah satu bar/café di Bandung.
ii.
Sebagai background, pada awal Juli 2021 ketika Pak Luhut diperintahkan untuk
menangani peningkatan kasus di Jawa Bali, Pak Luhut meminta kami mendesign
metode penanganan yang paten. Saya dan beberapa teman-teman kemudian mengontak
Prospera untuk membantu kami membuat leading indicator untuk memonitor
perkembangan kasus. Ada 3 indikator yang kita gabungkan menjadi indeks
komposit, yaitu Google Traffic, Facebook Mobility dan NASA Nightlight Index.
Intinya 3 indikator tersebut mencerminkan aktivitas masyarakat. Kalau aktivitas
masyarakat masih tinggi, maka penambahan kasus tidak akan menurun. Hasil
pengujian secara statistic, butuh waktu 14-21 hari untuk penambahan kasus bisa
menurun sejak indeks komposit turun.
iii. Kita
harus belajar dari negara-negara lain yang mengalami peningkatan kasus yang
luar biasa akibat varian Delta, akibat relaksasi aktivitas dan protokol kesehatan
karena merasa tingkat vaksinasi dosis kedua sudah diatas 60%. Contohnya seperti
Singapura, Jerman, Inggris dan beberapa negara lain. Lalu bagaimana
dengan Indonesia? Tingkat vaksinasi dosis 2 Indonesia saat ini baru sekitar
36%, dan kita sudah melakukan relaksasi aktivitas masyarakat secara luas.
Mengapa kita berani melakukan relaksasi ini? Karena kita imbangi dengan
protokol kesehatan yang ketat dan testing serta tracing yang tinggi, serta
relaksasi kita lakukan secara gradual sejak agustus sampai dengan saat ini.
Namun, ketika saat ini kita melihat protokol kesehatan sudah menurun signifikan
tentu saja kami melihat ada peningkatan resiko kenaikan kasus.
iv.
Vaksinasi tidak sepenuhnya bisa mencegah penularan kasus. Mudah untuk mengambil
kesimpulan ini, karena negara-negara yang saya sebutkan diatas memiliki cakupan
dosis 2 diatas 60%, and kasus covid19 mereka meningkat signifikan. Vaksinasi
akan mengurangi resiko anda jika terkena Covid19 harus dirawat di RS, muncul
gejala atau bahkan kematian. Anda masih bisa terkena covid19, tidak bergejala,
dan masih menularkan ke pihak lain, meskipun sudah di vaksin. Ada banyak riset
ilmiah yang mendukung hal tersebut.
v.
Alasan-alasan tersebut diatas sebenernya sudah saya dan jodi berikan ke Tempo
baik dalam bentuk Ms Word maupun Powerpoint, lengkap beserta chart dan riset
ilmiah. Namun entah mengapa Tempo tidak menampilkan dalam liputannya.
b. Kalau memang ingin membantu penanganan pandemi, mengapa harus
mendirikan GSI yang berbentuk PT yang orientasinya mencari keuntungan? Kenapa
tidak yayasan saja?
i.
Bantuan yang sifatnya donasi sudah dilakukan Pak Luhut dan teman-temannya
melalui donasi alat PCR, ekstraksi RNA, reagen dan beberapa alat lab lainnya ke
fakultas kedokteran. Namun, karena sifatnya donasi, yah kita hanya bisa
membantu sesuai dengan dana donasi yang dikumpulkan. Setelah itu harus
mandiri.
ii. GSI,
sesuai Namanya Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), didirikan dengan semangat
solidaritas untuk membantu penanganan pandemic. Sifatnya lebih social entrepreneurship.
Jadi keuntungan yang diperoleh GSI digunakan kembali untuk tujuan social,
seperti memberikan PCR gratis untuk yang tidak mampu, nakes, ataupun orang2
yang di wisma atlit. Mereka bahkan juga membantu Kemenkes untuk melakukan
genome sequencing secara gratis untuk mendeteksi varian delta. Model ini lebih
sustainable karena tidak mengandalkan donasi.
c. Adanya Pak Luhut di GSI menimbulkan potensi conflict of interest
karena Pak Luhut adalah Koordinator PPKM Jawa Bali.
i. Pak
Luhut ditunjuk koordinator PPKM Jawa Bali pada Juli 2020, jauh setelah
pendirian GSI. Alasan penggunaan PCR untuk penumpang pesawat juga diberlakukan
karena alasan pada poin 1 diatas, karena peningkatan resiko kasus. Lalu, pada
bulan September ketika trend kasus mulai menurun diiringi dengan pelaksanaan
prokes yang baik, kami juga mengusulkan menurunkan syarat untuk penumpang
pesawat dari PCR menjadi antigen asalkan mereka sudah 2x vaksin. Kalau memang
Pak Luhut ingin menguntungkan GSI, buat apa syarat tersebut diubah? Sebagai tambahan,
di kantor kami, biasanya PCR atau antigen dilakukan oleh Medistra, RS
Pertamina, RS Bunda, dan SpeedLab. Tidak pernah GSI.
ii.
Didalam perjanjian pemegang saham GSI, ada ketentuan bahwa 51% dari keuntungan
harus digunakan kembali untuk tujuan sosial. Oleh karena itu, sampai detik ini
tidak ada pembagian keuntungan seperti dividen kepada pemegang saham. Hasil
laba yang lain digunakan untuk melakukan reinvestasi terhadap peralatan atau
kelengkapan lab yang lain (salah satunya adalah untuk melakukan genome
sequencing). Perlu diketahui, ketika diawal operasi GSI ini menggunakan
fasilitas tanah dan bangunan secara gratis yang diberikan oleh salah satu
pemegang saham.
iii.
Memang saya akui saya kurang hati-hati dalam mengingatkan Pak Luhut
terkait dengan saham GSI sehingga muncul potensi conflict of interest ini buat
pak Luhut (jujur saya sendiri juga lupa kalau Toba Sejahtera berpartisipasi di
GSI). Tapi memang kondisi pada saat GSI didirikan saat itu membutuhkan
keputusan yang cepat terkait peningkatan kapasitas test PCR ini. Kemudian,
ketika Pak Luhut menjadi koordinator PPKM Jawa Bali, setiap keputusan yang
diambil didasarkan kepada usulan kami atas analisis data dan situasi, sehingga
kondisi Covid19 di Jawa Bali bisa lebih baik. Tidak ada sedikitpun keraguan
dalam hati saya terkait hal ini. Tidak ada satupun keputusan yang diambil oleh
Pak Luhut yang kami usulkan, karena mengedepankan kepentingan GSI, termasuk
usulan mengenai PCR untuk penumpang pesawat.
19.
Sebenernya saya malas mengungkapkan donasi atau bantuan2 yang diberikan oleh
Pak Luhut dalam penanganan Pandemi. Saya selalu ingat pesan Pak Luhut, kalau
kita melakukan kebaikan dan bantuan gak perlu diingat-ingat, supaya kita tidak
merasa memiliki budi kepada orang lain. Tapi kalau kita melakukan hal yang
buruk, harus diingat supaya kita tidak mengulangi.
20.
Namun, dalam kasus GSI ini, saya merasa framingnya dan tuduhannya terlalu gila.
Sehingga saya perlu menuliskan cerita dari sisi kami atas apa yang
terjadi. Dampak yang disebabkan oleh Varian Delta pada bulan Juli adalah
pengalaman yang menyakitkan buat kami, dan saya yakin juga buat bangsa
ini. Kami menerima WA dari sodara, kerabat, rumah sakit dan teman
yang meminta tolong untuk dicarikan kamar rumah sakit atau oksigen, hanya
kemudian mendapatkan kabar bahwa pasien yang bersangkutan harus meninggal
karena tidak mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan. Sangat menyakitkan buat
saya pribadi.
21. Jadi,
ketika kami melihat ada resiko peningkatan kasus, kami ingin ada langkah
preventif, bukan reaktif seperti yang dilakukan sebelumnya. Karena kalau ada
peningkatan kasus dan harus ada pengetatan macam PPKM Darurat, biayanya sangat
besar. Hasil hitungan kami, biaya langsung untuk perekonomian setiap 1 minggu
dilakukan PPKM Darurat, adalah sekitar Rp 5.2 trilyun. Itu belum termasuk
korban jiwa yang tidak bisa dihitung secara moneter.
22.
Terkait harga PCR, menurut saya tidak bisa dibandingkan situasi saat ini dan
situasi pada awal-awal pandemi, bagaimana susahnya mencari alat PCR, ekstraksi
RNA, reagen, sampai harus rebutan dengan negara lain. Saat ini kondisi
suplainya jauh lebih baik, sehingga ketersediaan alat dan reagen lebih banyak
dan lebih murah. Selain itu, terkait harga PCR, hal tersebut bukan wewenang Pak
Luhut dalam memutuskan. Evaluasi dilakukan secara berkala oleh Kemenkes dan
BPKP. Semuanya melalui proses pemeriksaan di BPKP untuk kemudian memberikan
masukan kepada Kemenkes lalu kemudian diputuskan.
23.
Penjelasan ini ditujukan agar publik memahami konteks yang terjadi dari sisi
kami. Selain itu, Kondisi dahulu jauh berbeda dengan sekarang. Mohon jangan
melupakan sejarah yang ada.
No comments:
Post a Comment