Selasa 26 May 2020
Oleh : Dahlan Iskan
Menyalahkan gubernur sudah. Menyalahkan ilmuwan
medis sudah.
Menyalahkan Tiongkok sudah. Pun
menyalahkan pendahulunya, Barack Obama.
Tapi yang meninggal akibat Covid
masih terus naik. Hari ini mencapai 100.000 orang. Di Amerika Serikat.
Kini Presiden Donald Trump ganti
menyalahkan angka itu.
Ia mempersoalkan banyaknya orang
mati biasa dibukukan akibat Covid-19. Padahal mereka mati karena penyakit yang
lain.
Untuk Amerika, angka yang akan
segera melewati 100.000 itu bakal melebihi korban perang. Termasuk perang dunia
pertama. Juga kekalahan di perang di Vietnam.
Angka itu ”berarti banget”.
Itulah sebabnya harian paling bergengsi di Amerika, The New York Times, menerbitkan edisi khusus. Hari Minggu kemarin.
Sangat mengejutkan. Sangat tidak biasa: halaman depan harian itu hanya berisi
daftar nama yang meninggal.
Tanpa judul.
Tanpa foto.
Hanya deretan 100.000 nama dengan
huruf yang sangat kecil.
Halaman depan koran dengan wujud
seperti itu saya artikan sebagai protes. Sebagai kritik.
NYT seperti beranggapan kritik
dalam bentuk berita sudah tidak mempan. Judul-judul besar seperti tidak
berarti. Pun foto-foto dramatik.
”Saya sudah setengah abad membaca
The New York Times. Belum pernah menemukan halaman depan seperti ini,” ujar
seorang pembaca di New York -- yang saya kutip di sini dari media di sana.
Melihat halaman depan seperti
itu, saya pun, bisa merasakan sensasinya. Lihatlah foto halaman depan itu -- yang
saya sertakan di sini.
Itulah wajah depan The New York
Times yang putih.
Bentuk protes seperti itu tidak
akan bisa dilakukan media online.
Dulu, di Indonesia, juga pernah
terjadi. Di zaman Orde Baru. Ketika kebebasan pers sangat terkekang. Pers bisa
diberedel. Pemerintah sering melarang pembuatan suatu berita. Kadang dengan
kerdipan mata. Lebih sering lewat telepon.
Dering itu kadang baru berbunyi
tengah malam. Ketika berita yang dimaksud sudah telanjur ditata di
percetakan.
Sulit sekali.
Kalau harus diganti bisa gawat --
akan telat terbit. Apalagi wartawannya juga sudah telanjur pulang.
Maka redaksi yang pemberani akan
mencopot berita itu. Begitu saja. Untuk diganti blok hitam. Besoknya koran
terbit seperti wajah cantik yang dicoreti arang di pipinya.
Pembaca pun mafhum: ada yang lagi
disensor. Lalu kasak-kusuk. Masyarakat pun cari bocorannya: ada peristiwa apa?
Bocoran itu lebih seru dari aslinya.
Hitam itu sebagai protes.
Putih itu sebagai protes.
Marah dalam diam sampai hitam.
Pun sampai putih.
The New York Times bisa memadukan
antara jurnalistik, kontrol sosial, protes, dan marah dengan bungkus artistik.
Memang redaksinya sudah lama
jengkel terhadap Trump --pun sejak ia belum jadi presiden. Maka, ketika
angka-angka korban Covid terus membumbung, mereka sampai pada kesimpulan: pasti
akan mencapai 100.000 orang. Itu karena media melihat Presiden Trump kurang
serius menangani Covid-19.
Apa yang akan dilakukan media
seperti The New York Times?
Diskusi internal pun dilakukan.
Melibatkan staf artistik. Banyak ide yang muncul: penuhi saja halaman depan dengan
foto-foto wajah korban -- kecil-kecil.
Tapi itu sudah biasa. Dan halaman
depan itu akan terlihat kotor.
Ada pula ide halaman depan itu
dipenuhi saja titik-titik. Sebanyak 100.000 titik. Ide ini dianggap kurang
menusuk ke relung hati.
Akhirnya diputuskan nama-nama
itu. Saya mengagumi ide itu. Dan mengagumi yang menyetujui ide itu.
Tapi mengapa korban di sana
sampai 100.000?
Trump pernah tidak menduga akan
sebesar itu. Ia pernah menganggap Covid itu begitu sepele. ”Kan hanya 15 orang
yang terkena virus,” katanya akhir Februari lalu. ”Dalam beberapa hari lagi
akan teratasi. Akan menjadi nol,” tambahnya.
Sewaktu yang mati ternyata
mencapai 30.000 orang ia baru mengatakan ini: kemungkinan yang mati akan
mencapai 70.000 sampai 100.000. Tapi ia punya maksud khusus dengan menyebut
angka besar itu. Maksudnya: kalau ternyata yang mati 50.000 ia bisa
membanggakan diri: lebih kecil dari perkiraan.
Ketika angka sudah melewati
50.000, ia mengutip perkiraan ahli: akan sampai 200.000. Agar --kalau ternyata
100.000-- ia masih bisa bangga: jauh di bawah perkiraan.
Di mata Trump, bisa saja, yang
mati itu memang hanya angka-angka. (Dahlan Iskan)
No comments:
Post a Comment