Sabtu 16
May 2020
Oleh : Dahlan Iskan
Wuhan ngamuk. Gegara ditemukan
penderita baru di kota asal Covid-19 itu, seluruh penduduknya harus menjalani
tes. Seluruhnya. Mulai hari ini. Sampai lusa.
Dalam tiga hari itu, 11 juta warga
Wuhan harus sudah selesai dites.
Itu bukan sekedar rapid test.
Yang hasilnya kadang tidak akurat itu.
Yang dilakukan kali ini adalah
langsung tes nucleus acid. Yang hasilnya pasti: positif atau negatif.
Tiongkok akan mencari
sungguh-sungguh dari mana asal virus yang mencoreng nama Wuhan -- yang sudah
tercoreng itu. Yakni virus baru yang menular ke kakek berumur 84 tahun itu.
Yang tinggal di perumahan kelas bawah di pusat kota Wuhan itu. Yang sering
keluar rumah tanpa masker itu. Yang kemudian menulari tetangganya itu.
Memang si kakek itu salah:
mengapa tidak pakai masker. Sampai semua pejabat di kecamatan itu
dipecat.
Tapi ada hikmahnya: berarti masih
ada orang yang bervirus di Wuhan. Yang orang itu kesana-kemari -- menularkan
virusnya kepada orang yang sembrono.
Orang itu sendiri tidak sadar
kalau dirinya bervirus. Tidak ada gejala apa-apa yang ia rasakan --banyak yang
seperti itu.
Berarti sulit sekali menelusuri
siapa saja orang yang merasa sehat tapi bervirus. Karena itu sapu jagad saja:
semua penduduk Wuhan dites. Biarpun jumlahnya 11 juta jiwa.
Rasanya tidak ada negara yang
all-out seperti itu: mengejar satu orang dengan cara memeriksa 11 juta orang.
Atau jangan-jangan ternyata banyak yang ditemukan bervirus.
Sekalian
tuntas.
Bisa juga sekaligus sebagai pilot
project. Kalau hasilnya membahayakan berarti di kota lain juga perlu dilakukan
tes menyeluruh.
Itulah kegilaan di Wuhan. Itulah
sulitnya menjaga reputasi.
Ada lagi
berikut ini:
Tidak hanya Wuhan. Yang juga lagi
all-out adalah Vietnam. Yakni all-out untuk menyelamatkan nyawa satu
orang.
Di mana pentingnya nyawa satu
orang itu?
Ia bukan orang yang sangat
penting. Tapi kalau sampai meninggal dunia hilanglah ”gelar” agung Vietnam
selama ini. Yakni gelar sebagai satu-satunya negara yang tidak satu pun orang
meninggal karena Covid-19.
Gelar agung itu telah pula
menjadi kebanggaan rakyat Vietnam. Rakyat begitu kagum pada pemerintahnya. Maka
jangan sampai akhirnya ada yang meninggal dunia karena Covid-19.
Upaya apa pun harus dilakukan:
jangan sampai ada yang meninggal.
Tapi rasanya akan ada.
Semoga tetap tidak ada.
Semoga dokter terbaik di Vietnam
berhasil menyelamatkan satu nyawa orang itu. Yang kondisinya benar-benar sudah
gawat. Sudah menggunakan pernafasan buatan.
Ia seorang pilot. Warga asing.
Dari Inggris. Ia bekerja di perusahaan penerbangan Vietnam, Vietnam Airlines.
Nama pilot itu singkat: Pasien No
91.
Awal Februari lalu ia tiba dari
Inggris. Sebagai penumpang biasa. Untuk mulai bertugas di Vietnam. Ia tidak
hanya menerbangkan pesawat untuk rute domestik. Juga rute internasional.
Sebelum ke Vietnam ia sudah
dinyatakan negatif. Maka ia pun mulai bekerja. Ia juga hidup normal di Saigon
-- kini: Ho Chi Minh City. Termasuk, kalau malam, ke bar-bar yang waktu itu
masih buka. Vietnam belum di-lockdown kala itu.
Tiba-tiba ia batuk-batuk. Badan
panas. Nafas sesak. Positif Covid-19.
Jadilah ia Pasien No 91.
Sementara ia menjalani isolasi di
rumah sakit pemerintah melakukan pelacakan: siapa saja yang kira-kira tertular
pilot itu.
Ditemukanlah 4.000 nama yang
harus dihubungi. Yakni para penumpang pesawat, para pengunjung bar dan
teman-teman kerjanya. Tidak mudah. Banyak sekali bar yang ia kunjungi di
malam-malam membujangnya di Vietnam.
Dari pelacakan terhadap 4.000
orang itu ditemukan penderita baru. Sampai akhirnya di Vietnam terdapat 288
penderita Covid-19. Angka itu terus bertahan. Sampai sekarang tidak pernah
bertambah.
Dari 288 orang itu tidak satu pun
yang meninggal.
Kecuali, ada satu yang lagi gawat
itu. Pilot itu.
Umurnya 43 tahun.
Kini yang serba terbaik sudah
diberikan ke pilot itu. Asal bisa sembuh. Tapi kondisinya terus memburuk.
Sulit diselamatkan.
Minggu lalu disimpulkan:
satu-satunya pertolongan tinggal-lah transplantasi paru.
Maka muncullah banyak calon
donor. Vietnam memang negara komunis. Tapi kulturnya tetap Budha. Di negara
Budha soal donor organ dianggap sangat mulia. Media di sana menyebut ada 10
orang yang mengajukan diri bersedia menjadi pendonor paru. Salah satunya
seorang veteran tentara berumur 70 tahun.
Berbeda dengan donor ginjal,
donor paru tidak mudah. Orang bisa mendonorkan salah satu ginjalnya. Masih bisa
hidup normal dengan satu ginjal.
Atau orang bisa mendonorkan
separo hatinya. Hati yang tinggal separo bisa utuh lagi dalam tiga bulan.
Orang juga bisa mendonorkan sebagian
parunya. Ia sendiri tetap bisa hidup. Tapi paru yang sudah dipotong tidak bisa
utuh lagi.
Paru pilot itu sendiri sudah
sangat parah. Fungsinya tinggal 10 persen. Tapi UU yang berlaku di sana masih
belum membolehkan pendonor hidup.
Berarti sang pilot masih harus
menunggu ada orang yang meninggal dunia di rumah sakit itu.
Doa saya untuk pilot itu. Juga
untuk Vietnam.
Memang sudah tidak ada Covid-19
di Vietnam. Tapi nyawa pilot itu harus selamat.(Dahlan Iskan)
https://www.disway.id/r/934/satu-nyawa
No comments:
Post a Comment