Cerita klasik pewayangan Mahabharata
"Dengan
Gugurnya Prabu Salya, Wabah Penyakit
Aneh Itu Turut Sirna."
Nun, di arena Kurusetra tampak
ribuan manusia menggelepar. Mereka serempak batuk-batuk sambil memegang dada yang
panas & kepala yang tiba-tiba menjadi pusing, lalu ambruk di tanah.
Prabu Salya tersenyum menyaksikan
kejadian yang mengerikan itu. Tujuannya adalah menunggu lawan seimbang yang
akan dimajukan oleh pihak Pandawa untuk menghadapi dirinya. Pun, ajian pamungkasnya
itu dikeluarkan semata-mata untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dia tahu bahwa
ajian "Candrabhirawa"
miliknya itu tentu ada yang bisa menangkalnya, namun dia tak tahu siapa yang
dapat menanggulanginya.
Di seberang lautan manusia yang
sedang berperang itu, dengan pandangan batinnya yang tajam, Kresna menyaksikan betapa mengerikan
ajian Candrabirawa yang semakin lama terus tersebar, membelah diri dari satu
menjadi dua, empat, delapan, enam belas hingga kelipatannya dalam menjangkiti
semua orang.
Di sebelahnya, para Pandawa
menatap cemas menyaksikan ribuan manusia menjadi korban keganasan mahkluk tak
kasat mata itu.
"Kini
saatnya kau maju ke Medan peperangan, wahai adikku Yudhistira (Puntadewa). Tak ada yang dapat menandingi kakek Nakula
dan Sadewa itu kecuali dirimu. Lihatlah perbuatannya yang begitu kejam
membantai orang-orang tanpa belas kasihan lagi” kata
Kresna.
Yudhistira yang berdiri di
sebelahnya terhenyak ketika namanya disebut. "Mengapa harus aku yg maju,
kangmas Kresna ?" tanya Yudhistira.
"Apa
yg kau lihat itu, hai adikku ?" Kresna balik bertanya.
"Aku
melihat berjuta-juta mahluk berupa raksasa kerdil sedang menyerang banyak
prajurit. Tidak hanya dari pasukan kita saja yang diserang, tapi pasukan Kurawa
pun turut diserbunya. Aneh..!," jawab Yudistira.
"Itulah
kedasyatan Candrabirawa. Prabu Salya dulu mendapatkan senjata itu dari Resi Bagaspati, mertuanya, dan
mertuanya itu memperolehnya dari wejangan "Kesadaran Tumiba Lahir
(arwah)" dari Sukrasana saat dia bertapa.
"Dan
hanya manusia yang berjiwa tenanglah yang sanggup menghentikan."
"Majulah,
hadapi kakekmu itu tanpa harus melawan. Turuti apa yang dikehendakinya. Bawalah
panahku ini jika beliau memang menghendakinya," kata
Kresna.
Yudhistira menerima sebuah 'panah
bermata cahaya' dari tangannya, lalu maju ke tengah kecamuk perang yang
mengerikan dan aneh itu.
Dada Prabu Salya bergetar ketika
Yudhistira maju dihadapannya dalam jarak beberapa puluh meter dalam sikap menyembah (anjali) sebagai tanda bakti & hormat
"Mengapa
yang maju justru engkau, hai anakku Yudhistira? Aku menginginkan yang melawanku
adalah adikmu si Bima (Werkudara)
yang gagah perkasa atau Arjuna yang
pandai dlm hal memanah" kata Salya.
"Aku
datang menghadap hanya minta tolong untuk menghentikan wabah penyakit yang kau
tebarkan itu, kek. Aku tak tega menyaksikan ribuan orang yang menjadi korban
keganasannya. Kalau kau tak mau, segera bunuhlah
aku daripada orang yang tak bersalah itu terbunuh. Jika aku mati, maka
pihak Pandawa kalah. Itu sudah cukup" jawab Yudhistira.
"Oh,
Yudhistira. Tidak semudah itu dalam peperangan ini. Jika kau ingin mati, maka
panahlah aku dengan senjata di tanganmu itu, biar aku pun akan memanahmu dengan
senjataku" kata Prabu Salya.
Maka, dengan setengah hati
Yudhistira menyanggupi tantangannya.
Senjata Cakra Baskara pemberian Kresna
dilesatkan tanpa semangat, pun tak ditujukan ke arah lawannya melainkan hanya
menghadap ke bawah. Matanya terpejam ketika senjata itu melesat lemah dari
gandewa di tangannya.
Ajaib,...........…....... panah
itu justru melesat secepat kilat ketika terantuk tanah dan menghujam
tepat di dada prabu Salya yang meremehkan semangat perang Yudhistira si
lelaki lemah lembut itu.
Terdengar suara menggelegar dan
seketika dia tersungkur tewas. Pasukan manusia kerdil tak kasat mata yang
sedang menyerang semua orang itu menjadi terkejut dan menghentikan
perbuatannya.
Tampaklah manusia dengan sinar
suci berdiri dengan tenang hingga membuat mereka menjadi lemah dan akhirnya
musnah.
"Sejak
kematian prabu Salya itu maka berangsur-angsur wabah penyakit aneh itu pun ikut
lenyap."
Makna
perenungan :
Dalam kisah di atas penyakit aneh
atau jaman sekarang disebut sebagai wabah penyakit itu sudah pernah ada sejak
zaman purwa carita.
"Yudhistira, putra Pandu yang dikenal jujur, & berdarah putih itu berhasil mengatasi wabah penyakit dengan *tanpa berperang"
Namun, sikap berperangnya dengan
cara mata terpejam (diam, bersamadhi, Work
From Home, WFH).
Senjata Cakra Baskara adalah
senjata ampuh dapat mengatasi marabahaya wabah penyakit ganas berlipat-lipat
yang akhirnya musnah oleh ksatria berjiwa tenang dan jujur.
Apa yg dapat dipetik dari kisah
ini ?
"Marilah
tetap tenang, tidak panik. Kita
nantikan ksatria berjiwa jujur* dan berbudi luhur yang segera hadir
menuntaskan wabah penyakit saat ini. Hingga kehidupan pulih normal
kembali"
Semoga banyak Yudistira di negeri
ini secara tulus untuk berkarya. Bukan
cercaan, penolakan atau olok olok yang malah diberikan kepada anak negeri
ini.
No comments:
Post a Comment