SRIMULAT
Raden Ayu Srimulat (7 Mei
1908-1968) adalah pemain sandiwara panggung, pemain film dan penyanyi di era
akhir 50-an sampai akhir 60-an. RA Srimulat adalah anak Raden Mas Adipati Aryo
Tjitrosoma, seorang bangsawan, wedana di Bekonang, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa
Tengah.
Srimulat punya nama lengkap Raden
Ajeng Srimulat. Putri bungsu dari pasangan Raden Mas Aryo Tjitrosoma dan Raden
Ayu Sedah ini lahir di Desa Botokan, Klaten pada 7 Mei 1908. Setelah ibu
kandungnya wafat, pada usia 6 tahun, Srimulat dibawa ke rumah kakak ayahnya,
Raden Mas Sunarjo. Sunarjo waktu itu bekerja sebagai komis asisten residen di
Klaten. Gadis kecil itu disekolahkan kakaknya di Hollandsch-Inlandsche School
(HIS) di kawasan Klaseman, Gatak, Sukoharjo. Baru setelah menginjak usia
remaja, Srimulat kembali ke rumah ayahnya yang ditunjuk menjadi wedana di
Bekonang, Sukoharjo. Ia melanjutkan sekolahnya di Koningin Emma School di Solo.
Hanya beberapa bulan mengenyam
pelajaran, Srimulat disuruh berhenti sekolah oleh ibu tirinya. Putri ningrat
tak perlu sekolah tinggi-tinggi, begitu kata ibu tirinya. Srimulat sangat
terpukul. Apalagi ia tak mendapat pembelaan dari ayahnya. Srimulat lantas
dipingit. Seperti kisah putri-putri keraton yang menjalani pingitan, masa
remaja Srimulat hanya dihabiskan dalam kungkungan dinding kewedanaan saja. Ia
belajar berbagai macam keterampilan dari para abdi dalem.
Usianya baru 12 tahun tapi sudah
pintar menembang, menari, dan juga membatik. Kadang-kadang kalau lagi senggang,
ayahnya yang punya nama kecil Raden Mas Rumpoko kadang-kadang mendampingi
Srimulat dan saudara-saudaranya belajar menari dan menembang. Hidup Srimulat
penuh dengan suara tembang, bunyi gamelan, dan gerak tari. Dibandingkan
saudara-saudaranya, Srimulat anak yang paling cepat menangkap ajaran kesenian
yang diberikan ayah dan abdi dalemnya.
Orang tuanya lalu menikahkan
Srimulat dengan seorang kerabat dekat ayahnya bernama Raden Hardjowinoto.
Usianya waktu itu baru 15 tahun. Rumah tangganya tak berlangsung lama. Srimulat
diterpa kemalangan secara beruntun. Anaknya yang baru berusia 2,5 tahun
meninggal dunia lalu disusul suaminya 3 bulan kemudian. Kesedihannya semakin
bertambah saat ayahnya mencari selir-selir baru.
Muak akan kehidupan feodal
priyayi dan praktik perseliran di dalam kompleks rumahnya sendiri Srimulat
bertekad minggat. Suatu malam ia memutuskan kabur dari rumah. Berbekal uang 3,5
sen ia pergi ke Surakarta lalu ke Yogyakarta. Ia melamar kerja ke dalang Ki
Tjermosugondo yang sedang kondang. Setahun kemudian, Srimulat bergabung dengan
Ketoprak Candra Ndedari pimpinan Ki Retsotruno yang kebetulan sedang pentas di
Alun-alun Utara.
RA Srimulat mengawali kiprahnya
sebagai pemain rombongan ketoprak Mardi Utomo di Magelang dan Rido Carito.
Ketenarannya menembus baik lapisan atas maupun bawah masyarakat. Srimulat tak
segan menari bersama penari-penari lokal di sejumlah daerah membawakan
tari-tarian daerah yang tak begitu dikenal. Ia juga bersedia diundang dalam
acara tradisional penebangan pohon-pohon jati tua di sebuah desa di Blora, Jawa
Tengah.
Srimulat pindah ke panggung
Wayang Orang Ngesthi Rahayu yang dipimpin Nyi Murtiasih dari Jawa Timur.
Kebetulan suami Murtiasih punya grup orkes yang sering tampil di pesta
perkawinan. Srimulat pun diminta bernyanyi dengan iringan musik irama keroncong
dan Hawaiian. Sewaktu digelar pasar malam di Magelang, ia berjuampa dengan
Mannoek, bos penyelenggara pasar malam. Ia pun berkelana dari kota ke kota
mengisi panggung hiburan pasar malam. Dalam waktu singkat Srimulat, anak
priyayi dan gadis pingitan itu, menjelma menjadi perempuan yang mandiri.
"Ia menentang arus saat itu, menolak menjadi Raden Ayu dan memilih menjadi
sri mahapanggung atau ratu panggung," ujar Arswendo.
Membela
Nyai Mas Sulandjari Sunting
Pendiriannya yang keras
membuatnya membela mati-matian seorang pesinden bernama Nyai Mas Sulandjari
yang berhasil memenangkan lomba kontes batik di Pasar Malam Amal Yogyakarta
pada 1938. Kemenangan Sulandjari itu diprotes keras para bangsawan Yogyakarta
dan Surakarta. Apalagi Sulandjari berhasil mengalahkan putri-putri ningrat.
Mendengar Sulandjari dihina, Srimulat melawan para bangsawan itu. Melalui
wawancara dengan mingguan Darmo Kondho dan Penjebar Semangat, Srimulat
menyatakan dukungannya kepada Sulandjari sembari mengkritik keras para kaum
ningrat. "Siapa yang lebih berhak memberikan penilaian dalam kontes
semacam itu?," tanyanya sinis seperti yang dikutip Herry Gendut Janarto
dalam bukunya, Teguh Srimulat: Berpacu dalam Komedi dan Melodi".
Di sisi lain, Srimulat pernah
dikontrak untuk masuk dapur rekaman oleh perusahaan piringan hitam Burung
Kenari, Columbia, dan His Master's. Suara merdunya yang melantunkan lagu Kopi
Susu, Padi Bunting, Janger Bali, dan sebagainya. Saat itu hanya kaum berpunya
saja yang memiliki gramofon untuk memutar piringan hitam. Budayawan Arswendo
Atmowiloto menggambarkan Srimulat sebagai seorang penampil yang meletakkan
dasar-dasar seorang artis modern. "Sikapnya terbuka pada segala jenis
tarian. Ia turun ke pelosok, ke pusat keramaian membawakan secara live lagu
yang sedang ngetop."
Di pentas wayang orang ia tampil
di kelompok Srikuncoro. Selain itu, ia juga pernah membintangi film Sapu Tangan
(1949), Bintang Surabaja (1951), Putri Sala (1953), Sebatang Kara (1954) dan
Radja Karet dari Singapura (1956).
Sukses di panggung, Srimulat
kurang berhasil dalam berumahtangga. Tiga kali pernikahannya selalu kandas.
Pada tahun 1947 di Purwodadi, Grobogan, Srimulat satu panggung dengan Orkes
Keroncong Bunga Mawar dari Solo. Gitaris orkes tersebut bernama Kho Tjien Tiong
(dikenal dengan Teguh Slamet Rahardjo). Kedua saling terpikat. Sehabis pentas
di Purwodadi mereka resmi berpacaran.[1] Usia mereka terpaut jauh. Teguh jejaka
berusia 21 tahun sementara Srimulat berusia 39 tahun.
Pada tanggal 8 Agustus 1950, RA
Srimulat menikah dengan Teguh Slamet Rahardjo (Kho Djien Tiong) yang berusia 24
tahun. Pada saat yang sama dibentuk rombongan kesenian keliling bernama Gema
Malam Srimulat. Gema Malam Srimulat adalah sebuah kelompok kesenian yang
menyuguhkan gabungan antara lawak dan nyanyi terutama lagu-lagu langgam Jawa
dan keroncong. Penyanyinya waktu itu antara lain Kusdiarti, Suhartati, Ribut
Rawit, Maleha, Rumiyati dan Srimulat sendiri sedangkan Teguh menjadi pemain
gitar dan biola. Sebelum memasuki tahun 1957, Gema Malam Srimulat berganti nama
menjadi Srimulat Review. Memasuki 1957 namanya berubah lagi menjadi Aneka Ria
Srimulat.
Sekitar
G30S Sunting
Salah satu momen bersejarah bagi Srimulat dan Teguh adalah keputusan mereka pindah ke Surabaya dari Surakarta sekitar Peristiwa G30S. Suatu malam pada 1965, tak lama sebelum geger 30 September, Srimulat berbisik di telinga Teguh Slamet Rahardjo, suaminya. “Sebentar lagi bakal ada ontran-ontran. Pak Jenderal meminta kita untuk berhati-hati. Sebaiknya kita tidak pulang dulu ke Solo untuk waktu cukup lama,” kata Srimulat, dikutip Sony Set dan Agung Pewe dalam bukunya, Srimulat: Aneh yang Lucu! Saat itu Srimulat sudah dua tahun hijrah dari Solo ke Surabaya. Tak cuma para pelawak dan awak Srimulat yang boyongan ke Surabaya, tapi juga berikut semua anggota keluarganya. Boyongan Srimulat besar-besaran ini juga merupakan ide dari Srimulat. Melihat situasi politik di Solo makin panas, Srimulat merasa kelompok mereka harus pindah.[1] “Situasi negara sedang gonjang-ganjing. Sebaiknya seluruh anak panggung dan artis kita pindah ke Surabaya,” Srimulat menyampaikan usulnya ke Teguh. Teguh tentu saja kaget bukan kepalang mendengar ide istrinya. Memindahkan belasan orang saja sudah sulit, apalagi memindahkan puluhan anggota Srimulat. Tapi Srimulat terus meyakinkan Teguh. “Jika mereka tak pindah ke Surabaya, aku takut mereka akan jadi korban.”
Ketika itu, gesekan antara
kelompok-kelompok ‘kiri’ dengan lawan-lawan politiknya makin sering terjadi.
Masing-masing kelompok berusaha menarik sebanyak mungkin pendukungnya ke
kubunya. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang punya hubungan dekat dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI) terus mendesak mereka agar bergabung dengan
Lekra. Srimulat dan Teguh yang memang tak tertarik dengan politik tidak mau
terseret dalam perkubuan itu.
Untuk melindungi grup Srimulat,
mereka mencari perlindungan ke militer. Kebetulan Srimulat memang dekat dengan
sejumlah perwira militer. Kedekatan yang kadang bikin Teguh sendiri tak habis
pikir. Kedekatan Srimulat dengan para perwira itu pula yang membuat pertunjukan
grup Srimulat pada masa-masa tegang itu sering dijaga tentara. Hijrah Srimulat
ke Surabaya itu lah yang menyelamatkan kelompok itu.
No comments:
Post a Comment